"Sebaiknya kalian pulang, ajak ibu juga." Amira menoleh ke arah Arif.
"Tapi Bang."
"Kenapa? Keponakan kamu udah lahir." Amira menatap Dinan meminta bantuan tapi Dinan justru diam saja.
"Tapi belum lihat." Amira masih ingin di sini, dia sedang tidak ingin bersama dengan Dinan di keadaan hanya berdua, karena dia yakin kalaupun ibunya ikut pulang pasti akan ada momentum keduanya hanya berdua saja.
"Ya sudah tunggu sebentar." Amira mendesah, kemudian dia menoleh ke arah Dinan yang tiba-tiba menggenggam tangannya.
"Kenapa?" Dinan menoleh ke arah Amira. Sehingga membuat Amira melihat wajah Dinan yang menurutnya tidak biasa.
"Pak Dinan kenapa?" tanya Amira panik.
"Saya tidak papa, saya hanya takut." Amira menatap Dinan heran. Takut? Apa yang ditakutinya? Amira tidak tahu sama sekali.
"Takut apa Pak?" Amira memberanikan diri untuk membawa tangan yang digenggam Dinan ke pangkuannya dan membelai lembut.
"Saya takut rumah sakit." Amira menoleh dengan sedikit mendongak. Matanya menatap Dinan dengan mata berkedip-kedip. Bayangkan, bagaimana Amira tidak merasa aneh seorang Dinan takut rumah sakit. Ini adalah hal yang mungkin sedikit lucu, tapi Amira menyadari bahwa setiap orang memiliki kekurangan masing-masing.
"Pak Dinan mau pulang?" tanya Amira pelan. Amira menoleh ke Dinan dan melihat Dinan mengaguk. Amira sebenarnya tak rela untuk pulang tapi karena melihat Dinan membuatnya jadi tak enak hati, dia kasihan melihat wajah dan merasakan tangan dingin Dinan.
"Bentar, saya pamit ke mereka dulu ya?" Amira berkata seolah dia sedang menenangkan anak kecil.
"Kita pamit bersama." Amira menoleh ke arah kumpulan keluarga yang lain kemudian dia menoleh ke arah Dinan. Amira tersenyum kemudian mengangguk.
"Ayo," kata Amira sambil berdiri dan Amira yakin Dinan mengikutinya.
"Bu, kami mau pulang lebih dulu." Amira membuka suara memecah obrolan diantara yang lainnya.
"Iya, maklumlah pengantin baru maunya berduaan terus." Nirmala yang menyahut membuat Amira melotot ke arah calon ibu muda itu, yang dibalas gelak tawa.
"Iya," jawab ibu Amira.
"Kata abang ibu juga diminta pulang untuk istirahat. Abang mana?"
"Ibu di sini dulu mau lihat adiknya Fat. Kamu duluan aja."
"Nanti ibu pulangnya gimana?"
"Nanti bisa sama aku." Nirmala menanggapi. Amira heran kenapa keluarga Dinan tidak ada yang membicarakan tentang ketakutan Dinan.
"Ya sudah, nanti pulang sama mbak Mala. Bunda, Ami pamit duluan." Amira menjabat tangan bunda Dinan.
"Iya, hati-hati."
"Kamu kenapa to, Mas. Ngikutin istri saja." Amira menoleh ke arah Dinan yang sedang menggaruk belakang telinganya.
"Gak papa Bun." Dinan buka suara dengan mata tak fokus, Amira menyadari bahwa lelaki itu sedang menyembunyikan sesuatu atau sedang menghindari sesuatu.
"Udah kenalan sama Ifa, Ndok?" Amira menoleh ke arah perempuan berjilbab hitam.
"Sudah bertemu beberapa kali tapi belum pernah kenalan."
"Emang Dinan gak pernah ngenalin kali ketemu." Amira mendengar tuduhan bunda Dinan, Amira hanya meringis tak enak hati.
"Dinan pikir mereka sudah saling kenalan, waktu di rumah Faris keduanya sudah ngobrol bareng Bun." Amira tersenyum canggung, ini adalah kebiasaannya yang sering kali acuh dengan keadaan.
"Ini Ifa, adiknya Dinan." Amira mengulurkan tangannya.
"Amira," kata Amira dengan pelan.
"Ifa, saya sudah tahu nama kamu kok." Amira mengangguk kemudian menoleh ke arah Nirmala.
"Yang sopan, Fa." Amira segera menoleh ke arah Dinan. Dia memang merasa bahwa adik Dinan tidak menyukainya namun dia tidak menduga jika Dinan menyadari hal itu.
"Pamit dulu ya, Mbak. Mbak juga jangan pulang malam." Nirmala mengaguk.
Setelah pamitan kepada semuanya, Amira dan Dinan berjalan bersisian menuju pintu keluar. Amira diam dengan pikirannya dan Dinan diam entah karena apa. Mungkin ketakutan terhadap rumah sakit membuat Dinan tak buka suara.
"Mau kemana Din?" Doni menyapa dari arah depan.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh." Bukan menjawab Dinan malah mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh. Mau kemana?" Dinan menunjuk ke arah pintu keluar.
"Kok udah mau pulang?"
"Memangnya kenapa?" Amira merasa terabaikan kembali. Mungkin ini faktor bulanan yang membuat dia sensitif.
"Ya mau pulang saja."
"Terus yang menunggu pasien siapa?"
"Ada banyak keluarga, kamu mau ngapain di sini?"
"Tadi Ifa telepon dengan nada bahagia dia menceritakan lamaran kamu. Terus katanya mau ngadain syukuran tapi beberapa menit yang lalu malah nelpon lagi bilang kalian di rumah sakit." Amira menoleh mengamati keduanya.
"Kok bisa sama Amira?"
"Iya, tadi kebetulan datang barengan." Amira menjawab dengan jawaban ambigu, karena dari yang dia dapat tangkap bahwa Doni tidak mengetahui bahwa wanita yang dilamar Dinan adalah dirinya.
"Gimana ceritanya kamu melamar dia?" Amira semakin yakin bahwa yang dibicarakan Doni bukan dirinya.
"Maksud kamu?" Amira melihat Doni menoleh ke arahnya dengan ekspresi tak enak hati. Amira justru penasaran dengan yang akan diucapkan Doni.
"Gak papa nih ngomongin dia di depan Mira?" Amira menoleh ke Dinan yang nampak santai.
"Gak masalah. Amira boleh tahu apapun karena itu hak Amira." Doni menoleh ke arah Amira kemudian dia mengangguk.
"Kamu kenapa melamar Maura?" Amira menatap Doni terkejut, hal itu membuat Doni meringis. Kemudian dengan cepat Amira menoleh ke arah Dinan, dia ingin tahu ekspresi wajah suaminya itu. Namun yang membuat Amira heran adalah lelaki yang beberapa jam lalu menjadi suaminya itu hanya menaikan satu alisnya kanannya. Eh, ekspresi apa itu?
"Bro, kamu jelas tahu wanita hamil dilarang dinikahi. Hukumnya haram kita bercampur ****** dengan ****** sesama saudara." Amira meremas kedua tangannya. Diantara ingin tertawa dan juga ingin mengingatkan Doni bahwa dia masih berdiri di sini jadi dijaga ucapannya.
"Terus?"
"Kamu tanya terus? Jangan aneh deh. Jangan karena Maura cinta pertama kamu terus kamu membutakan mata." Amira menatap wajah datar Dinan, dia heran kenapa suaminya itu lempeng-lempeng saja.
"Sebenarnya apa yang kamu tahu?" Dinan bukan menanggapi justru malah bertanya.
"Move on, Bro." Dinan tertawa kecil, Amira dibuat semakin heran.
"Sorry ya Don. Saya sudah move on lama. Kamu saja yang tak pernah merasa. Kenalkan ini istri saya dan kami permisi, assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh." Dinan menggandeng tangan Amira kemudian melangkah meninggalkan Doni yang masih terdiam mencerna keadaan.
"Usil banget sih, Pak." Amira tertawa melihat ekspresi terkejut Doni.
"Sesekali anak itu perlu diperhatikan supaya cepat move on." Amira mengerutkan keningnya.
"Nanti di rumah kamu boleh tanya apapun." Amira menoleh penuh minta ke arah Dinan.
"Yakin apapun." Dinan mengangguk tegas membuat Amira tersenyum. Amira bahagia akhirnya dia mendapatkan kesempatan untuk menanyakan segala kegundahan hatinya. Dia akan menanyakan sedetail mungkin, ini janjinya pada diri sendiri.
---
"Ya Rabb-ku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do'a."
[Ali 'Imran/3: 38].
----
Amira berjalan menuju rumah Faris untuk menjemput Fatimah, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam tak elok rasanya untuk bertamu akan tetapi meninggalkan Fatimah tidur di rumah Faris sedang dirinya ada di rumah itu jauh lebih tidak menyenangkan.
"Aku udah telepon kok," kata Dinan melihat wajah bimbang sang istri.
"Beneran gak papa?" Amira melihat Dinan mengangguk.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh." Dinan mengetuk pintu serasa mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Faris membuka pintu.
"Sorry, istri tidur di luar jadi gak aku biarin kamu masuk." Faris keluar dan menutup pintu kembali.
"Terus Fatimah bagaimana?"
"Dia gak rewel kok, dia tidur sama Ali dan istri. Gak papa dia malam ini tidur sini." Amira yang berdiri di teras agak jauh bisa mendengar ucapan Faris.
"Benar gak ngerepotin?"
"Gak papa, jugaan kalian pengantin baru." Faris berkata dengan nada jenaka.
"Pengantin baru terus kenapa?"
"Sudahlah, sana biar Fatimah di sini." Amira melihat Dinan mengangguk kemudian berpamitan untuk pulang.
"Saya atau kamu dulu yang ke kamar mandi?" Amira menoleh ke arah Dinan dia sedang merapikan tempat tidurnya dengan mengganti seprai dan memasang badcover.
"Pak Dinan aja dulu, saya masih mau membereskan ini dan menghangatkan makanan." Amira kembali merapikan tempat tidurnya.
"Baiklah," jawab Dinan sambil mengeluarkan kaos dan celana dari tas ransel yang dia bawa. Tas ransel? Pasti sedang bertanya kapan tas ransel itu ada?
Tas itu dibawa Dinan sejak tadi di rumah sakit, kata Dinan itu berisi pakaian dan beberapa pernak-pernik untuk berpakaian dua hari di rumah Amira. Itu tadi dibawakan oleh Ifa karena sejak awal memang tak ada tujuan menikah, tujuannya adalah untuk memastikan bahwa dia diterima. Tapi takdir siapa yang bisa menyangkalnya, jika sudah takdirnya maka tak akan ada yang bisa menghindarinya.
Amira menatap kasurnya yang nampak beda, dia segera keluar untuk melihat makanan yang ada di dapur. Saat dia ke dapur dia melihat tumpukan baju sang ibu dan kakak ipar dia segera memasukkan ke dalam mesin cuci, sebelum dia memisahkan warna gelap dan terang.
Sambil menunggu diairi, Amira membuka bufet dan melihat tumis kangkung, sambal bawang dan ada ayam goreng. Sambil memasukan ayam ke dalam minyak panas dan mengecilkan api Amira kembali pindah ke mesin cuci untuk memasukkan detergen.
"Sedang apa?" Amira menoleh ke arah Dinan yang sedang membalik gorengan yang dia tinggal.
"Mencuci, besok biar tinggal jemur." Amira melangkah mendekati kompor tapi dia tidak menggantikan Dinan, melainkan mencuci tangannya.
"Ini sudah?" Amira menoleh kemudian mengangguk. Amira tersenyum kecil saat melihat Dinan dengan ulet di dapur.
"Kenapa?" Amira mendekati Dinan kemudian mematikan kompor.
"Tidak ada." Amira mengambil piring dan gelas.
"Cukup satu gelas dan satu piring." Amira menatap Dinan heran tetapi Dinan justru bersikap biasa saja sambil menaruh kembali piring dan gelasnya.
"Pak Dinan gak lapar?" Amira menaruh piringnya.
"Lapar sekali malah." Amira menatap Dinan heran.
"Jangan heran, saya hanya ingin merasakan yang dirasakan Rosulullah dengan makan satu piring dengan istri."
Blus....
Ucapan Dinan membuat Amira salah tingkah dan mampu dengan cepat menghadirkan rona merah muda di pipi kanan dan kiri Amira. Amira segera menyentuh dua pipinya yang terasa panas, dan dia seolah tidak memiliki pilihan selain melengkungkan dua sudut bibirnya ke atas.
"Ayo!" Dinan duduk di samping Amira.
Amira dengan canggung mengambil nasi, sayur dan lauk di piring. Amira kemudian kembali duduk kemudian dia segera menoleh ke arah Dinan yang hanya diam saja. Kemudian keduanya makan dalam keadaan diam walau sesekali Dinan membuka mulut untuk berbicara namun Amira menyahut dengan singkat membuat keadaan menjadi canggung tak terelakkan.
"Kamu biasa makan semalam ini?" Amira yang sedang mencuci piring menoleh ke arah Dinan yang sedang mengisi botol minum dengan air putih. Tadi, Dinan meminta botol minum karena lelaki itu memiliki kebiasaan bangun malam dan membutuhkan minum air.
"Enggak sering hanya sesekali saja, kalau ada hal yang mendesak seperti hari ini. Mengapa Pak?" Amira berjalan menuju lemari es.
"Enggak, biasanya perempuan jarang mau makan malam takut gemuk." Amira terkekeh geli. Kebanyakan perempuan yang menjaga tubuhnya memang seperti itu, tapi tidak untuk Amira.
"Kamu tidak takut gemuk?" Amira menutup pintu lemari es.
"Enggak, gemuk itu relatif Pak. Bagaimana cara dan sudut pandang kita, kalau saya lebih senang sehat dan tidak perduli gemuk atau kurus. Tapi pada dasarnya saya juga gak mau berlebihan berat badan jadi menjaga pola makan yang sehat. Makan malam itu penting karena tidak tubuh kita membutuhkan lemak untuk cadangan energi dan menghangatkan tubuh." Amira duduk di kursi.
"Kamu tunggu di sini, saya mau cek pintu sudah benar-benar dikunci atau belum."
"Iya pak, untuk depan jangan digerendel ya. Takutnya ibu pulang." Dinan meng'iya'kan kemudian Amira duduk menunggu sang suami.
---
Amira keluar dari kamar mandi dengan jubah tidurnya, dia duduk di depan meja mengambil handbody dan duduk di pinggir kasur sebelah kiri, dia serasa canggung melihat Dinan yang tengah asik memainkan ponselnya.
"Kamu gak ingin mematikan lampu?" tanya Dinan kepada Amira yang sedang memasukan kakinya. Amira tidak menjawab dia hanya meringis kemudian dia beranjak dari tidurnya dan mematikan lampu. Ah, sungguh rasa gemuruh ini membuat dia bersikap tak wajar.
Amira kembali ke tempat tidur dengan suasana remang. Dia merasa gugup dan salah tingkah, karena tidak pernah satu ranjang dengan lelaki. Jelas saja, Amira belum pernah menikah.
"Kamu tidak jadi bertanya kepada saya?" Amira mendongak melihat Dinan yang masih bersandar di kepala dipan.
"Bagaimana kalau Bapak saja yang bercerita?" Amira sudah kehilangan semua soal yang akan ditanyakan kepada Dinan, dia saat ini lebih fokus pada jantungnya yang seolah mau bermain gendang dengan tempo tak beraturan.
"Saya mau cerita apa?" Amira menekuk dua bibirnya. Dia nampak berpikir.
"Saya juga gak tahu," jawab Amira pelan.
"Ya sudah, ini sudah tengah malam, sebaiknya kamu istirahat." Dinan bersiap untuk membaringkan tubuhnya namun tangannya dipegang oleh Amira.
"Tapi saya mau penjelasan Bapak." Dinan melepas tangan Amira kemudian dia ikut berbaring. Amira merasa canggung saat melihat wajah Dinan dari dekat, padahal ini keadaan kamar tidak terang dan juga tidak gelap gulita namun Amira terpesona dengan wajah datar Dinan yang menurutnya menawan.
"Penjelasan apa yang kamu inginkan? Harusnya saya yang meminta penjelasan kepada kamu." Dinan menyelipkan lengan kirinya di lehar Amira dan sekali sentak Amira sudah berposisi di depannya dengan berbantal lengannya.
"Pak Dinan, Allah...."
"Kenapa?" Dinan bertanya dengan senyum dikulum.
"Kenapa saya yang harus menjelaskan ke Bapak?"
"Karena kamu yang menuduh saya berpoligami, bercerai, tidak setia dan banyak istri."
"Eh, dari mana pak Dinan tahu?"
"Jadi benar kamu menuduh saya seperti itu?" Amira menguap.
"Kok saya mengantuk ya, Pak?" Amira memejamkan matanya, dia sedang berusaha untuk menghindari jalannya persidangan oleh seorang Dinan. Dia menyadari bahwa selama ini dia sudah berprasangka buruk kepada Dinan.
Melihat sang istri yang memejamkan matanya Dinan hanya tersenyum, dia tahu bahwa istrinya mengantuk dalam artian sebenarnya. Karena sejak pulang dari rumah sakit Amira nampak lesu dengan mata merah. Dinan melepas jilbab Amira, tak lupa dia mengucapkan basmalah.
"Maaf sudah berprasangka buruk." Dinan melihat Amira sudah bernapas teratur, dia tersenyum tipis saat mendengar ucapan di bawah sadar Amira. Kemudian Dinan memeluk Amira dan tak lupa mengucapkan doa kemudian dia mulai menyusul Amira untuk menyelami dunia mimpi yang tak pernah ada.
----
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Fika Vindia
uwwu dong 😍
2020-08-05
0
Umriyah Purnawati Sholikhah
aaaah baper
2020-07-08
0
Ana Putriee Terate
sweet bgt
2020-03-11
2