Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata."
[Muttafaq 'alaihi]
---
Amira keluar dari mobil taksi setelah membayar argo yang tertera. Dia menatap heran rumahnya yang nampak ramai tidak seperti biasanya. Amira merasa ragu untuk masuk apa lagi saat dia mendengar suara Damar di dalam. Dia tak yakin.
"Mengapa tidak masuk?" Amira terkejut dengan kehadiran lelaki itu di rumahnya.
"Dlo, pak Dinan kok sudah di sini?" Dinan menatap Amira kemudian membuang muka.
"Masuklah," Amira menatap Dinan kemudian ia nampak berpikir, dia rasa tuan rumah masih belum berubah akan tetapi mengapa Dinan yang mempersilahkan masuk ke dalam rumah bukan dirinya.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," salam Amira melangkahkan kaki kanannya masuk ke dalam rumah.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Amira menatap Arif, Faris dan Damar bergantian kemudian dia beristighfar dan menunduk.
"Kok lama, Mi? Dinan udah datang sejak beberapa menit yang lalu." Amira menoleh ke sang kakak kemudian tersenyum canggung. Amira tidak bersuara dia mengangguk kemudian berjalan masuk ke dalam dan di sana dia disambut pelukan Nirmala dengan heboh.
"Mbak ngapain di sini?" Nirmala melepas pelukannya, dia menatap Amira heran.
"Dla, emang aku gak boleh nemuin kamu. Aku kangen tahu sama kamu dichat gak dibalas, ditelpon gak dijawab. Mau kamu apa?" Nirmala bukan merasa bersalah dia malah menyudutkan Amira.
"Ami ke dalam dulu," kata Amira.
"Terus keputusan ditangan siapa?" Arif yang merasa heran dengan adiknya mengikuti langkah sang adik.
"Ngikut yang terbaik menurut Abang," kata Amira kemudian masuk ke dalam kamar. Amira menutup pintu kamar dan menguncinya. Dia meletakkan tas di lantai kemudian menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Dia lelah sungguh, rasanya saat menilhat Dinan dia ingin sekali mencakar-cakar wajahnya.
"Amira, keluar!" Amira yakin bahwa itu suara sang kakak. Dia merasa bahwa kakaknya sedang dalam keadaan tidak baik, mungkin ini pengaruh sikap dia yang tidak sopan terhadap tamu.
Amira mengganti jilbabnya dengan jilbab rumah berbahan kaos tapi masih selebar jilbab yang biasa dia gunakan. Dia menepuk kedua pipinya kemudian dia membuka pintu dan di depan pintu sudah ada Arif yang berdiri menjulang.
"Setelah sholat Asar kamu berikan jawaban untuk Dinan." Arif berkata dengan nada tegas.
"Ami gak mau dipoligami, apalagi dijadikan istri kedua atau ketiga. Ami gak mau, selain itu juga Ami gak mau diceraikan saat dia sudah bosan. Amira gak mau Bang." Arif menatap Amira dengan wajah yang sulit diartikan.
"Mengapa kamu berpikir demikian?" Arif menghela Amira kembali masuk ke dalam kamar.
"Pak Dinan baru saja bercerai, Bang. Ami tidak mau nanti saat ada masalah kecil atau ketertarikan dengan wanita lain Ami diceraikan. Ami gak mau," kata Amira diiringi Isak tangis.
"Kamu yakin Dinan baru bercerai?" Amira mengangguk.
"Istri pak Dinan lebih dari dua jika Ami menikah dengannya dan pak Dinan ruju' dengan istri lamanya. Apa lagi dua istri pak Dinan sudah memiliki anak yang seumuran. Ami gak sanggup, sungguh Amira gak mau menikah dengan pak Dinan dengan keadaan seperti itu." Arif membelai kepala Amira dengan penuh kasih sayang, dia tidak berpikir bahwa semua ini imbas dari sebuah kegagalan yang pernah menyapa Amira, tapi dia yakin bahwa dengan keadaan seperti apapun Dinan maka lelaki itu pasti bisa membahagiakan adiknya.
"Kamu tahu pahala orang yang dipoligami?"
"Gak mau, Amira mau mencari pahala yang lebih banyak namun dengan ibadah lainnya."
"Poligami tiket ekspres ke surga loh, masak gak mau?" Amira menatap mata sang kakak dengan semerbak air di matanya, dia tidak tahu mengapa sang kakak memiliki pemikiran seperti itu.
"Padahal ada jalan mulus kok milih jalan terjal." Amira mentap menggelengkan kepalanya.
"Ya sudah, persiapan sholat setelah itu ke ruang tengah kita bahas ini semua bersama. Kalau kamu memang tidak mau dengan Dinan katakan sejujurnya jangan menggantung Dinan terlalu lama."
"Aku mau menikah dengan pak Dinan," kata Amira cepat kemudian dia membungkam mulutnya. Arif menoleh ke arah sang adik dengan wajah menggoda.
"Jadi mau mengambil tiket ekspres ke surga?" Amira menggelengkan kepalanya.
"Kalau keadaan Dinan seperti itu kamu harus menerima paket komplit, Amira." Amira menggeleng.
"Aku mau nikah sama pak Dinan kalau pak Dinan gak punya banyak istri." Arif menggelengkan kepalanya.
"Kalau kamu mau menerima Dinan, kamu juga harus menerima semua kenyataan yang ada. Jika yang kamu pikir itu memang benar adanya kamu harus menerima kenyataan bahwa kamu harus rela berbagi saat kamu bersedia menikah dengan Dinan." Amira menatap Arif dengan wajah polosnya. Dia kembali menangis dengan tersedu-sedu membuat Arif kebingungan dengan sikap adiknya.
"Hai, kenapa menangis?" Arif membawa sang adik ke dalam pelukannya.
"Aku mau pak Dinan yang dulu, aku tidak mau gagal menikah lagi. Tapi aku gak mau dipoligami." Arif menepuk bahu sang adik lembut.
"Hilangkan pikiran jelekmu Ami, sekarang kamu punya pilihan menerima atau menolak. Jangan biarkan pikiran jelekkmu menguasai dirimu dan membuat kamu mengambil keputusan yang akan kamu sesali seperti sebelumnya." Arif berkata dengan suara datar dan bijak.
"Aku tidak menyesal gagal menikah dengan Farhat." Amira menyahut dengan nada tersungut.
"Tidak, kamu tidak menyesal gagal menikah dengan Farhat namun mampu mengubah pandangan kamu tentang pernikahan dan bukannya kamu sangat menyesal sudah menolak Dinan dua tahun yang lalu? Apa kamu mau mengulangnya kembali?" Amira melepas pelukannya kemudian dia menatap wajah sang kakak.
"Kalau dipikir-pikir sepertinya Abang mendukung pak Dinan, jadi berat sebelah seolah Abang mendukung Ami tapi sebenarnya tidak." Arif terkekeh melihat Amira mengeluarkan nada merajuknya.
"Memang benar, Abang mendukung Dinan. Bentuk sikap sesama lelaki." Amira melotot kemudian dia mendesis pelan.
"Lelaki dan kekompakan yang dibuatnya." Amira berkata lirih namun mampu membuat Arif mendengarnya dan menyemburkan tawanya. Dia tidak tahu terbuat dari apa hati dan otak adiknya yang selalu berpikir sendiri tanpa peduli dan mencari sesuatu yang mampu menguatkan dugaannya.
"Sudah, pikirkan matang-matang."
"Aku sudah memikirkannya, aku akan menikah dengan pak Dinan kalau pak Dinan belum menikah. Bahkan saat ini juga."
"Kalau Dinan sudah pernah menikah? Amira langsung bungkam seribu suara. Dia tidak tahu harus mengambil keputusan apa.
"Sudah pikirkan, Abang mau ke masjid dan mencari rumah makan yang bisa dibooking dan bisa dijadikan tempat makan yang terpisah antara lelaki dan perempuan." Amira mengangguk saja. Dia tidak bisa berpikir untuk saat ini.
---
Amira duduk dengan tegang di kursi paling ujung, dia tak menghiraukan pandangan tiga wanita yang ada di depannya, dia hanya diam meyakinkan hatinya bahwa dia sudah menyerah, dia tidak mau menikah dengan Dinan. Dan keputusan yang sudah dia ambil ini telah dia pikirkan dengan matang.
Amira menyadari jika sejak tadi Nirmala gatal ingin mengajaknya bicara namun dia tidak memperdulikan hal itu yang dia pikirkan saat ini adalah ketegasannya dalam mengambil keputusan. Dia tidak mau digoyahkan dengan apapun.
"Ami, kok mas Arif gak pulang-pulang?" Amira menoleh ke arah Dinda.
"Gak tau Mbak." Amira masih masang wajah tak terbaca.
"Coba kamu cek ke masjid." Amira mengangguk kemudian dia berjalan keluar dan berpapasan dengan Farid dan Damar.
"Mau kemana?" Amira menunduk.
"Mau cari bang Arif." Amira menjawab dengan pelan.
"Arif sedang ke universitas Kota bersama Dinan ada yang perlu diurus." Amira mengepalkan tangannya, dia jadi ingat tentang pertemuan dua istri Dinan di dekat universitas Kota. Jadi ini yang terjadi, Dinan sedang meminta izin kepada istri-istrinya untuk menikah lagi. Amira mengangguk kemudian dia kembali masuk ke dalam rumah. Dia semakin yakin untuk menoleh Dinan saat ini juga.
"Kok balik, Ami?" tanya Dinda setelah menjawab salam yang diberikan Amira.
"Abang pergi ke Universitas."
"Kirain gak jadi, ternyata jadi." Amira menoleh ke arah Dinda.
"Mbak tahu?"
"Iya, kan tadi masmu sebelum ke masjid udah bilang." Amira menatap Dinda dengan wajah kesal kemudian dia diam.
"Kamu kenapa sih?" Amira menatap Dinda kemudian dia mengangkat bahu. Entah, ini pengaruh datang bulan atau memang Amira pada masa tak bersahabat karena biasanya dia tidak seperti ini.
"Istighfar yang banyak biar hati tenang." Amira mengangguk apa adanya. Dia tidak ingin menyahut, dia sedang mempertahankan dirinya agar tidak meledak.
"Kamu kenapa? Semua orang kamu tak acuh." Ibu Amira yang sudah kesal dengan sikap Amira mengeluarkan suaranya.
"Amira sedang PMS Bu. Wajar kalau dia sering bad mood." Dinda menjawab pertanyaan ibunya, bukan ingin bertindak tidak sopan melainkan dia ingin menyelamatkan Amira dari teguran tegas sang ibu mertua di depan Nirmala.
"Kamu gak usah bela kelakuan gak sopan dia, Din." Dinda menoleh ke arah Amira yang sedang menahan emosi. Dia tak ingin Amira menyesal nantinya jika dia meluapkan amarahnya kepada sang ibu. Karena saat seseorang marah otak dan hatinya tidak berfungsi, yang berfungsi hanya nafsu. Oleh sebab itu orang yang marah sering tidak bisa mengontrol tindakan dan juga ucapannya.
"Maaf Bu." Amira mengeluarkan suaranya. Dia masih sanggup menahan hingga detik ini.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," suara seorang wanita yang ada di depan pintu penghubung. Wanita itu adalah bunda Dinan. Amira menatap tak percaya wanita yang sudah beberapa kali dia temui. Ada apa ini?
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Amira dan yang lainnya menjabat tangan dengan ibu Dinan bergantian.
"Kamu apa kabar, Ndok?" tanya Bunda Dinan kepada Amira yang masih menatap heran kehadiran ibu Dinan.
"Alhamdulillah baik, bunda bagaimana kabarnya?"
"Saya baik dan sangat baik." Amira mengangguk kemudian mempersilahkan bunda Dinan duduk. Amira duduk di antara ibunya dan bunda Dinan. Amira sedikit merasa aneh saat ibu Dinan meremas pelan tangannya dan tersenyum kepadanya.
"Amira," panggil Arif dari ruang depan.
"Iya Bang." Amira hendak berdiri namun dicegah ibunya.
"Tapi Abang panggil."
"Cukup jawab iya dari sini." Amira menatap Dinda, saat sang kakak ipar mengangguk dia menunduk setuju.
"Ada yang ingin kamu tanyakan, Ami?" tanya Arif.
"Belum ada Bang."
"Kalau begitu bisa Abang mulai." Amira mendengar suara sang Abang yang tidak seperti biasanya. Apa abangnya sedang flu? Mengapa suaranya bindeng seperti itu.
"Iya." Amira menjawab dengan tak yakin. Saat mendengar kasak-kusuk di depan dia semakin heran.
"Bismillahirrahmanirrahim, saya nikahkan engkau dengan adik saya Amira Zahra binti Wahid Abdullah dengan mas kawin emas seberat lima gram dan sepaket buku Islam dibayar tunai." Amira hanya diam dengan pandangan kosong. Dia tidak bisa mencerna apa yang sedang terjadi, bahkan dia tidak mendengar suara jawaban dari lelaki yang sedang siap menanggung hidupnya setelah ini. Dia hanya terlalu terkejut dengan semua yang ada.
Ini tidak benar, sungguh ini tidak bisa dibenarkan. Dia tidak mau dipoligami. Saat Amira keluar dari bayang-bayang pemikirannya dia melihat sang ibu dan juga kakak ipar saling berpelukan dan menangis. Dia menatap ke segala arah.
"Amira gak mau jadi madu," kata Amira cukup kencang membuat semua mata tertuju kepadanya.
"Maksud kamu apa, Nak?" Ibu Amira bertanya dengan nada heran.
"Amira gak mau menikah dengan orang banyak istri." Amira menangis.
"Dinan tidak banyak istri." Bunda Dinan yang menjawab dengan nada tegas.
"Tapi Amira gak mau berbagi suami, Bunda." Ibu Dinan dan ibu Amira saling berpandangan. Arif nampak di pintu penghubung. Kakaknya itu tersenyum geli walau matanya merah berkaca-kaca.
"Dek, kamu kan tadi bilang bahwa kamu mau menikah dengan Dinan." Amira berdiri ke hadapan sang kakak.
"Tapi kan kalau pak Dinan gak punya istri, Bang." Arif membelai kepala adiknya. Kemudian dia membawa sang adik ke dalam pelukannya.
"Abang mengerti. Jika Abang menikahkan kamu dengan Dinan berarti itu Dinan tidak memiliki istri." Amira langsung melepas pelukannya.
"Abang yakin?" Arif mengangguk.
"Jangan bilang pak Dinan menceraikan semua istrinya?"
"Anak saya baru saja menikah, bagiamana bisa datang menceraikan istrinya. Dia baru menikah Amira." Ibu Dinan bersuara setelah paham yang dimaksudkan oleh Amira.
"Jadi pak Dinan belum menikah?" tanya Amira menoleh ke arah bunda Dinan.
"Belum." Amira menoleh ke arah Nirmala yang sedang nyengir.
"Jadi mbak Mala menipuku." Semua mata menatap ke arah Nirmala.
"Tidak juga, hanya salah bicara."
"Jadi pak Dinan masih single?" tanya Amira. Dia menutup wajahnya kemudian dia menoleh ke ke arah sang kakak dan di sana sudah ada Dinan yang berdiri di samping Arif. Amira melotot kemudian dia berlari masuk ke dalam kamarnya tanpa menghiraukan panggilan dari sang kakak dan membuat tawa di ruangan itu pecah.
Arif menggelengkan kepalanya, di mana ada pengantin yang malu-malu seperti adiknya itu. Kecuali Amira Zahra. Gadis pendiam yang rapuh namun juga kuat secara bersama.
----
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Yani
Ternyata salah duga,lalu dua perempuwan itu siapa bikin penasaran thor,ttp semangat thor
2020-07-31
0
Umriyah Purnawati Sholikhah
nangis aku thor saat Dinan ngucap ijab qobul...akhirnya Amira sm Dinan.
Alhamdulillah
2020-07-08
0
nurfaizah
astagfirullah bacanya deg-degan🤣🤣🤣
2020-05-04
2