"Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan . "
(QS. Ar Rahmaan: 29).
---
Amira berjalan pulang ke rumah, dia membawa sekotak nasi dan cenderamata dari Maida. Dia sesekali memainkan kakinya saat berdiri di dekat sebuah mobil, dia diam mengamati mobil merah yang sudah sejak empat tahun mengikuti kemanapun dia pergi. Mobil itu terparkir di pinggir jalan sekitar tiga atau empat rumah di sebelah rumah Amira.
Amira selama ini tidak merasa terganggu, dia hanya heran apa lelaki di balik kemudi itu, apa dia tidak bosan dan lebih parahnya apa orang itu tidak memiliki pekerjaan. Amira semakin heran dengan kelakuan yang tak wajar itu, ingin sekali rasanya dia berjalan mendekati mobil itu dan melihat langsung siapa pengemudi di dalamnya, namun sayang Amira tak memiliki keberanian sebesar itu. Dia terlalu takut untuk mengetahui kebenaran yang ada.
"Kamu sudah mau pulang?"
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh, Mbak!"
"Ups, lupa." Nirmala nyengir. " Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Amira hanya tersenyum kecil.
"Sudah mau pulang?" Nirmala mengulang pertanyaan.
"Iya," jawab Amira.
"Yah, padahal aku baru datang."
"Mampir kalau berkenan." Amira memberi kode ke arah rumahnya.
"Iya, nanti kami mampir deh. Siapkan makanan yang banyak." Amira tersenyum tipis sambil mengangguk.
"Ya sudah, aku masuk dulu." Amira mengangguk kemudian membawa netranya mengikuti langkah Nirmala.
"Ternyata tidak berubah," kata Dinan yang bersandar di dekat mobil. Amira terkejut, namun kemudian dia memasang wajah datar.
"Maaf," kata Amira pelan. Amira bisa melihat Dinan berdiri tegak kemudian melangkah.
"Assalamualaikum," suara salam Dinan terdengar di indra pendengaran Amira. Amira sempat menahan napas karena dia terlalu tegang, bahkan saat Dinan sudah tidak terlihat dia merasa jantungnya masih berdebar dan lututnya terasa lemas.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," kata Amira pelan kemudian dia mengambil napas dan berjalan menuju pagar rumahnya.
Amira menaruh kotak nasi di atas meja makan kemudian dia masuk ke dalam kamar mandi namun sebelumnya dia sudah melepas kaos kakinya. Amira mengambil wudhu. Amira keluar dari kamar mandi dengan kaki kanan terlebih dahulu kemudian dia mengambil piring untuk memindahkan sayur dan lauk pauk di dalam kardus supaya tidak basi karena tercampur dengan nasi. Setelah hal itu selesai Amira melangkah menuju kamarnya.
Amira mengambil beberapa stel jubah kotor miliknya. Dia melepas segala peniti dan juga merogoh setiap kantong sebelum memasukkan ke dalam mesin cuci.
Amira memilah baju-baju sang ibu juga kakaknya yang warnanya senada dengan milik Amira. Kemudian memasukkan ke dalam bak cuci sebelum dia membasahi dan memberi sabun cuci cair terlebih dahulu.
Amira menyalakan mesin cuci, dia mengambil setelan hingga kering. Jadi membutuhkan waktu cukup panjang dan bisa ditinggal oleh Amira. Setelah urusannya selesai Amira melangkah menyalakan lampu rumah dan membawa beberapa gelas Yanga dan di meja menuju bak cuci piring.
Amira kembali ke kamar dan mengganti bajunya dengan terusan rumah yang biasa dia gunakan dan jilbab sebatas perut yang sering dia gunakan saat di rumah. Amira kembali ke dapur, menyisingkan lengan kemudian mencuci beberapa piring dan gelas.
Amira berjalan menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu karena adzan Maghrib sudah terdengar saling menyahut dari segala penjuru. Amira jadi ingat, sebuah cerita bahwa jika di dengar dari luar angkasa satu suara yang tak pernah terputus sepanjang waktu berjalan yaitu adzan. Selalu sambungan menyambung hingga awal hari hingga tak ada cela untuk tak mendengarkan suara itu. Amira sangat takjub dengan kuasa Allah bagaimana tidak? Di mana ada manusia mengatur hal sedemikian rupa. Dengan yakin Amira akan menjawab tidak akan ada yang mampu.
Amira kembali ke dalam kamar dan melaksanakan sholat Maghrib. Dia akan melakukan sholat sunah rawatib juga. Setelah kewajiban yang dia miliki terpenuhi, Amira kembali keluar dari kamarnya menuju mesin cuci yang tadi dia nyalakan. Namun belum menginjak tempat cuci dia mendengar suara ramai di depan rumah.
"Sini ikut bibi jangan gendong Tante Mala." Terdengar suara tegas Dinan, hal itu membuat Amira heran dan juga penasaran. Namun penasaran itu sepertinya akan segera terjawab dengan syarat dia membuka pintu.
"Assalamualaikum," terdengar salam. Amira menatap pakaiannya, kemudian dia segera menyambar jilbab baru saja dia taruh di sandaran kursi. Amira memasang jilbab dengan terburu-buru.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," jawab Amira kemudian pintu terbuka. Nampak beberapa orang berdiri.
"Mari silahkan masuk!" Amira membuka pintu sedikit lebih lebar.
"Silahkan duduk," kata Amira dengan ramah, walaupun sebenarnya beritanya sudah terasa terkruwes karena nervous.
"Sebentar saya ke belakang," kata Amira hendak membuatkan minum.
"Tidak perlu repot, kita juga baru makan kok." Perempuan yang dia lihat di rumah Faris tadi membuka suara.
"Oh, tidak repot kok." Amira ke belakang mengambil jus mangga yang tadi dia taruh di kulkas. Amira tak lupa menyajikan beberapa kue kering.
"Silahkan," kata Amira.
"Terima kasih." Amira menoleh ke arah Nirmala yang sedang bersandar manja kepada suaminya.
"Mas Damar betah banget emang kayak gitu?" Amira bertanya dengan nada menggoda, Nirmala yang peka langsung melotot ke arah Amira.
"Kenapa Mbak? Ada yang salah?" Amira masih mencoba menggoda. Nirmala memutar bola matanya kemudian bangun dari sandaran.
"Tahu dengan sindiran begini dia bangun, saya minta tolong sejak tadi ke kamu Mira," kata Damar dengan nada menggoda dan dia harus meringis karena mendapat hadiah cubitan dari Nirmala.
"Ini buat sendiri?" Nirmala mengambil satu toples dia bawa ke pangkuannya.
"Enggak, sama kakak ipar dan ibu."
"Maksudnya gitu. Ih, kamu...." Ucapan Nirmala terpotong deheman Dinan. Calon ibu muda itu meringis saat ditatap Dinan dengan penuh ancaman.
"Dinan nyebelin Mas," Nirmala mengadu kepada sang suami namamu hanya dibalas anggukan saja.
"Sendiri di rumah?" Dinan mengeluarkan suara.
"Iya, tapi bentar lagi juga pada pulang. Tadi udah SMS kalau udah di jalan." Amira menjawab dengan nada dibuat sebisa mungkin, padahal hatinya udah porak-poranda.
"Tinggal sama siapa?" Damar bertanya setelah menelan cookies yang disuap sang istri.
"Oh, ada keluarga kakak dan juga ibu." Damar mengangguk.
"Gak sepi kalau ada anggota yang lain," kata Damar sambil mengangguk.
"Yang ini enak." Amira menoleh ke asal suara, dia menatap heran Nirmala yang sudah membuka empat jenis cookies yang dia sajikan.
"Oh itu kue marmer Mbak. Enak dan keras, saya juga suka itu tapi buatan cukup lama karena mengalihkan adonannya sulit."
"Warnanya menarik," kata Nirmala masih dengan mengunyah cookies di depannya.
"Iya, itu kan rasa susu putih sama susu coklat dicampur. Namanya juga marmer jadi dicampur namamu tidak benar-benar campur." Amira menjawab dengan santai, dia sudah bisa menguasai perasaan yang ada di dalam pikirannya.
"Mas Dinan gak mau nyoba?" Amira menoleh ke arah perempuan yang sedang memegang tubuh anaknya supaya tidak kabur. Amira cukup terpesona dengan kecantikan dan juga keluwesan istri Dinan. Mungkin hal ini i sebanding dengan seorang Dinan yang sederhana.
"Udah kamu makan saja, ibu menyusui membutuhkan banyak asupan makanan." Rasanya Amira seperti terhimpit batu, dadanya sesak dan sulit untuk bernapas. Dia tahu, cepat atau lambat dia akan melihat bagaimana sikap Dinan terhadap sang istri, namun dia masih belum menyangka jika rasanya sehancur ini.
"Assalamualaikum," salam suara dari luar, ternyata keluarga Amira sudah pulang.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Amira berdiri dari duduk ya untuk menyambut kedatangan. Amira segera menghampiri sang kakak yang sedang menggendong Fatimah yang tertidur dan mengambil dari gendongan.
"Wah ada tamu," kata Dinda saat melihat banyak orang di ruang tamu.
"Saya permisi ke belakang." Amira berpamitan untuk menidurkan Fatimah. Amira cukup lama di dalam kamar karena Fatimah memeluk lehernya dengan kuat.
Amira menutup pintu dengan pelan, dia takut membangunkan Fatimah yang nampak lelah. Amira berjalan keluar dan dia mengerutkan keningnya saat para perempuan sudah ada di ruang keluarga dan lelaki di ruang tamu.
"Bu....Bu...." panggilan dari depan membuat ibu Amira segera berjalan menuju ruang tamu, Amira hanya mengangkat bahu kemudian duduk di samping Dinda.
"Ada apa Mbak?"
"Gak tahu, tadi Abangmu tiba-tiba manggil." Amira mengaguk.
"Oh iya, silahkan dinikmati." Amira menoleh ke arah Nirmala yang sudah bersandar.
"Kenapa Mbak?" Nirmala menoleh.
"Aku kenyang banget," kata Nirmala sambil menyengir. Amira hanya geleng-geleng kepala.
"Nanti tak kasih setiap orang satu toples cookies." Amira berdiri membuka lemari yang ada di belakang sofa.
"Beneran? Ah jangan deh aku jadi malu," kata Nirmala mengundang tawa. Amira tersenyum tipis melihat kelakuan ibu hamil itu. Ah, mungkin itu pengaruh hormon juga.
"Santai saja kali Mbak," kata Dinda di sela tawanya. Amira membawa dua tas kain. Satu tas untuk Nirmala dan satu tas untuk keluarga Dinan.
"Ini nitip buat bunda juga ya," kata Amira memasukkan toples sambil menghadap perembuat bergamis biru tua yang sedang menepuk-nepuk anaknya yang nampak akan tidur.
"Iya, terima kasih." Amira mengaguk.
"Diajak pulang," kata ibu Amira yang nampak bahagia setelah dari ruang tamu.
"Ibu seneng banget," kata Dinda.
"Iya, kelihatan banget ya?" Amira menghela napas kemudian menghela tamu ke depan dengan membawa dua kantung tas.
"Mir, everything is Okey." Bisik Nirmala saat ibu hamil itu memeluk Amira seolah lama tak akan berjumpa.
"Kalau semuanya baik-baik saja segera ngomong sama mas Damar." Nirmala cengengesan sambil melepas Amira di depan pintu.
"Kok kamu tau sih," kata Nirmala.
"Saya cukup peka." Amira menjawab dengan sewot.
"Ih, sewot amat." Amira menarik bibirnya tipis. Dia melihat Dinan yang mengambil alih balita perempuan itu dan menggendongnya. Dia kembali mengingat kejadian di sore itu, Dia sudah bertekad untuk melepaskan.
"Dek, ingat Damar gak?" Arif bersuara membuat netra Amira menoleh ke arah Arif.
"Damar siapa?"
"Ya Allah, jadi ini si mungil Ami." Damar berseru dengan suara excited membuat Amira merasa berlebihan dengan tanggapan Damar.
"Mas Damar kenal?" Nirmala menyuarakan keinginantahuan Amira.
"Iya, dulu kami tetanggaan." Amira menoleh cepat.
"Iya kah?" Amira bersuara tidak yakin.
"Iya, dia itu Dama yang biasanya main rumah-rumah sama kamu yang selalu berperan jadi suami kamu." Amira menoleh horor ke arah Nirmala yang juga nampak syok.
"Tapi mas Damar suami aku," kata Nirmala tak terima. Amira menghela napas.
"Ambil saja, Ami hanya masa lalu. Jugaan itu hanya main-main." Amira terkekeh geli.
"Mungkin lain kali kita perlu nostalgia, Mas." Amira berkata dengan nada menggoda.
"Amira!!!" Semua tertawa melihat wajah kesal Nirmala.
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Kieraeh Biemanyue
nama belakang suamiku syaifudin thor...
bnyk ilmu didlm novel ini...
dan apa yg amira alami pernah aq alami berkumpul dgn para mantan yg udh punya anak sedangkan aq msh jomblo...
2020-08-30
1
Umriyah Purnawati Sholikhah
nyesek bacanya smpk nangis
2020-07-08
0
Lia Yulianti
terus amira ma ciapa doank,kshan bgt
2020-05-05
1