"Rasulullah pernah mencium salah seorang istri beliau baru kemudian berangkat menunaikan shalat tanpa memperbaharuhi wudhu'."
[HR Abu Dawud dan Tirmidzi]
---
Amira menutup pintunya kemudian menguncinya dengan tangan gemetar, dia berjalan menuju kasurnya kemudian membenamkan wajahnya di bantal.
"Ya Allah... Aku malu," kata Amira sejak tadi, dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia tetap menyembunyikan wajahnya.
Setelah beberapa saat Amira langsung membuka banyak di wajahnya kemudian dia langsung duduk.
"Apa yang harus aku lakukan?" Amira menatap pintu kemudian dia berdiri dan mengintip melalui jendela dan dari sana dia bisa melihat depan rumahnya cukup ramai.
"Apa yang harus aku lakukan?" Amira kembali duduk di pinggir tempat tidur. Dia merasa tak memiliki ide dia hanya merasakan bahwa perutnya keroncongan karena belum diisi sejak siang tadi. Tadi siang dia hanya makan roti basah belum sempat makan, niat hati dia ingin mencoba restoran baru yang ada di gang masuk perumahan namun diurungkan karena moodnya yang turun drastis.
"Ya Allah apa yang telah terjadi." Amira menghempaskan tubuhnya dengan ranjang. Dia merasa sangat lelah dia menutup matanya dengan lengan dan berharap bahwa dia mendapatkan ide untuk hal yang harus dia lakukan saat ini, hingga beberapa saat kemudian dia semakin mendalami gelap dan mimpi menyapanya secara pelan dan pasti.
Entah berapa lama Amira terlelap, dia dikejutkan dengan suara ketukan pintu tak teratur. Dia duduk kemudian membersihkan mata dan hidungnya, setelah dirasa tubuhnya sudah normal Amira berdiri dan berjalan menuju pintu, dia membuka slot pintu dan ternyata terkunci jadi dia dengan cepat memutar kunci pintu dan membukanya. Dia sangat terkejut saat yang di depan pintu sudah ada beberapa orang yang berdiri.
"Ada apa?" tanya Amira menatap ibu, kakak, kakak ipar dan juga Nirmala bergantian.
"Kamu baru ngapain?" Amira menengok ke dalam kamar kemudian membuka pintu lebih lebar.
"Ami ketiduran." Semua menghela napas kemudian Amira seolah diingatkan sesuatu dia langsung membekap mulutnya dan menatap terkejut semua yang ada di depannya lalu dengan cepat berlari menuju kamar mandi.
"Ada apa dengan anak itu?" ucapan Arif masih didengar Amira namun tak dia acuhkan. Amira masuk ke kamar mandi dengan kaki kirinya kemudian dia langsung mencuci wajahnya dengan bersih.
Dia bernapas cepat-cepat, dia merasa tersengal.
"Tadi mimpi atau nyata ya?" Amira menatap wajahnya di cermin. Dia mengambil handuk mengeringkan wajahnya kemudian dia keluar dari kamar mandi dengan kaki kanan. Dia menggerai handuk di hanger kemudian dia berjalan menuju lemari namun dia berhenti saat melihat sosok tak terduga duduk di kursinya.
"Apa yang pak Dinan lakukan?" Amira menoleh ke arah pintu kemudian dia menoleh kembali ke arah Dinan.
"Tadi kata bang Arif suruh masuk sini." Dinan masih sibuk dengan mengamati Amira, hingga membuat Amira salah tingkah. Ingin rasanya Amira masuk kembali ke kamar mandi tapi dengan alasan apa?
"Memangnya abang, bukan kenapa abang. Eh bukan ding. Apa yang diminta abang? Kenapa minta pak Dinan di sini?" Amira berkata dengan susah hingga membuat rangkaian kata menjadi rancu. Dia merasa sangat malu dan juga gugup saat ini, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
"Katanya sambil menunggu isya dan makan malam suruh istirahat di sini." Dinan masih memasang wajah datar.
"Kok gitu, abang pasti lupa kalau dua orang gak boleh berduaan dalam ruangan tertutup." Dinan menaikan satu alisnya. "Khalwat, kalau gak salah istilahnya." Amira menggerakkan kakinya di tempat. Dia menunduk memilih jilbab yang dia pakai.
"Benar juga ya," kata Dinan berdiri dari kursi, melihat pergerakan Dinan Amira mendongak dan saat Dinan melangkah mendekati Amira saat itu pula Amira mundur namun baru dua langkah Amira sudah terhempas ke tempat tidurnya. Dinan dan Amira sama-sama terkejut Dinan segera membalikan badannya sedang Amira segera duduk dan membenarkan posisi jilbabnya.
Amira melirik ke arah Dinan yang nampak menghela napas. Dia bingung harus berbuat apa? Mengusir Dinan sama saja membuat keributan. Amira terkejut saat tiba-tiba Dinan berbalik badan. Amira melotot kemudian dia menunduk.
"Sebaiknya kita bicara dahulu," kata Dinan kembali duduk di kursi. Tapi kursi itu diangkat Dinan mendekati Amira duduk. Amira salah tingkah dengan ekspresi tak terbaca Dinan.
"Membicarakan apa?" Dinan menghela napas kemudian menatap wajah Amira.
"Kamu ingin melanjutkan pernikahan ini atau kamu mau membatalkan?" Amira menatap Dinan horor kemudian dia dengan lantang berkata, ''lanjutkan, siapa yang mau jadi janda setelah menikah beberapa saat."
"Pembatalan pernikahan tidak menyebabkan kamu menjadi janda." Dinan menatap Amira.
"Berarti aku tetap gadis?" tanya Amira.
"Menurut negara seperti itu." Amira menatap Dinan dengan curiga.
"Kalau agama?" Dinan menaikan alisnya.
"Kalau menurut agama, saat seseorang sudah menyebut namanya si gadis di ijab kabul berarti gadis itu sudah sah sebagai seorang istri. Bukan gadis lagi, jadi kalaupun melakukan pembatalan pernikahan Wallahu alam." Dinan berkata dengan santai. Amira mentap Dinan dengan cemas.
"Bagaimana?" Amira menggeleng.
"Maksudnya?"
"Saya gak mau jadi janda." Amira berkata dengan nada lirih, dia sungguh tidak tahu harus mengambil keputusan apa.
"Siapa yang membuat kamu janda, kamu akan menjadi janda kalau saya meninggal lebih dahulu dari kamu." Amira menatap Dinan cepat, dia melihat raut serius nampak di wajah Dinan.
"Jadi pak Dinan tidak akan meninggalkan saya?"
"Saya jelas akan meninggalkan kamu," jawab Dinan santai tapi dia sadar jawabannya membuat wajah murung Amira. "Bukankah saya bilang, kalau kamu akan menjadi janda kalau saya meninggal lebih dahulu dibandingkan kamu. Itu artinya selama saya masih hidup maka kamu akan tetap menjadi istri saya dan bersama saya."
"Terus arti tawaran tadi apa?"
"Saya tidak menawarkan, saya hanya bertanya. Tapi jawaban apapun yang kamu pilih tidak akan mengubah apapun. Setelah saya ijab kabul semuanya tidak ada yang perlu disesali."
Amira menatap Dinan dengan mulut sedikit terbuka, dia tidak tahu jika Dinan seotoriter itu. Amira membuka dan menutup mulutnya, dia ingin berbicara namun dia tidak tahu harus berbicara apa.
"Mengapa hanya diam?" Amira menggeleng, dia kembali menatap Dinan kemudian dia menunduk mengamati dua tangannya yang saling bertumpuan di dua pahanya.
"Ada yang ditanyakan lagi?" Amira menggeleng.
"Kamu yakin?" Amira mengaguk.
"Baiklah, mari kita mulai." Amira mendongak menatap Dinan, dia tidak paham pada kata memulai, apa yang ingin dimulai?
Dinan mengulurkan tangannya, Amira menatap tangan dan wajah Dinan bergantian. Amira ragu untuk meraih tangan Dinan. Dia masih ingat dua tahun yang lalu saat keduanya dengan mudah bersentuhan. Dua tahun yang lalu saat melakukan dosa Amira begitu ringan dan tak bermasalah namun sekarang saat status sudah jelas tangannya terasa berat untuk menjabat tangan Dinan.
"Mungkin beberapa menit yang lalu tangan ini adalah lebih buruk dari bara api yang panas, namun setelah aku mengucapkan ijab kabul tangan ini adalah sebuah bentuk baktimu kepada suamimu." Amira menatap Dinan, saat Dinan memberi kode untuk segera mengambil tangannya Amira mengaguk kemudian dengan mengucapkan bismillah Amira menerima uluran tangan Dinan. Dengan takzim Amira mencium punggung tangan Dinan.
Amira menjadi ingat salah satu hadits yang menyebutkan bahwa Rosulullah pernah bersabda, jika seorang manusia boleh menyembah manusia lainnya maka Rosulullah akan menyuruh seorang istri menyembah suaminya. Jadi, dari hadits itu bisa dilihat kedudukan sang suami yang sangat tinggi bagi seorang istri. Suami adalah pemimpin, panutan, sahabat hidup, dan masih banyak lagi dalam kehidupan rumah tangga.
Dinan meraih Amira ke dalam pelukannya entah karena rasa apa dengan cepat Amira memeluk Dinan dengan erat. Amira mendengar ucapan Dinan.
"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan (diri)-nya dan kebaikan (tabiat) yang Engkau ciptakan padanya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan (diri)-nya dan keburukan (tabiat) yang Engkau ciptakan padanya." Amira dengan sadar langsung mengeluarkan butiran kristal dari kedua bola matanya. Kemudian dia merasakan ubun-ubun dibelai dan dikecup lama oleh Dinan. Dan seolah tidak rela saat Dinan melepas bibirnya dari kening Amira, tangis Amira pecah.
"Hai, mengapa menangis?" Dinan mengurai pelukannya. Amira hanya menggelengkan kepalanya kemudian dia bersembunyi di dada Dinan. Dinan berdiri kemudian memeluk Amira sehingga isakan Amira tertahan di perut Dinan.
"Sudah puas?" Amira mengangguk kemudian dia mendorong tubuh Dinan pelan.
"Sholat dulu?" Amira menatap Dinan kemudian dia menggigit bibirnya.
"Ada apa?" Dinan menatap Amira curiga.
"Saya sedang haid." Amira mengatakan itu dengan sangat lirih. Dinan duduk kembali tapi bukan di kursinya melainkan di pinggir tempat tidur bersama Amira.
"Sudah berapa lama?" Amira menoleh ke Dinan kemudian dia menunduk lagi.
"Baru dua hari."
"Biasanya berapa hari?" Dinan menarik dagu Amira untuk mendongak supaya wajah keduanya saling bertatap.
"Enam sampai delapan hari." Amira melihat Dinan mengangguk.
"Boleh saya mencium kamu?" Amira dua bola mata Dinan. Dia melihat bola mata Dinan tidak berwarna hitam seperti pada umumnya orang Indonesia, melainkan warna coklat keemasan. Itu begitu indah berpadu dengan warna putih yang nampak bersih.
"Ami?" Amira tergagap kemudian dia mengangguk. Wajah Dinan mendekati wajah Amira hingga tinggal beberapa centimeter saja Amira segera menutup matanya dan bertemulah dua bibi anak manusia itu dalam keheningan. Setelah beberapa saat diam entah siapa yang memulai keduanya seolah mengikuti naluri yang ada pada dirinya dan melakukan yang memang seharusnya dia lakukan. Menurut sebagian orang, tidak perlu kita belajar tentang cara hubungan dengan istri atau suami karena setelah halal nanti naluri akanenuntun sendiri cara yang benar dengan status yang benar dan setiap perbuatan bukan menjadi dosa melainkan menjadi ibadah semata.
"Pak Dinan," panggil Amira saat keduanya mengambil napas.
"Ada apa?"
"Sudah adzan Isya." Dinan menatap Amira kemudian tersenyum, senyum yang begitu indah membuat Amira ikut menarik kedua sudut bibirnya untuk melengkung ke atas.
"Saya wudhu dulu," kata Dinan beranjak dari duduknya, namun tangannya ditahan oleh Amira saat Dinan hendak melangkah.
"Ada apa?" Amira hanya tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya. Dinan menaikan satu alisnya kemudian kembali mendekati sang istri dan mencium keningnya membuat senyum Amira semakin lebar dan Dinan bahagia melihat hal itu. Kemudian Dinan meninggalkan sang istri yang sedang mengarungi dunianya menuju kamar mandi dan berwudhu.
"Mii, boleh pinjam handuk." Dinan keluar dari kamar mandi dengan wajah basahnya.
Amira segera mengambil handuk dari lemarinya, dia kemudian dengan ragu memberikan handuknya kepada Dinan.
"Mengapa?" Amira melepas handuknya saat sudah disentuh Dinan.
"Handuknya itu bukan handuk baru." Dinan segera mengeringkan wajahnya.
"Lalu?"
"Apa tidak papa?"
"Tidak." Dinan memberikannya kembali kepada Amira kemudian dia mengambil lipatan kecil kopyah di atas meja.
"Saya ke masjid dulu," kata Dinan sambil mencium kening sang istri dan melangkah keluar kamar. Amira menyentuh keningnya kemudian dia merasa ada bunga-bunga yang bermekaran mengelilinginya. Dia merasa sangat bahagia entah mengapa dia merasa bahagia padahal dia sadar benar bahwa permasalahannya dengan Dinan belum seratus persen selesai.
----
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Ana Putriee Terate
aaa baper
2020-03-11
3
Dewi Terserah
baper tingkat dewaaaa,,,,,
2020-02-28
3