Menjaga

"Seorang muslim itu bersaudara dengan muslim lainnya. Ia tidak boleh menganiayanya, menelantarkannya, dan meremehkannya. Orang yang merendahkan saudaranya seislam itu sudahlah dianggap sebagai orang yang buruk perangainya."

(HR Muslim).

---

Amira terbangun saat merasakan tempat tidurnya bergerak, dia melihat Dinan sedang duduk membelakangi dirinya. Dia penasaran akan hal yang dilakukan Dinan, dia ingin bertanya namun dia urungkan saat melihat Dinan merapikan rambutnya dan berjalan menuju kamar mandi. Amira mengerutkan keningnya, dia kemudian menoleh ke arah jam yang menempel di dinding. Dia tersenyum tipis saat menyadari satu hal, Dinan akan melakukan sholat malam.

Amira kembali bergelung di dalam selimut, dia tak ingin mengganggu Dinan namun kemudian pikirannya terbelah saat ingat bahwa kini dia adalah seorang istri. Amira segera duduk, kemudian dia menatap pintu kamar mandi yang tak kunjung terbuka, dia bisa mendengar bahwa Dinan sedang mengguyur tubuhnya dengan air, bertanda bahwa suami Amira itu sedang mandi. Amira melangkah keluar untuk mencuci tangannya sebelum menyiapkan pakaian untuk sang suami.

Amira masuk ke dalam kamar kemudian menyalakan lampunya, dia mengambil handuk kemudian dia mengetuk pintu kamar mandi.

"Pak, handuknya ketinggalan." Amira tak mendengar sahutan dari dalam. Dia merasa heran namun tak lama dia mendengar pintu dibuka kecil.

"Terima kasih." Tangan Dinan mengambil alih handuk itu kemudian Dinan kembali menutup pintu. Amira mengangkat bahu kemudian dia mengambil sarung dan baju Koko Dinan. Tak lupa dia memberi lipatan sajadah di atasnya.

"Apa saya membangunkan mu?" Dinan keluar dari kamar mandi.

"Tidak," jawab Amira gugup, entah mengapa dia merasa ada hal yang mengganjal dalam otaknya.

"Terima kasih," kata Dinan sambil mengambil sarung dan mengenakannya.

"Kembali kasih." Amira merapikan tempat tidurnya.

"Kamu tak ingin kembali tidur?" Amira mengangguk kemudian tersenyum canggung ke arah Dinan.

"Pak Dinan perlu sesuatu?" Dinan menggelengkan kepalanya.

"Tidurlah," kata Dinan menyibak selimut kemudian berjalan putar mendekati Amira, mengangkat tubuh ramping Amira dan membaringkan ke atas tempat tidur. Dinan menyelimuti hingga dada, sedang Amira hanya diam dan menelan ludahnya susah, dia sungguh tidak menduga dengan hal yang baru saja terjadi.

"Pak Dinan tidak mau saya bikinkan teh atau kopi?" Dinan duduk di pinggir tempat tidur.

"Nanti kalau matahari sudah hampir bersinar. Sekarang kamu tidur nanti kamu harus kembali mengajar dan mungkin kita akan ke rumah sakit juga, belum lagi nanti kamu harus mengurus keperluan Fatimah. Jadi, tambah waktu istirahat." Amira tidak mencerna ucapan Dinan, dia hanya mengangguk saja karena dia jauh lebih terpesona dengan aura sederhana suaminya.

"Pejamkan matamu!" kata perintah dari Dinan dikuti Amira tanpa bantahan. Dinan membelai puncak kepala Amira kemudian dia beranjak untuk kembali mengenakan pakaian.

Amira memejamkan matanya, dia berusaha mengarungi dunia mimpi untuk kembali mengistirahatkan pikiran dan hati namun rasanya sangat sulit dilakukan karena dia merasa tak nyaman dengan tidur terlentang dia mengubah posisi dengan tidur miring ke kanan namun hal itu juga tidak enak dia lakukan dia pindah posisi ke kiri namun juga terasa tak nyaman. Dia segera kembali terlentang dan menghadap ke langit-langit kamar dia menghela napas, dia heran mengapa dia tak bisa memejamkan matanya? Apa tak ada Dinan di tempat tidurnya mampu mempengaruhi perasaannya?

Ya Allah Amira! Dinan baru sekali tidur bersamamu, itu tidak menjadi pengaruh bagimu. Amira melirik Dinan yang sedang ruku' kemudian dia mengambil bantal dan menjadikannya giling hingga tak lama dia terbuai dalam lamunan dan terjun bebas menuju alam bawah sadar.

---

Pagi yang cukup dingin, dengan semilir angin sepoi-sepoi yang menyapa tanpa di duga. Amira mengeratkan tangannya di dada dia tetap berjalan menuju rumah samping. Dia harus menjemput Fatimah karena hari ini dia harus sekolah. Saat Amira hendak masuk gerbang dia melihat Fatimah yang sudah akan diantar oleh Faris.

"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," salam Amira membuat Faris menolah.

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh. Lihat dijemput sama ammahnya."

"Ayo pulang Fatimah, bilang terima kasih dulu sama Ammi Faris."

"Jazakumullahu khoiron, Ammii." Amira melihat Faris tersenyum.

"Aamiin waiyak, selamat bersekolah semoga diberi kelancaran."

"Aamiin." Kemudian Amira pamit undur diri, dan disambut ramah oleh Faris. Amira mengajak Fatimah pulang sambil bergandengan tangan.

"Mah, adik Fat cewek apa cowok?" Amira tersenyum.

"Adiknya Fatimah cewek." Amira menunduk melihat Fatimah mendongak ke arahnya. Amira memberi senyum hangat.

"Cewek atau cowok adik Fatimah itu adalah ketentuan dari Allah. Jadi yang terpenting adalah adik Fatimah sehat. Jadi adik Fatimah sehat dan ummah juga sehat." Amira bisa melihat senyum Fatimah, dan gadis itu menganggukkan kepalanya dengan semangat.

"Ayo masuk," ajak Amira.

"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh."

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh, saya di belakang." Amira dan Fatimah saling pandang.

"Siapa Mah?"

"Ammi Dinan," jawab Amira kemudian dia mengajak Fatimah ke dapur.

"Fatimah makan dulu abis itu nanti ganti baju seragam di kamar, sudah Ammah siapkan. Ammah mau lihat Ammi dulu." Fatimah mengangguk tanda setuju. Kemudian Amira melangkah menuju belakang rumah.

"Pak Dinan sedang apa?" Amira terkejut dengan yang sedang dilakukan oleh Dinan.

"Tentu kamu bisa melihatnya, tapi maaf saya hanya menjemur yang miliki kamu soalnya rasanya gak nyaman kalau saya menjemur milik kakak ipar dan ibu." Amira menatap curiga Dinan.

"Bagaimana bisa pak Dinan memilah pakaian saya dengan yang lainnya?" Dinan menoleh kemudian dia tersenyum.

"Mudah saja, saya mengambil pakaian yang sering kamu gunakan." Dinan masih sibuk menjemur. Amira melihat jejeran bajunya yang digantung. Dia mengambil napas panjang.

"Pak Dinan bukan penguntit 'kan?" Dinan terkekeh geli.

"Bukan, seberapa suka saya kepada kamu saya gak akan melakukan hal konyol itu." Amira melihat aura santai di wajah Dinan dan hal ini bisa dipastikan bahwa suaminya tidak melakukan hal yang dia tuduhkan.

"Terus, bagaimana Bapak bisa membedakan baju saya?" Amira menoleh ke arah Dinan bertepatan dengan Dinan juga menoleh ke arahnya. Amira terdiam sejenak saat melihat senyum Dinan.

"Yang melihat beberapa kali," kata Dinan.

"Lalu, apa saja kegiatan pak Dinan dua tahun ini?" Dinan mengangkat keranjang kosongnya kemudian membawa masuk.

"Harus sekali ya dijawab?" Amira mengangguk dengan cepat. Dinan tersenyum kemudian menggandeng tangan Amira dan menghela Amira untuk duduk di kursi belakang.

"Saya setahun di rumah lama keluarga dan setahun di rumah baru." Amira menghembuskan napas.

"Kegiatan Pak Dinan." Dinan terkekeh kemudian dia membawa tangan Amira untuk digenggam.

"Dingin Pak." Dinan terkekeh karena Amira mencoba melepas tangannya, bagaimana tidak dingin dia baru saja menjemur baju yang jelas basah walau sudah dikeringkan di mesin cuci.

"Setahun di rumah bunda tidak banyak kegiatan, di bulan pertama saya pergi umrah dengan bunda. Ini alasan saya tidak bisa berjuang lebih lama untuk mendapatkan kepercayaan kamu waktu itu, karena saat sudah daftar umrah dengan bunda jadi mau tidak mau saya harus pergi." Amira menatap Dinan dengan wajah lesu, dia sempat menyalahkan Dinan yang tidak berusaha memperjuangkan dirinya.

"Kemudian selama tiga bulan saya tak memiliki pekerjaan, hanya di rumah. Hingga sampai Faris menelpon dan mengatakan ada salah satu pondok pesantren sedang membutuhkan tenaga pengajar. Saya datangi tempat itu dan beraktivitas di sana selama kurang lebih dua bulan. Padahal saya berniat di sana satu semester, qodarullah Ifa dan Maura sekeluarga kecelakaan hingga membuat Nabil meninggal dunia." Dinan berwajah keruh. Amira dengan ragu menggenggam tangan Dinan. Dinan tersenyum tipis ke arah Amira.

"Kami menerima kepergian Nabil dengan ikhlas, itu adalah takdirnya. Setelah meninggalnya anak pertama Ifa, adik saya itu sering mengalami pendarahan sehingga membuat saya memilih untuk kembali pulang dan menjaga adik saya karena suaminya juga mengalami beberapa patah tulang yang membuat dia harus dirawat."

"Kamu bukannya mendapatkan oleh-oleh dari saya?" Dinan tak ingin menciptakan suasana sahdu dia mencoba mencairkan suasana.

"Oleh-oleh apa?" Amira berpikir dia tidak pernah mendapatkan hadiah dari Dinan.

"Ah, saya titipkan ke Mala setiap kali dia berkunjung." Amira menoleh ke arah Dinan.

"Oh yang dari mbak Mala?" Amira berseru dengan cukup kencang. Dinan mengangguk sambil tersenyum.

"Oh, ada sih tapi masih di dalam lemari." Amira menjawab kemudian meringis tak enak hati.

"Belum kamu buka?" Amira menggeleng. Dinan dibuat heran.

"Sudah dibuka kok, hanya saja belum saya keluarkan dari kantongnya. Belum sempat berbenah soalnya. Jadi itu dari pak Dinan?" Amira melihat suaminya tersenyum kemudian Dinan mengangguk.

"Tunggu dulu," kata Amira mengingat sesuatu.

"Bagaimana bisa Ifa dan Maura kecelakaan bersama?" Dinan tersenyum tipis, dia mengingat bahwa Amira adalah orang yang kritis meski sedikit lamban.

"Suami Ifa itu adik suami Maura." Amira mengangguk kemudian menoleh ke arah Dinan curiga.

"Suami Maura meninggal tujuh bulan setelah kelahiran anak pertamanya, dan keluarga Maura jauh dari Maura. Maura adalah seorang muallaf, jadi hubungan keluarganya sedikit merenggang walaupun masih bertukar informasi namun tak sedekat keluarga pada umumnya. Hal itu yang membuat keluarga suami Ifa meminta keluarga kami untuk mengajak Maura pindah supaya Ifa dan suaminya bisa mengontrol keponakannya. Dan jadilah, Ifa diletakkan di rumah lama saya dan tinggalkan dengan asisten yang memang dimilikinya." Amira mengaguk paham.

"Kenapa kamu pikir Maura adalah istri saya? Kalau Ifa mungkin bisa dipahami karena kami dekat. Kalau Maura?"

"Ingat ex-halal yang dibahas di mobil waktu itu oleh mbak Mala?" Dinan mengangguk. "Ya, dari situ saya yakin."

"Berarti sebelumnya kamu sudah menduga?" Amira mengangguk dia membenarkan, Amira bukan sosok orang yang suka mengelak dia akan terbuka dengan seseorang yang dia mau dan sepanjang perkenalan keduanya Amira selalu terbuka dengan Dinan dalam beberapa hal.

"Benar, karena saya dengar dari mbak Mala kalau pak Dinan memboyong keluarganya dan saat saya lewat depan rumah pak Dinan saya sering melihat Maura di sana." Dinan mengangguk kemudian menoleh ke arah Amira.

"Alasan diterima." Dinan berkata dengan lembut kemudian menggerakkan tangannya di dalam genggaman sang istri.

"Maura itu apanya pak Dinan?" Dinan menoleh ke arah Amira.

"Bukan siapa-siapa," jawab Dinan santai.

"Yakin?" Amira menekan suaranya.

"Yakin, seratus persen." Amira menatap Dinan curiga, Dinan terkekeh melihat wajah sang istri yang ditekuk, dia tahu istrinya ini menginginkan penjelasan akan tetapi dia tidak ingin melukai perasaan istrinya.

"Kenapa? Dia hanya masa lalu dan kamu masa depan. Apa lagi yang perlu diragukan?"

"Tidak mungkin hanya masa lalu yang dilupakan kalau sampai pak Doni saja berpikir bahwa pak Dinan melamar Maura." Amira melepas tangannya kemudian dia menghadap ke depan dengan bibir mencebik dan tangan menggenggam erat.

"Terus saya harus jawab apa? Masa lalu bukan untuk dilupakan akan tetapi untuk dijadikan pelajaran menjalani masa depan." Dinan meraih tangan Amira dan mencoba melepas genggaman kuat Amira.

"Jawab yang jujur," kata Amira dengan nada merajuk, Amira segera menutup mulutnya saat dia tersadar dengan nada suaranya.

"Dia mantan pacar saya dulu, kami sempat pacaran satu bulan dan membuat dia masuk Islam. Setelah dia masuk Islam saya memutuskan dia dan kami hanya berteman tidak lebih. Dia memutuskan menikah setelah lulus kuliah dan saya memutuskan pindah ke kota ini dan memulai karir saya. Jadi diantara kami tidak pernah ada sesuatu yang spesial." Amira menoleh ke arah Dinan, Dinan melepas tangan yang menutupi bibir Amira kemudian memajukan wajahnya membuat Amira ketar-ketir. Dan hidung keduanya bersentuhan dan Amira memejamkan matanya secara naluri.

"Ammah, Fatimah sudah siap." Keduanya langsung menjauh. Dinan berdiri mengambil keranjang dan membawa masuk ke ruang cucian dan Amira berbenah pakaian yang tak ada yang salah sama sekali.

"Iya, Ammah segera ke depan." Amira berteriak dari belakang kemudian dia menyusul Dinan yang sudah ada di ruang makan sedang mengobrol dengan keponakannya. Amira menepuk kedua pipinya kemudian melangkah mendekati keduanya.

----

Terpopuler

Comments

Ana Putriee Terate

Ana Putriee Terate

makin lama makin sweet

2020-03-11

2

Dewi Terserah

Dewi Terserah

lanjuuuuuuuuttttttttttt,,,,,,

2020-03-06

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!