"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan."
[AL-ANBIYÂ'/21 : 35]
---
Pagi yang syahdu, sesyahdu nyanyian alam diiringi musik rintik hujan. Semilir angin dingin membelai melambai-lambai, gemericik air bersahutan saling melengkapi. Sang mentari bersembunyi memberi kesempatan pada langit untuk menguasai.
Amira berdiri di teras rumah dalam diam. Dia mengambil payung kemudian kembali terdiam saat sudah ada di teras. Amira bingung dengan hal yang akan dia lakukan, sebab hujan semakin meningkat ententitasnya.
"Ami, apa yang kamu lakukan?" Amira menoleh ke arah sang kakak yang sedang bersandar di pinggir pintu.
"Kok hujannya makin deras ya, Bang. Padahal hari ini Ami hanya materi saja kalau gak masuk kasian anak-anak." Arif menatap hujan kemudian menoleh ke arah sang adik.
"Saat hujan turun itu yang kita lakukan adalah mensyukurinya. Jangan mengeluh! Allah menciptakan semua ini seimbang sesuai kebutuhan." Arif berdiri tegak kemudian duduk di kursi.
"Iya, tapi ini mau berangkat." Amira ikutan duduk di samping sang kakak dengan meja bundar sebagai pembatas.
"Udah dia meminta manfaat belum?" Amira menoleh.
"Maksudnya?
"Ya kamu udah dia belum, kamu tahu bahwa saat turun hujan Allah menyebarkan banyak berkah. Oleh sebab itu kita harus mengucapkan 'Allahumma shoyyiban nafi'an' yang artinya, Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat. Berarti kita harus yakin bahwa setiap hujan pasti membawa manfaat. Jangan mengeluhkan hujan." Amira memajukan bibirnya, yang dia maksud dengan mengatakan bahwa hujan tidak segera reda bukan berarti dia tidak mensyukuri hujan tapi dia ingin diberi kemudahan, bukankah itu sifat manusia sudah diberi satu kemudahan pasti menginginkan kemudahan lainnya.
"Kamu tahu, saat hujan turun adalah saat di mana doa-doa dihijabahi. Karena dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa saat hujan termasuk waktu mustajab untuk berdoa. Jadi, jangan mencelanya!" Amira menatap Arif dengan kening berkerut.
"Carilah do'a yang mustajab pada tiga keadaan ; Bertemunya dua pasukan, menjelang shalat dilaksanakan, dan saat hujan turun. Dikeluarkan oleh Imam Syafi'i dalam Al Umm dan Al Baihaqi dalam Al Ma'rifah dari Makhul secara mursal. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shohihul Jaami' no. 1026."
Amira mengaguk kemudian dia bersandar, dia melihat jam uang melingkar di pergelangan tangannya kemudian dia tersenyum tipis.
"Ayo Abang antar," kata Arif berdiri dari duduknya.
"Wah, ini salah satu berkah hujan." Arif menoleh ke arah Amira kemudian dia menyentil pelan dahi Amira.
"Dasar," kata Arif dengan senyum kemudian masuk untuk mengganti baju dan mengambil kunci mobil.
---
Amira masih diam di tempat duduknya, walau mobil Arif sifat parkir di dekat gerbang samping kanan, dia tadi saat masuk gang kembali melihat mobil merah itu. Dia jadi tidak tenang, ingin rasanya dia mengadu kepada sang kakak tentang sosok penguntit yang sudah sejak lama mengikuti dirinya namun dia takut jika sang kakak murka dan berbuat di luar kewajaran.
"Kenapa?" tanya Arif buka suara, karena sejak tadi sang adik hanya memasang wajah datarnya dan tak bersuara sama sekali.
"Enggak papa, lagi mikir aja gimana kalau mobilnya masuk sampai depan kantor." Amira bohong jika itu adalah hal yang dia pikirkan sejak tadi, karena pemikiran absurdnya barusan hanya pemikiran sepintas untuk mengelabuhi sang kakak.
"Wah semakin ngelunjak!" Amira terkekeh mendengar ucapan sang kakak dengan nada geram dibuat-buat.
"Ya sesekali."
"Sudah sana turun!" Amira tertawa kemudian mengambil tangan sang kakak untuk berjabat tangan dan mengucapkan salam sebelum dia memekarkan payung untuk melindungi dari hujan.
Amira hanya dia sejenak menghadap ke arah mobil sang kakak, kemudian saat sang kakak memberi kode dengan tangannya untuk segera pergi Amira mengangguk dan berjalan masuk melalui gerbang yang terbuka sedikit.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh, Pak Rahmad."
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh. Bu Mira, basah-basahan ya Bu?"
"Alhamdulillah iya Pak. Mari!"
"Injih Bu." Amira mengaguk kemudian berjalan menuju gedung belakang, dia akan melihat ruangan yang digunakan untuk materi dan demo chef Ardi.
Hari ini sebenarnya hanya akan ada materi namun karena waktu luang sehingga Bu Rina mengundang chef Ardi untuk demo acara memasak. Amira berjalan dengan pelan dan memilah jalan yang tidak digenangi air, dia tidak ingin kaos kakinya basah.
"Bu Mira," panggil pak Kamil dari depan kantin. Amira menoleh kemudian berjalan menuju kantin dia menutup payungnya dan meletakkan di pojokan. Amira melangkah dengan pelan.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh." Amira mendekati beberapa dewan guru di sana.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh."
"Mari gabung Bu!"
"Terima kasih."
"Mau pesan apa?"
"Jeruk hangat ya, Bu."
"Iya, ditunggu!"
"Bu Mira kenapa datang ke h awal?" tanya Bu Tia.
"Ini Bu mau ada demo chef Ardi." Amira membenarkan posisi duduknya.
"Wah, berarti anak boga ada kegiatan?"
"Iya, awalanya ingin materi sebelum menghadapi demo dan lomba Bogasari. Tapi karena waktunya sangat luang bu Rina inisiatif buat chef Ardy demo lebih dahulu supaya anak-anak ada pandangan." Amira menunduk sambil memainkan ujung jilbab.
"Emang benar salah satu pengisi acara hari ini pak Dinan?" Amira menoleh ke arah seorang guru yang berbicara.
"Iya, kan sejalan dengan jurusan yang diambil pak Dinan."
"Emang temanya apa?"
"Menyebar kata sejuta aksara indah." Amira tidak tahu yang menjadi pokok pembicaraan, dia hanya diam saja.
"Emang profesi pak Dinan sekarang, apa?"
"Kurang tahu juga, ada yang bilang seorang pengusaha ada yang bilang juga motivator dan masih banyak lagi." Amira tidak menyahut, dia diam saja tak ingin bersuara. Ini adalah pokok pembicaraan yang sangat sensitif. Amira memilih menikmati jeruk hangat yang ada di depannya.
"Makin macho pak Dinan."
"Masak?"
"Iya, calon suamiable banget." Amira tiba-tiba tersedak. Bu Tia dengan gesit menepuk punggung Amira.
"Kenapa Bu?"
"Maaf, saya mau bernapas malah memasukkan air minum. Jadinya tersedak." Amira berkata dengan terpatah-patah setelah merasa sedikit reda dada dan hidungnya.
"Bu Mira di sini?" tanya Rindu melongak di depan pintu. Amira menoleh ke arah pintu.
"Iya Bu?"
"Ada tamu." Amira menatap heran Rindu.
"Yakin buat saya Bu?" tanya Amira berdiri menghampiri Rindu.
"Iya, tadi katanya gitu."
"Siapa kira-kira?"
"Wah kurang tahu, coba ditemui. Beliau menunggu di ruang BK." Amira mengangguk kemudian dia kbali ke meja untuk berpamitan kepada guru-guru lainnya.
Amira membayar minumannya kemudian keluar dari kantin, tidak lupa dia berpesan kepada ibu kantin bahwa dia menitipkan payung di sana sebab hujan sudah reda. Amira melewati lorong bangunan kelas sebelas, dia akan langsung menuju ruang Bimbingan Konseling. Amira sesekali membalas sapaan dari beberapa siswa walau dia tidak yakin bahwa dia tahu nama satu-satunya anak.
"Assalamualaikum, Bu Mira." Beberapa anak yang duduk di teras menyapa Amira dan menjabat tangannya.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh. Kalian tidak ikut kegiatan jurnalistik?"" Amira bertanya sambil bergantian menjabat tangan.
"Masih break Bu." Amira hanya mengangguk kemudian pamit untuk ke ruang BK terlebih dahulu karena ada tamu. Setelah sampai di dekat ruang Bimbingan Konseling, Amira mengambil napas, di sana jarak sekitar sepuluh langkah di depannya berdiri dua sosok lelaki yang dia kenal. Amira tak tahu mengapa takdir selalu mempertemukan dirinya dengan sosok yang berdiri di sana.
Amira memencet hidungnya seolah membersihkan ingus, padahal tidak ada cairan apapun di hidungnya. Di sana berdiri, Faris dan Dinan sedang berbincang serius. Amira bisa melihat dari dua raut wajah keduanya. Amira mengambil napas saat tanpa sengaja dia menilai penampilan Dinan yang tak biasa.
Apa benar kata guru-guru tadi di kantin bahwa Dinan kini bekerja di perusahaan? Karena dari yang dilihat Amira, saat ini Dinan mengenakan jas dan celana bahan. Dia nampak lebih eksklusif untuk dipandang, apa lagi di leher dan mentari di dadanya terdapat dasi yang membuat dia semakin terlihat berwibawa. Amira segera beristighfar saat mengingat kelakuannya. Dengan mencoba tenang dia harus segera masuk ke dalam ruangan bimbingan konseling.
"Assalamualaikum," salam Amira. Dan saat melihat ke depan dia hanya melihat pak Joko.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh. Masuk Bu!" Amira mengangguk kemudian dia dipersilahkan duduk oleh pak Joko.
"Maaf Bu. Tadi ada tamu tapi katanya terburu-buru jadi belum sempat bertemu dengan Ibu. Beliau menitipkan secarik kertas nomor ponsel. Katanya teman lama Ibu Amira."
"Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya permisi, assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh." Amira menerima kertas yang dilipat dia itu kemudian undur diri.
Amira berjalan menuju lorong labolatorium, dia ingat ingin memberikan kertas materi kepada salah satu anak didiknya jadi dia akan menemui di kelasnya. Namun saat dia sudah ada di depan ruang laboratorium dia berhenti dan membuka lipatan kertas yang dia pegang.
Luluk K.
Dan tertera nomor ponsel dan alamat sebuah kafe, Amira mengerutkan keningnya heran. Apa yang dimaksud semau ini? Amira sama sekali tidak menangkap maksud di baliknya. Amira mengantongi kertas itu kemudian berjalan menuju tempat tujuannya.
---
Amira berjalan membuka pagar rumahnya kemudian dia masuk dan membalikkan badannya untuk mengunci pagar. Dia mengamati sekitarnya dia merasa heran kini tak ada lagi mobil merah itu. Apa sudah bosan? Akan tetapi kalau bosan itu tidak mungkin sebab tadi siang mobil itu masih menguntit saat dia diantar sang kakak ke sekolah. Amira hanya mengangkat bahu tak perduli, dia pikir semuanya tidak masalah selama tidak merugikan dirinya.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," salam Amira masuk ke dalam rumah yang tidak terkunci. Terdengar suara ramai di belakang. Amira melangkah kemudian dia melihat keluarga sang kakak yang sedang bercanda di ruang keluarga.
"Sudah pulang, Ami."
"Iya," Amira mengambil tangan semuanya secara bergantian, dia sesekali menggoda sang ponakan yang nampak berantakan karena sedang bermain monopoli dengan sang ayah.
"Ami ke dalam," kata Amira berpamitan.
"Oh iya, tadi ada yang mengajukan ta'aruf katanya gak perlu nadhor mau langsung khitbah dan nikah. Datanya kakak taruh di meja kerja kamu." Amira menoleh ke arah sang kakak dengan cepat, dia menatap horor sang kakak, sedang Arif sudah kembali berkonsentrasi dengan papan monopoli. Amira mendesah kemudian dia berjalan masuk sambil menggerutu.
Amira melempar tasnya ke atas tempat tidur, dia segera duduk untuk meredakan rasa sesak di dadanya. Bagaimana bisa kakaknya dengan mudah menerima niatan ta'aruf orang lain tanpa seizin Amira. Amira mendesah kemudian dia segera beranjak dari duduknya dan mengambil selembar kertas di atas mejanya.
Ardinan Nawwaf
Amira melotot dengan mulut sedikit terbuka, dia seolah masuk ke dimensi lain saat menatap beberapa huruf yang berjajar membentuk nama yang sangat tidak asing tertulis di bagian nama pada biodata di kertas itu.
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Siti Arfah
iya sama aku juga heran. kenapa ya kalau novel islami sangat kurang peminat bacanya
aku merasa sedih saja. padahal sangat banyak pelajaran yang bisa didapat dari sini..
semangat thor
2020-05-15
2
Nunasoraya
Iyaaaa.. aku jg sedih novel yg syarat akan ilmu begini sedikit yg baca, komen, bahkan like 😢 Makasih banyak thorr.. tidak ada istilah terlambat dlm membaca kan?
2020-05-04
3
Ana Putriee Terate
keren novelnya aku suka
2020-03-11
2