"Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap serius: nikah, cerai dan ruju."
(Diriwayatkan oleh Al Arba'ah kecuali An Nasa'i. Dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah)
---
Amira masih terdiam duduk di atas kursi kerjanya, dia memandang biodata Dinan dengan sorot mata yang putus asa. Dia berpikir, berapa istrinya Dinan, sehingga dia dengan mudah berganti wanita di waktu yang berbeda. Amira ingat wanita yang tinggal di rumah Dinan adalah wanita yang berbeda dengan wanita yang diajak ke rumah Faris, dan yang lebih mengejutkan adalah bahwa keduanya memiliki anak seumuran. Amira sungguh tak mengerti dengan segala yang sudah terjadi.
Amira melipat kertas biodata Dinan yang nampak kumal itu, kemudian dia selipkan di sebuah buku besar. Dia beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu keluar, dia butuh udara segar supaya bayang-bayang kejadian siang tadi tak menghantui.
"Ammah," panggil Fatimah membuat Amira berjalan menuju gadis dengan dua kuncir kuda itu. Amira mengambil duduk lesehan di atas karpet sama yang dilakukan sang ponakan.
"Sedang apa?" tapi Amira mengamati kegiatan sang ponakan.
"Sedang membaca gambar, Mah." Fatimah nampak tak terganggu, Amira heran dengan sang ponakan. Mengapa Fatimah memanggilnya jika dia masih setia dengan membaca. Ah, rasanya Amira cemburu dengan buku yang begitu diperhatikan oleh sang ponakan. Amira menggerakkan kepalanya, dia merasa mulai tak waras dengan pola pikirnya sendiri.
"Kamu kenapa Ami?" tanya Dinda yang sudah duduk di sofa.
"Gak papa, memangnya Ami kenapa Mbak?" Amira melihat Dinda heran.
"Kamu tadi menggelengkan kepalamu." Amira menatap cepat sang kakak ipar kemudian meringis, hal itu membuat Dinda menatap curiga.
"Kenapa?"
"Gak papa Mbak, Ya Allah gak percayaan." Amira beranjak meninggalkan karpet dan duduk di sebelah sang kakak ipar.
"Udah menendang belum?" Amira mengelus lembut perut buncit Dinda.
"Udah sering Ammah," kata Dinda dengan bergaya suara anak kecil.
"Sakit gak Mbak?"
"Sakit sih kadang, tadi kalau mengingat aku membawa nyawa rasa sakit itu berubah kebahagiaan." Amira membelai perut sang kakak ipar dan dia bisa merasakan gerakan aktifnya.
"Wah gerak terus ya, Mbak."
"Gak juga kok, lebih sering lagi kalau malam hari." Amira mengangguk dengan antusias.
"Fatimah juga mau pegang," kata Fatimah yang sudah meletakkan tangannya di atas tangan Amira.
"Gak kerasa Fat, gini nih baru terasa." Amira mengubah posisi tangannya menjadi diatasi tangan mungil Fatimah yang sudah nampak lentik meski masih kecil.
"Ih geli Ammah. Ini ada cacing gerak-gerak." Amira tertawa mendengar ucapan Fatimah.
"Ini bukan cacing, ini adiknya kakak." Fatimah terkikik kemudian dia berjalan merapikan buku yang tadi dia bawa.
Amira menatap Fatimah dalam diam, dia yakin keponakan satunya itu akan menjadi perempuan hebat. Dia tidak akan tersesat seperti dirinya, sejak kecil Fatimah sudah sangat menjaga diri dan dia yakin kelak saat dewasa dia akan menjadi generasi penerus agama yang baik. Amira melihat Fatimah kembali mengenakan jilbab yang dia lepas. Ya, sejak kecil masih balita Fatimah sudah meminta jilbab kepada ibunya, bahkan jika tidak diberi jilbab maka dia akan marah dengan menangis sangat kencang dan akan berhenti dengan tiba-tiba jika kepalanya ditutupi kain. Bukankah itu sangat menakjubkan?
Amira membantu Fatimah mengangkat ierenjang bukunya.
"Fatimah bisa, Ammah." Amira tersenyum kemudian dia mengajar sendiri keranjang itu untuk di taruh di atas meja. Dia tak yakin Fatimah mampu menaruhnya di atas.
"Ammah tahu kalau Fatimah bisa sendiri, tapi suatu pekerjaan yang berat akan terasa ringan jika kita kerjakan bersama-bersama. Jadi tidak ada salahnya kita saling meringankan pekerjaan orang lain." Fatimah menatap wajah Amira dengan penuh kagum, Fatimah tersenyum kemudian mengangguk.
"Seperti Abi yang suka membantu umi nyuci baju ya, Mah?" Amira mengangguk.
"Benar sekali, anak siapa sih yang pintar ini," kata Amira menggandeng tangan Fatimah untuk berjalan kembali ke ruang tengah.
"Anak Abi Arif dan umi Dinda." Amira mengangguk.
"Eh, tapi kan udah hampir punya adik. Panggilannya ganti abbah dan ummah." Fatimah menatap Amira penuh minat.
"Kenapa begitu?"
"Iya, kalau punya anak cuman satu abi dan umi. Tapi kalau lebih abbah dan ummah, karena udah banyak anak." Amira mengatakan dengan wajah serius kemudian diakhiri dengan berbisik.
"Setuju!" seru Fatimah dengan kencang. Kemudian keduanya tertawa bersama.
"Abang kemana Mbak?" tanya Amira sambil duduk, dia melihat ke arah Fatimah yang sudah berada di depan ibunya dengan meletakkan tangan di atas perut buncit Dinda.
"Tadi sama ibu pergi kajian di Nusa Dua." Amira mengangguk menatap ponakannya heran. Tadi bocah tujuh tahun itu bilang bahwa dia merasa geli tapi lihat sekarang bocah itu merasa nyaman, sepertinya gadis kecil itu sudah kecanduan dengan pesona makhluk bernyawa yang ada di dalam rahim sang ibu.
"Ibu semenjak ada bang Arif jadi sering ikut pergi ya, dulu mana pernah." Amira berkata sambil membenarkan posisi duduknya.
"Dulu kamu ajak naik angkutan umum, sedang ibu kan gak betah di tempat berjubel."
"Ya gimana lagi Mbak, namanya juga kita sesuai dengan kemampuan." Amira berkata dengan santai seolah tak tersinggung dengan ucapan kakak iparnya. Tapi dia memang tidak tersinggung karena baginya apa yang diucapkan kakaknya itu memang benar. Dia dan kekurangannya.
"Kamu kenapa gak naik motor aja sih, Ami?"
"Ah, enggak deh mbak. Lebih baik jalan atau naik angkutan umum mengurangi kemacetan." Dinda mengangguk setuju dengan ucapan adik iparnya kemudian pembicaraan keduanya berlanjut menuju banyak sudut pembahasan mulai dari ekonomi, agama, kesehatan, sosial hingga ke sudut yang tidak jelas.
---
Amira keluar dari kamarnya, dia menuju ke dapur untuk mengisi botol minumnya. Hari ini dia ada jadwal bertemu dengan Luluk untuk yang kesekian kalinya. Ya, sudah sering Luluk mengirimkan pesan meminta bertemu namun ujung-ujungnya Luluk selalu beralasan tak bisa datang. Bayangkan? Siapa yang meminta bertemu dan siapa yang membatalkan dengan berbagai alasan? Ya Allah kalau saja sabar itu ada batasan mungkin Amira memilih menyerah dan tidak menyisakan waktunya yang padat untuk mebertamu dengan Luluk.
"Kamu mau kemana?" Amira menoleh ke arah Arif yang mengenakan baju rumah.
"Abang gak kerja?" Arif terdesak kemudian dia menarik mundur kursi untuk diduduki.
"Ditanya balas tanya." Arif membalik gelas dan mengisi dengan air putih. Amira tersenyum kecil.
"Mau ketemu temen, Bang." Amira ikut duduk di depan Arif.
"Abang udah ambil cuti, kan mbakmu udah mendekati hari kelahiran." Amira mengangguk, kalau dihitung memang tinggal dua hari lagi sesuai dengan prediksi dokter.
"Emang udah ada tanda-tanda?" Amira menopang dagu di meja.
"Tadi pagi udah bilang rasanya mules dan pinggul sakit. Ya tidak tahu juga." Arif berdiri hendak mencuci gelas namun diamil oleh Amira.
"Kamu kalau pergi jangan lama-lama," kata Arif.
"Emang kenapa?
"Tubuh kamu butuh istirahat," kata Arif kembali duduk.
"Iya Bang, Ami tahu batasan-batasannya. Tenang saja!" Arif mengamati Amira yang sedang mengelap gelas dan menaruhnya di rak gelas. Dia jadi sadar benar kata Dinan bahwa adiknya itu terlihat begitu rapuh, namun selama ini dia terlalu membutakan diri terhadap sang adik hanya karena sebuah idealis yang dia terapkan. Selama ini dia belum menjadi seorang kakak yang baik karena terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Arif cukup bersyukur mengenal Dinan yang memiliki pemikiran sederhana namun mampu menempatkan diri di mana saja.
"Bang, emang kenapa lelaki tidak memiliki masa iddah seperti perempuan." Arif menatap wajah adiknya heran. Mengapa pembahasan yang diambil sang adik selalu pembahas yang terlalu muluk dan tidak butuh pemikiran.
"Karena kalau lelaki memiliki masa iddah berarti lelaki tidak diizinkan poligami." Amira duduk di depan Arif.
"Mengapa?"
"Karena bagaimana mau poligami kalau dia harus masa iddah? Selama tiga bulan dia tidak menggauli istrinya baru dia boleh poligami?" Amira mengangguk kemudian dia menatap cepat Arif.
"Kenapa?" Amira menggeleng.
"Jadi abis cerai langsung nikah boleh?"
"Boleh, bahkan belum cerai saja boleh." Amira memajukan bibirnya tak terima.
"Enak ya jadi lelaki." Arif menoleh cepat
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"
"Tidak ada."
"Lalu?"
"Hanya berpikir saja."
"Katanya tidak ada, lalu kenapa berpikir. Dasar wanita dan keanehannya." Arif berkata dengan nada humor.
"Apa coba, aku bilangin mbak Dinda loh." Bukannya takut Arif justru malah tertawa.
"Kamu tahu hakikat masa iddah bagi perempuan itu apa?"
"Enggak," jawab Amira polos membuat Arif tersenyum.
"Mengosongkan rahim."
"Maksudnya?"
"Iya, untuk mengosongkan rahim dari pembuahan. Karena kita sesama saudara seiman tidak boleh memasukkan benih di rahim yang sama. Jadi butuh waktu tiga bulan untuk menyakinkan bahwa rahim perempuan itu benar-benar bersih."
"Emang masa iddah selalu 3 bulan?"
"Enggak, baca aja di buku sana." Arif berdiri sambil menunjuk rak buku sedang Arif melangkah menuju kamarnya.
"Aku kira akan mengambilkan ternyata ditinggal." Amira menggerutu sambil berjalan menuju kamarnya.
"Kalau aku menikah dengan pak Dinan terus istrinya hamil berarti pak Dinan akan menikahi istrinya lagi, kan tidak sah perceraian orang yang sedang hamil." Amira memasukkan ponsel ke dalam tas.
"Tapi kenapa pak Dinan bercerai?" Amira terdiam kemudian dia duduk di pinggir tempat tidur. Dia jadi berpikir, jika Dinan dengan mudah menikah kemudian bercerai bisa jadi nanti dirinya akan merasakan hal yang sama. Saat sudah menikah kemudian dia akan dicerai begitu saja sama seperti istri Dinan sebelumnya. Tidak, Amira tidak ingin itu terjadi. Dia ingin sekali menikah dan hidup bersama sampai akhir hayatnya. Dia tidak ingin dipisahkan hanya karena sebuah masalah yang katanya sudah tidak menemukan jalan keluar.
Amira beristighfar kemudian dia menangkup wajahnya dengan keduanya. Dia tidak tahu harus melakukan apa, tapi yang pasti saat ini dia benar-benar tidak bisa berpikir. Amira berdiri dia melepas kancing jilbab yang sudah rapi kemudian melepas kaos kakinya diawali dengan sebelah kiri kemudian kanan tak lupa dia mengucapkan basmalah untuk memulai. Kemudian dia menaruh di pinggir tempat tidur dan beranjak menuju kamar mandi, dia pikir dengan berwudhu mungkin hatinya akan lebih tenang.
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Ana Putriee Terate
bagus ceritanx
2020-03-11
2
Dewi Terserah
lanjut thor,,,,
2020-02-19
3