"Di Hari Kiamat kelak setiap pengkhianat akan membawa bendera yang dikibarkannya tinggi-tinggi sesuai dengan pengkhianatannya. Ketahuilah, tak ada pengkhianatan yang lebih besar daripada pengkhianatan seorang penguasa terhadap rakyatnya."
(HR. Muslim).
---
Amira duduk di kafe dekat universitas Kota, di tangannya dia membawa selembar kertas berwarna beberapa gambar bangunan rumah minimalis. Dia mengamati satu per satu klarifikasi keunggulan dari bentuk rumah satu dengan yang lainnya, jangan berpikir bahwa Amira ingin membeli rumah. Kalau keinginan memang ada akan tetapi hal itu hanya akan menjadi keinginan saja karena bagi Amira itu hanya sebatas harapan semu, entahlah. Sebenarnya tadi saat dia hendak berjalan menuju minimarket di seberang ada dua pemuda yang menyebarkan brosur perumahan itu, dan dengan senang hati Amira menerima. Dan jadilah sekarang Amira sibuk mengamati gambar dengan berbagai kriteria itu.
Amira masih sibuk memilih, dia membandingkan satu rumah dengan rumah lainnya. Amira sibuk dengan dirinya sendiri dan sesekali menyesap coklat panas yang dia pesan. Memang nampak aneh di tengah terik siang dia malah memesan coklat panas namun hal itu tidak mengurangi keinginan Amira.
Siang ini matahari bersinar dengan kekuatan penuh setelah semalam curah hujan cukup tinggi, mungkin terasa panas yang berlebihan namun menurut Amira tidak, ini hanya faktor tubuh yang belum menyesuaikan suhu yang ada.
Amira melipat kertas brosur itu kemudian dia tanpa sengaja melihat alamat brosur dan dia cukup terkejut, karena alamat itu menunjukkan kawasan dekat sini yang artinya baru saja ada pembukaan lahan untuk perumahan. Amira menghela napas, mungkin persawahan akan segera terkikis habis karena peradaban manusia.
Amira menyesap coklat panasnya kemudian dia mengeluarkan sebungkus roti basah yang tadi dia beli di minimarket. Amira makan roti dengan selai blueberry itu dengan tenang sesekali dia menggerakkan layar ponselnya untuk melihat tulisan yang ada di bawahnya.
"Maaf terlambat," kata Luluk yang dengan srempangan menaruh tasnya di kursi.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," kata Amira membuat Luluk menoleh.
"Waalaikumsalam." Luluk mendudukkan anak perempuan yang berumur tiga tahun di kursi. Kemudian Luluk langsung mengambil duduk di sebelahnya.
"Sudah lama?" Amira menatap Luluk sebentar kemudian menoleh ke arah anak yang sedang duduk sambil mengangguk. Dia menjawab dengan jujur apa yang ditanyakan dia tak ingin berbasa-basi ataupun mengatakan sesuatu yang mampu menenangkan lawan bicaranya.
"Kenapa kamu memandang anakku seperti itu?" Amira menoleh kemudian dia membuat bibirnya segaris lurus.
"Tidak ada," jawab Amira santai kemudian dia menyesap coklat yang sudah tak terasa panas lagi.
"Kamu mau?" tanya Amira kepada anak Luluk.
"Tidak, anakku tidak makan roti." Amira menatap kemudian dia mengangguk padahal dia tahu benar bahwa anak kecil itu sejak tadi menginginkan roti basah yang ditawarkan Amira terbukti dengan bola bulat jendela dunia anak itu yang selalu menatap ke arahnya dan juga keberadaan roti.
"Kamu tidak ingin memesankan sesuatu?" Amira menatap Luluk.
"Tidak, karena aku hanya ingin mengatakan bahwa jauhi Farhat dan juga Fatih. Cukup jauhi keduanya karena sejak bertemu kembali dengan kamu hubungan keduanya semakin berantakan." Amira menatap Luluk dengan wajah tak terkejut sama sekali. Dia sudah mati rasa dengan ucapan pedas wanita di depannya, dia sudah sangat menyadari selama ini siapa orang yang dia anggap sebagai sahabat.
"Lalu salahku di mana?" Amira bertanya dengan santai seolah masalah itu tidak menggangu dirinya sama sekali, tapi memang benar jika hal itu tidak mengusik sedikitpun hatinya. Karena, Amira tidak pernah mencoba memasukkan kembali dua saudara itu pada kehidupannya dan takdir yang mempertemukan keduanya.
"Salah kamu itu sebagai perusak. Sebagai pelakor yang tidak tahu malu." Amira menatap Luluk kemudian dia menoleh ke arah anak kecil yang sejak tadi duduk diam. Amira cukup salut dengan didikan Luluk yang tak membuat gadis kecil itu takut teriakannya.
"Pelakor?" Amira mengucapkan kata itu dengan terpenggal, dia masih berpikir keras tentang arti kata itu. Sungguh kalau boleh jujur kata itu sangat asing bagi dirinya.
"Iya, tidak usah sok polos. Aku melihat kamu dan Farhat bertemu dan makan bersama beberapa waktu yang lalu. Dan hal itu membuat pertengkaran hebat Farhat dengan Fatih." Amira semakin dibuat pusing dengan ucapan Luluk yang menurutnya tidak beralur.
"Terus aku yang salah?"
"Iya, kamu yang salah. Kamu sudah merusak hubungan baik Farhat dan Fatih. Dan yang lebih fatalnya lagi kamu adalah penyebab utama Farhat menggugat cerai aku. Apa kamu tidak berpikir? bagaimana nasibku dan juga nasib anakku. Aku pikir kamu temanku tapi ternyata kamu bukan temanku tapi kamu musuhku." Amira ingin tertawa rasanya mendengar ucapan Luluk tapi dia urungkan karena ada yang lebih penting dari semua itu.
"Kamu tahu karma, Amira? Karma akan mendatangimu, aku bersumpah bahwa kamu akan merasakan apa yang aku rasakan." Luluk mengatakan hal itu dengan nada dalam serta napas naik-turun karena menahan emosi yang menurut Amira tidak penting.
"Terus ada lagi?"
"Kamu!" tuding Luluk dengan mengacungkan jari telunjuknya ke arah Amira.
"Kamu wanita murahan, dasar penggoda!" Luluk menatap Amira penuh amarah, sedang Amira dia jauh lebih pandai mengatasi amarahnya. Karena dia yakin amarah akan membawa petaka jika kita menurutinya.
"Your language, di sini ada anak kamu yang kemungkinan besar akan meniru segala ucapan ibunya." Amira memberi peringatan dengan nada biasa saja tak terpengaruh.
"Aku tidak perduli! Dia harus tahu bahwa wanita di depan ibunya itu adalah wanita murahan dan hina." Amira bungkam seribu bahasa, dia sungguh ingin menjawab namun dia memilih menahannya supaya dia tak melakukan kesalahan.
"Baiklah, apa mau mu?"
"Jauhi keluargaku." Amira menoleh ke arah Luluk dengan wajah yang nampak heran.
"Keluargamu? Apa aku pernah mendekati keluarga yang kamu anggap milikmu itu? Aku pikir aku tidak pernah." Luluk menatap tajam Amira.
"Sepertinya kamu salah sasaran, Luluk." Amira menggeser cangkir coklatnya kemudian menaruh tangannya yang bertautan di atas meja dan mencondongkan tubuhnya. "Bagaimana kalau kita flashback sejenak." Amira menyandarkan tubuhnya di kursi kemudian menatap Luluk dengan sinar tenang.
"Dulu saat aku memiliki hubungan dengan Farhat kamu mendukung dan memberi semangat bahkan kamu yang memberi saran agar aku segera menikah. Namun, karena sebuah prinsip diantara kita berdua dan memutuskan hubungan, kamu tiba-tiba menyalahkan diriku. Jika sudut pandang kamu sebagai temanku, aku yakin kamu akan mendukung setiap keputusan yang aku lakukan. Bukan justru bermain dengan mantan calon suamiku yang belum tuntas urusannya denganku." Amira menatap wajah Luluk.
"Tapi tenang saja aku tidak menyalahkan kamu, karena dengan begitu aku mengetahui kualitas Farhat dan juga kualitas temanku." Amira tersenyum kemudian membereskan barangnya.
"Dan untuk segala tuduhan tak beralasan yang kamu lontarkan. Aku hanya mengatakan, kalau kamu ingin harapan kamu terpenuhi jangan mengatakan semua itu kepadaku, akan tetapi katakan semua itu kepada Farhat dan juga Fatih. Dan aku tidak memulai hubungan dengan keduanya." Amira berdiri dari duduknya dia mengambil tasnya dan mengucapkan salam. Belum juga salam dijawab Amira sudah meninggalkan meja menuju kasir untuk membayar coklat panas yang sudah dia habiskan.
"Pak Dinan?" Amira terkejut saat melihat Dinan sudah ada di depan kafe saat dia hendak keluar.
"Iya ini saya," jawab Dinan datar seolah tak ada masalah sama sekali di antara keduanya.
"Bapak mau masuk?" Amira menatap Dinan yang sejak tadi menunduk.
"Tidak, saya hanya ingin memastikan sesuatu." Amira menoleh ke akan dan kiri.
"Baiklah kalau begitu saya duluan, assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh." Amira melangkah meninggalkan Dinan yang sudah menoleh kearahnya, Amira tidak sadar jika Dinan sedang menatapnya.
Amira berjalan menuju minimarket yang ada di seberang jalan, dia ingin membeli minum karena sejujurnya dia sudah sangat haus sejak berbicara dengan Luluk tadi namun dia mencoba menahannya dan sekarang sepertinya dia sudah tidak tahan dia butuh minum supaya dia kembali fokus.
Amira masuk dan langsung mengambil botol minuman kemasan, dia membayar kemudian dia duduk di kursi depan minimarket. Dia jadi berpikir, Amira terlalu sering rasanya mendapati sebuah kebetulan jika bersama Dinan. Bukan bersama tapi bertemu dengan Dinan.
Amira jadi berpikir jika pertemuan dengan Dinan yang dapat anggap tak sengaja itu adalah sebuah unsur kesengajaan, karena dia bisa memastikan seringnya hal itu terjadi. Jika hanya sekali bisa jadi itu unsur ketidaksengajaan tapi ini sering kali. Ini pasti disengaja tapi buat apa?
Amira menaruh botol minumnya kemudian dia mengamati jarinya, ada rasa kosong saat tak melihat apapun di jarinya. Dia merasa ada yang hilang, tapi apa?
Cincin?
Iya, Amira baru ingat bahwa dia biasanya mengenakan cincin di jari manisnya. Tapi saat ini cincin itu tidak ada di jarinya dia tersentak terkejut dengan pemikiran bahwa cincin itu bisa jadi dia hilangkan. Amira menggigit bibir bawahnya, dia merasa cemas. Dia beristighfar kemudian dia mencoba mengingat di mana dia terakhir melihat cincin itu. Tapi memang dasar lupa, dia tidak bisa mengingat sama sekali.
Amira meraih botol minumnya kemudian dia membuka tutupnya dan meminumnya, dia masih berpikir di mana dia menaruh atau melihat cincin hadiah dari sang kakak. Namun entah itu sebuah anugerah atau bukan, dia tidak mengingat namun matanya justru mendapati sebuah pemandangan yang mampu membuat hatinya jungkir balik. Di jalan dekat minimarket dia melihat wanita yang tinggal bersama Dinan dan wanita yang bersama Dinan di rumah Faris saling berjabat tangan.
Sungguh, permainan apa lagi ini???
Amira sangat terkejut dengan pemandangan yang sangat tidak masuk akal itu. Jangan bilang dugaannya benar, bahwa keduanya itu adalah istri tua dan istri muda Dinan. Tidak, dia tidak sanggup melanjutkan pemikirannya. Amira segera berdiri dia menutup botol minumnya rapat kemudian memasukkan ke dalam kantong plastik yang dia bawa. Dia segera berjalan cepat menuju jalan raya dan menghentikan taksi yang lewat di depannya. Dia butuh pulang untuk mendinginkan otaknya.
___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Chayra Lailatul R
ngak faham sama alur ceritanya
2020-09-15
1
Lia Yulianti
ga paham q ma jln cerita,sbnr dinar tu dah nkh brp kali cie,g prnh djlsin.g paham jd ya
2020-05-05
1
Ana Putriee Terate
gmna sih ini tmbh kacau hbungnnya sma Dinan wkwk
2020-03-11
3