Keluarga

'Aisyah Radhiallahu 'Anha menuturkan: "Suatu ketika aku minum, ketika itu aku sedang haidh, lantas aku memberikan gelasku kepada Rasulullah dan beliau meminumnya dari mulut gelas tempat aku minum. Dalam kesempatan lain aku memakan sepotong daging, lantas beliau mengambil potongan daging itu dan memakannya tepat di tempat aku memakannya."

[HR Muslim]

---

Amira keluar dari kamarnya, ruangan nampak sepi tak ada orang. Dia sedikit heran, bukan karena apa? hanya heran saja kapan pulangnya Nirmala dan bunda Dinan. Ah, mengingat bunda Dinan dia menjadi merasa bersalah karena dia bersikap tidak sopan beberapa waktu lalu.

Amira mendengar suara dari arah ruang sholat, dia menoleh dan di sana sudah berdiri orang yang dia cari, Amira secara spontan berdiri dia merasa bersalah. Amira menghampiri sang ibu kemudian dia langsung memeluk sang ibu dan menangis, entah apa yang dia tangisi tapi yang jelas dia ingin menangis di pelukan sang ibu.

"Sudah, gak malu sama mertua dan ipar kamu?" Amira menangis tersedu-sedu.

"Maafkan Ami, Bu."

"Iya, sama-sama. Ibu juga minta maaf, sekarang kamu sudah menjadi istri, maka jadilah istri yang baik. Kamu perhiasan bagi suamimu. Ingat-ingat itu, berbuat baiklah." Amira mengaguk kemudian dia mengurai pelukan. Sang ibu dengan telaten menghapus pipi anaknya.

"Sana minta maaf sama mertua kamu, karena kamu sudah bertindak tidak sopan." Amira mengaguk kemudian menoleh ke arah ibu Dinan yang sudah mengobrol dengan Dinda dan Nirmala.

"Malu Bu," kata Amira kembali menoleh ke arah sang ibu.

"Sudah sana." Amira menoleh kemudian dia kembali menatap sang ibu sambil meringis, dia tidak memiliki keberanian untuk menyapa bunda Dinan.

"Ibu mau ke kamar ambil tas dulu," kata ibu Amira dan meninggalkan Amira sendiri. Amira menggigit kuku jadinya.

"Apa yang kamu lakukan di situ, Ndok?" Amira menoleh ke arah bunda Dinan.

"Saya, saya...." kalimat Amira seolah-olah tak mampu dia lanjutkan.

"Sini," kata bunda Dinan menepuk sofa kosong di sampingnya. Amira menggigit bibir bawahnya sambil berpikir untuk melangkah atau berbalik arah menuju kamarnya. Amira mencoba melangkah namun tak bisa dipungkiri bahwa rasa ingin melarikan diri sering menghampiri.

"Kenapa?" Amira mendongak menatap wajah bunda Dinan.

"Maafkan sikap tidak sopan Amira, Bun." Amira terkejut saat bunda Dinan justru tertawa kecil melihat tingkah Amira. Dia tidak menduga jika ibu mertuanya tidak mempermasalahkan sikap yang sudah dia lakukan. Karena menurut cerita yang pernah dia dengar, bahwa antar mertua wanita dan menantu wanita itu selalu ada sekat tak kasat mata tapi ini yang dia dapatkan adalah hal sebaliknya, tapi dia tidak tahu nantinya seperti apa.

"Gak papa, Bunda paham kok apa yang terjadi. Maklumlah, anak bunda itu seperti sangat care dengan banyak wanita jadi di mata polos kamu itu kamu bisa salah menilai anak lelaki Bunda." Amira menunduk malu, dia sudah salah sangka pada ibu paruh baya ini dan dia juga sudah menuduh anaknya yang tidak-tidak.

"Bunda senang akhirnya Dinan menikah dengan kamu," kata bunda Dinan membawa Amira ke dalam pelukannya. Amira dengan canggung membalas pelukan ibu mertuanya.

Amira merasa lega, satu masalah telah dia lewati dan mendapatkan satu jalan keluarnya dan dia yakin selama dia mau berusaha memperbaiki diri maka masalah akan bisa dilewati dengan baik. Amira merasa bahwa kini dia memiliki kewajiban yang bertambah, kewajiban akan kedudukannya sebagai seorang istri. Ya, dia harus sadar diri bahwa kini dia bukan lagi gadis bebas yang bebas bersikap sesuai pemikirannya kini dia adalah wanita bersuami. Ah, menyebut kata suami membuat Amira menghangat ada letupan rasa bahagia menyapanya.

"Kamu ganti baju dulu, kita ada makan malam bersama." Amira menatap bunda Dinan, dia menunduk dan dia ingat bahwa dia belum mengganti bajunya sejak tadi siang. Bahkan dia sendiri belum mandi. Amira mengangguk kemudian menoleh ke arah Dinda dan Nirmala yang nampak berbinar melihat ke arahnya.

"Ada apa?"

"Kamu tak ingin aku doakan?" tanya Dinda membuat Amira meringis. Kemudian dia mendekati sang kakak dan memeluk sang kakak ipar.

"بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ.

Semoga Allah memberi berkah kepadamu dan atasmu serta mengumpulkan kamu berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dalam kebaikan. Semoga menjadi keluarga sakinah mawaddah warohmah."

"Aamiin, terima kasih doanya." Amira menyeka air matanya kemudian dia menoleh kearah sahabatnya yang juga sedang menitikkan air mata.

"Selamat ya Mira, semoga menjadi keluarga sakinah mawaddah warohmah. Dan maaf kalau aku ada salahnya gak disengaja atau tidak." Amira mengangguk dalam pelukan Nirmala. Dia merasa bersalah juga tadi sudah bersikap kasar pada sosok baik hati seperti Nirmala.

"Maafkan saya juga ya, Mbak." Amira merasakan gerakan kepala Amira.

"Udah, cepat ganti baju. Lepas dulu kenapa sih La." Nirmala melepas pelukannya kemudian Amira melihat Nirmala nyengir ke arah bunda Dinan.

"Ami ganti baju dulu," kata Amira tak enak hati membuat banyak orang menunggu. Amira segera melangkah masuk ke dalam kamar dan dia harus mandi cepat supaya bau dan rasa lengket di badannya hilang.

---

Amira membenarkan posisi jilbabnya di depan cermin yang ada di lemari pakaian, dia merasa heran saat Dinan tiba-tiba masuk dengan wajah tergesa-gesa, dan saat pintu terbuka terdengar suara ribut-ribut.

"Ada apa?" tanya Amira menoleh ke arah Dinan kemudian menoleh ke pintu dan kembali lagi ke arah Dinan. Amira bisa melihat jelas wajah Dinan.

"Itu mbak Dinda mau melahirkan." Amira mengamati Dinan, dia sampai tidak sadar dengan yang diucapkan Dinan, dia hanya melihat Dinan melepas baju kokonya dan berganti dengan kemeja lengan pendek.

Amira tidak menyahut ucapan Dinan dia malah melangkah mengambil sarung dan baju Koko Dinan untuk dilipat dan dia gantung di hangar. Amira dengan santai mengambil ponsel dan juga dompet kecilnya. Amira bukan tipe orang ribet yang suka membawa pernak-pernik banyak saat pergi keluar ponsel dan yang sudah lebih dari cukup.

"Pak Dinan cari apa?" tanya Amira melihat suaminya sedang mencari sesuatu. Ah, suami rasanya kaku Amira ucapkan namun dia cukup senang.

"Kunci mobil." Amira menunjuk ke arah gantungan kunci yang ada di dekat lemari. Amira tadi memang menaruh kunci mobil Dinan di sana berjajar bersama kunci-kunci milik Amira, namun jangan salah kunci hati Amira tidak akan pernah ditemui di sana.

"Ayo!" Amira menatap punggung Dinan . Amira menghela napas mengikuti langkah Dinan. Dia menutup pintu dan dia merasakan keheningan.

"Di mana orang-orang?" Amira mencari ke dapur dan ke seluruh ruangan.

"Kamu nyari siapa?"

"Orang-orang kemana?"

"Ke rumah sakit." Amira menatap Dinan dengan cepat.

"Ngapain?" Amira bisa melihat wajah heran Dinan, dia merasa mengucapakan sesuatu yang tidak membuat bingung, tapi mengapa dia melihat wajah Dinan yang aneh.

"Tadikan saya sudah bilang, kalau mbak Dinda melahirkan." Amira seperti disengat panas dia merasa sangat terkejut.

"Terus?" Amira berjalan cepat menuju depan.

"Ayo Pak!" Amira terus melangkah keluar meninggalkan Dinan. Amira menutup pagar setelah Dinan keluar keduanya berjalan menuju kawasan kosong yang ada di ujung komplek, di sana adalah tempat parkir mobil.

"Fatimah di mana?" Amira menautkan dua tangannya karena angin menerpa membuat hawa dingin menyapa tubuhnya.

"Fatimah tadi sama Faris, karena gak mungkin dia ikut ke rumah sakit."

"Kamu tunggu di sini, saya ambil mobil." Amira mengangguk kemudian dia melihat Dinan berjalan meninggalkan dirinya menuju beberapa bapak penunggu parkir mobil.

Iya, di perumahan Amira ini ada salah satu keluarga yamgbuka usaha untuk parkir mobil. Soalnya jika diparkir di depan rumah akan mempersempit jalan. Maklum bukan kawasan elit yang ada garasinya jadi harus bersabar jika berkunjung dan harus memarkirkan mobilnya di tempat parkir mobil jika berkunjung lama. Tapi jika sebentar bisa di taruh depan rumah tujuan, nanti jika dianggap lebih satu jam pasti akan di datangi penjaga keliling untuk memindahkan mobilnya.

Dalam perjalanan menuju rumah sakit bunda baik Amira dan juga Dinan tidak ada yang membuka suara, keduanya diam hingga separuh jalan.

"Pak," panggil Amira saat dia merasa tenggorokannya panas, dia merasa haus karena belum memasukkan air sama sekali ke tenggorokan hampir setengah hari. Ah, terakhir adalah saat dia minum coklat panas tadi siang. Oh, bukan saat dia melihat dua istri Dinan di depan minimarket.

"Ada apa?" tanya Dinan menoleh ke arah Amira, mata keduanya bertemu hal itu membuat Amira salah tingkah.

"Ada minum?" Amira mengeluarkan suaranya lirih. Dinan melihat ke depan dan saat lampu berubah menjadi merah Dinan berhenti dan mengambil sesuatu di jok belakang.

"Ini," kata Dinan memberikan sebotol minuman kemasan.

"Terima kasih." Dinan hanya mengangguk kemudian Amira meminum air itu hingga setengah.

"Sudah?" tanya Dinan sambil kembali menjalankan mobilnya.

"Sudah," kata Amira. Kemudian dia melihat Dinan mengulurkan tangannya dan Amira menatap heran.

"Ada apa?"

"Saya juga haus." Amira menatap Dinan kemudian dia paham dan memberikan minumannya kepada Dinan, dan saat di parkiran Dinan segera meneguk habis air Yanga dan di dalam botol membuat pikiran Amira melayang ke mana-mana.

Bagaimana tidak dia dan Dinan baru saja meminum air dari tempat yang sama, dia baru saja melakukan sesuatu yang tak pernah dia lakukan.

"Ayo turun!" Dinan sudah membuka mobilnya dan keluar. Dia melihat Dinan berada di depan mobil jangan pernah berharap lelaki membukakan pintu mobil karena hal itu langka terjadi entah itu lelaki romantis atau memiliki pemikiran sederhana seperti Dinan.

----

Amira dan Dinan berjalan menuju bagian pendaftaran, dia ingin menanyakan ruang tempat Dinda ditangani. Namun belum juga mendapat jawaban sosok berjilbab besar datang tergesa-gesa mendekati Dinan.

"Mas Dinan," panggil wanita berjilbab hitam. Dinan dan Amira menoleh, Amira terdiam melihat wanita yang sedang menggendong anak perempuan. Dia ingat benar siapa perempuan di depannya itu, perempuan itu ada perempuan yang sama dengan perempuan yang bersama Dinan di rumah Faris.

Amira semakin tegang saat dengan cepat Dinan melepas tangan Amira dan melangkah langsung menggantikan wanita itu menggendong bayinya. Amira diam di tempat.

"Kamu kebiasaan," kata Dinan lirih namun masih mampu didengarkan oleh Amira. Dia hanya tersenyum tipis kemudian dia merasa dicolek oleh pegawai pendaftaran.

"Ada di ruangan bersalin. Ibu lurus saja kemudian belok kanan." Amira mengikuti pergerakan tangan orang yang menunjukan jalan itu temudian mengaguk. Tanpa memperdulikan Dinan dia melangkah berjalan menelusuri lorong dalam diam seorang diri. Entah, rasa hambar menyergapnya tanpa memberi ruang sedikitpun.

Amira menyayangkan sikap Dinan, dia tahu jika perempuan itu bukan istri Dinan, bisa jadi dia adik atau adik sepupu Dinan. Namun saya Dinan sama sekali tidak mengindahkan keberadaan dirinya hal itu cukup berkesan bagi Amira. Dan Amira sadar diri kini dia tengah terlalu dalam pikirannya.

"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," salam Amira mendekati sang ibu.

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Amira menjabat tangan ibu dan ibu mertuanya.

"Kok sendiri?"

"Masih jalan di belakang." Amira menjawab dengan tenang. Amira kemudian menoleh ke arah Arif yang sedang menunduk. Amira meninggalkan dua ibu yang menatap heran Amira.

Amira menepuk bahu sang kakak. Saat Arif mendongak butiran kristal keluar dari telelaga Amira dan langsung meluncur ke pipi Arif. Hal itu membuat Arif terkejut, dia berdiri kemudian menuntun Amira untuk duduk.

"Kamu kenapa?" tanya Arif pelan.

"Yang harusnya tanya itu Ami, Bang. Abang kenapa?" Amira menyembunyikan perasaannya.

"Abang hanya sedikit terkejut. Kamu tahu bukan mbakmu selama ini begitu menjaga kesehatan karena ingin melahirkan normal? Dia tidak ingin operasi seperti saat melahirkan Fatimah." Amira mengangguk sambil menghapus air matanya.

"Tapi bayi kami tidak bergerak untuk keluar Amira, jadi mau tidak mau mbak kamu harus operasi." Tangis Amira pecah, entah untuk bersimpati atau untuk apa dia menangis tapi yang jelas ada luka saat salah satu keluarganya juga mengalami kesusahan. Ya, Dinda jelas keluarganya dia adalah kakak iparnya selain itu dia juga sosok kakak perempuan yang baik baginya.

Amira menangis di pelukan Arif, dia menumpahkan segala rasanya. Amira mencoba tenang saat merasa ada tepukan di bahunya. Amira mengurangi pelukannya.

"Kamu masih saja nangis di pelukan Abang. Lihat suamimu cemburu." Amira menoleh ke arah Arif kemudian ke arah Dinan bergantian.

"Kenapa menangis?"

"Mbak Dinda operasi." Amira menghapus sisa air matanya walaupun dia kuwalahan karena air matanya tak kunjung berhenti. Dinan duduk di tempat duduk Arif karena lelaki itu entah sudah pergi kemana meninggalkan Dinan dan Amira berdua.

"Kenapa kalau operasi?" Amira menggeleng kemudian dia hendak berdiri.

"Mau ke mana?"

"Ke tempat ibu." Amira menoleh ke arah Dinan kemudian dia melihat lelaki itu menggelangkan kepalanya. Amira mendesah kemudian dia kembali duduk.

---

Terpopuler

Comments

Ana Putriee Terate

Ana Putriee Terate

huh Dinan gtu sih gk peka

2020-03-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!