"...Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya."
[Al-Furqaan/25 : 2]
----
Langit nampak redup, sang pijar seolah tengah bersembunyi untuk menyamarkan sinarnya. Namun meski sang pijar meredup udara panas masih melingkupi, terbukti dengan banyaknya manusia yang mulai berpakaian terbuka di muka umum dan juga banyaknya orang yang mengibaskan segala sesuatu untuk menghadirkan sebuah terpaan angin dingin.
Amira melangkah dengan anggun, dia mengenakan baju terusan dengan bagian atas batik dan bagian rok polos berwarna hitam sehingga nampak pakaian formal potongan padahal jika jilbabnya diangkat akan nampak jelas jahitan sambungan yang tertutup sabuk kain. Amira memakai flatshoes untuk melindungi kakinya.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," salam Amira duduk di depan seorang perempuan cantik berjilbab biru.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," jawab perempuan itu kemudian berdiri memeluk Amira.
"Kangen," kata Nirmala dengan nada manja, Amira terkekeh mendengarnya.
"Baru juga sebulan gak ketemu," kata Amira mengambil duduk di depannya.
"Tetep aja kangen, orang biasanya setiap hari ketemu." Amira mengangguk setuju. Ya, dulu mereka selalu bertemu. Kecuali Selasa itupun kadang keduanya keluar bersama di luar jam kerja.
"Yah beginilah hidup," kata Amira pelan menyisakan nada getir disetiap rangkaian kata.
"Ya sudah lupakan, bagaimana kabarmu?"
"As you see, I am fine. Bagaimana dengan Mbak?"
"Aku baik, baik sekali." Nirmala mengungkapkan dengan binar bahagia yang begitu terlihat.
"Alhamdulillah, mbak Mala nampak seger." Nirmala menyentuh kedua pipinya yang nampak bersemu merah.
"Benerkah? Alhamdulillah." Nirmala menjawab dengan nada bahagia namun kemudian wajahnya nampak cemberut. "Tapi Dinan bilang aku gendutan. Padahal kata gendut itu sangat sensitif buat perempuan. Apa lagi ibu rumah tangga seperti diriku."
Amira meringis saat nama sakral itu disebut, bohong jika semua itu mempengaruhi perasaan yang dia miliki, karena nyatanya nama itu masih memiliki singgasana sendiri dalam urusan hatinya.
"Kamu kenapa?" tanya Nirmala merasa tak salah, Nirmala sungguh tidak mengerti dengan kebungkaman Amira.
"Gak papa, ngomongin masalah gendut jadi ingat kalau berat badanku turun dua kilogram." Nirmala mengotot kemudian mengamati wajah Amira.
"Iya, kamu nampak lebih tirus? Kamu punya masalah?" Amira menggeleng karena dia memang tak memiliki hal yang mempengaruhi perasaan.
"Terus gimana bisa kamu kurusan?" Amira mengangkat bahu.
"Aku mulai kehilangan nafsu makan." Nirmala meringis, Amira bisa melihat raut prihatin di mata Nirmala untuk dirinya.
"Udah minum vitamin?"
"Udah, bahkan dibelikan susu juga sama abang. Tapi mau gimana lagi?" Amira nampak frustasi dengan masalah berat badannya, karena Amira memiliki hal yang tak wajar, jika seseorang dengan mudah menaikan berat badan berbeda dengan Amira. Bahkan saat gemuk saja yang serasa berisi hanya pipinya badannya tetap saja seukuran meski nampak lebih batat.
"Periksa ke dokter coba," kata Nirmala memberi ide.
"Iya nanti InsyaAllah." Nirmala mengaguk.
"Sampai lupa kan belum pesan." Nirmala nampak mencari pelayan kemudian memanggil dengan gerakan tangan. Amira menaruh tasnya kemudian mengeluarkan ponsel untuk mengecek siapa tahu ada informasi penting.
"Kamu pesan apa?"
"Saya paket nasi ayam krispi ditambah tumis cambah dan minumnya teh dengan sedikit gula hangat." Amira kemudian sibuk dengan ponselnya membalas beberapa pesan dari calon klien yang akan menjadi muridnya.
"Oh ya, nanti mas Damar kemari." Amira menatap Nirmala dengan heran, sebenarnya dia tidak akan heran jika Nirmala mengatakan bahwa suaminya itu akan menjemputnya yang membuat heran kalimatnya seolah mengatakan bahwa suaminya akan ikut bergabung makan bersama.
"Kenapa?"
"Gak papa, Mbak kok kayaknya aneh." Nirmala berkata sambil menunduk.
"Aku hamil," kata Nirmala sambil berbisik. Amira membulatkan matanya, dia menatap Nirmala dengan penuh semangat.
"Mbak serius?" tanya Amira antusias.
"Ck, kenapa tanggapan kalian sama sih." Nirmala nampak menggerutu kesal.
"Gimana mbak?"
"Enggak, kamu orang kedua yang mengetahui. Karena bagiku kamu tetap saudara yang paling istimewa." Nirmala menggenggam tangan Amira dengan penuh haru, tanpa terasa setetes kristal jatuh di pelupuk mata keduanya.
"Terima kasih Mbak." Amira menggenggam balik tangan Nirmala.
"Nanti akan ada yang aku kenalkan kepadamu," kata Nirmala dengan nada penuh rahasia.
"Siapa?"
"Teman mas Damar. Siapa tahu kalian cocok. Dia memang sudah pernah menikah tapi dia baik kok. Dia rekan dosen mas Damar."
"Jadi?" Amira menatap Nirmala penuh selidik. Sebenarnya ini bukan hal pertama yang dilakukan oleh Nirmala jadi Amira sudah kebal dengan kelakuan calon ibu muda itu.
"Ya dicoba dulu, walaupun aku tidak yakin tapi gak ada salahnya. Dia punya satu anak perempuan sudah umur empat tahun tapi dibawah asuhan sang ibu. Jadi walaupun duda dia seperti single." Amira hanya menanggapi dengan senyum tipis, dia tidakenduga jika ibu muda ini sangat konyol.
"Tapi aneh tahu kehamilan ku ini, Mira!" Amira menatap Nirmala.
"Kenapa?"
"Iya, aku gak ngerasain apapun gitu. Aku biasa saja makan dan tidurku gak terganggu, aku juga tidak morning sicknees." Amira menatap Nirmala kemudian mengangguk kalau boleh jujur sebenarnya Amira bingung menanggapinya, selain karena dia belum pernah hamil dia juga kurang ilmu tentang hal ini. Dia jadi ingat obrolannya dengan ustadzah Lena tentang seorang muslim harus memiliki pengetahuan yang luas, baik bidang agama, pengetahuan, kebiasaan, kesehatan atau apapun itu.
"Sebenarnya saya juga kurang paham sih, Mbak. Tapi kata kakak ipar saya dulu saat hamil pertama beliau juga begitu, kata mbak Dinda dia ngebo gitu." Nirmala nampak antusias dengan ucapan Amira.
"Jadi itu bukan sebuah masalah bukan?"
"Gak masalah sih Mbak, selama bayi yang dikandung dan ibu yang mengandung sehat." Amira tersenyum tipis.
"Doakan ya," kata Nirmala dengan senyum bahagia, Amira sebenarnya di dalam dadanya ada sedikit sayatan dia ingin juga merasakan yang dirasakan Nirmala.
"Sudah periksa ke dokter?" tanya Amira.
"Sudah, tadi diantar Dinan." Nirmala memelankan suaranya saat menyebut nama Dinan dia dengan segera menatap wajah Amira yang mencoba berlagak biasa, semua itu terbaca oleh Nirmala namun dia tidak bisa berbuat banyak.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Amira menatap kosong meja.
"Sehat kok. Terus diberi vitamin juga." Amira mengangguk lagi, meski matanya tak lepas dari rasa hampa.
"Oh ya, bagaimana ngidam dalam pandangan Islam?" Nirmala mencoba mencairkan suasana.
"Terima kasih," kata Amira saat pelayan menyajikan minuman terlebih dahulu.
"Belum paham banget sih," kata Amira sambil meringis.
"Kalau kata Dinan, ngidam itu udah ada sejak dulu." Nirmala mengatakan dengan nada tak yakin.
"Cuman katanya sih gak boleh ngikutin hal yang berlebihan dan aneh. Seperti kalau ngidam gak suka sama bau suami, itu tidak boleh dituruti soalnya itu adalah hasutan syetan. Pokoknya kita harus memilah begitulah," kata Nirmala sambil menyeruput minumannya.
"Berarti tidak semua ngidam harus diikuti?"
"Iya, katanya juga kalau kita dilarang bilang kalau ngidam itu permintaan bayi dan akan menyebabkan sebuah keburukan jika tidak dituruti." Amira mengangguk dia paham.
"Terus kalau menurut dokter?"
"Dokter gak bahas sih, cuman bilang saja kalau suami harus memberi penjagaan dan pengertian yang lebih." Amira mengangguk.
"Terus tentang ngidam?"
"Bukan dokter yang bilang, tapi Dinan. Katanya sih kalau ngidam itu tidak ada sangkut pautnya dengan bayi, itu hanya murni keinginan sang ibu yang ingin mendapatkan suatu yang membuat dia nyaman. Jadi tidak semua ngidam harus dipenuhi karena semua itu tidak berimbas kepada apapun kecuali pada diri sang ibu." Amira mengangguk mengerti.
"Wah, jadi tambah ilmu." Nirmala mengangguk.
"Heran, Kok malah Dinan sih yang tahu banyak." Nirmala mengatakan dengan nada biasa saja, tak menyadari perubahan pada mimik wajah Amira.
"Mungkin dia lebih pengalaman," kata Amira tidak yakin.
"Iya juga sih, dia kan baru nunggu orang hamil." Nirmala membenarkan ucapan Amira. Tak lama makanan pesanan keduanya datang dan keduanya makan dengan sesekali membicarakan hal-hal ringan, seperti menanyakan keadaan sekolah atau kegiatan sehari-hari.
Setelah selesai makan Amira pamit untuk ke toilet sebentar, dan Nirmala hanya mengangguk karena calon ibu muda itu masih menikmati ikan nila bakar. Amira tersenyum tipis melihat kebahagiaan yang nampak di wajah sahabat dan sekaligus orang yang dia anggap saudara.
Amira sengaja ke toilet untuk membenarkan posisi gamisnya yang tak nyaman, juga ingin mencuci mulutnya yang terasa berminyak. Amira mencuci tangan dan kemudian dia berjalan kembali menuju mejanya, dia sedikit heran saat di mejanya sudah ada dua lelaki asing, yang satu menghadap ke arahnya dia kenal sebagai Damar, suami Nirmala namun yang satu lagi dia tidak bisa melihat wajahnya karena lelaki itu duduk membelakangi dirinya.
"Maaf," kata Amira sambil menggeser kursinya mendekati Nirmala.
"Amira," panggil lelaki itu dan Amira hanya bisa diam membungkam mulutnya dengan hal yang dia lihat.
"Kalian saling kenal?" tanya Nirmala dan Damar bersamaan.
"Iya," jawab Amira kemudian duduk di samping Nirmala.
"Bagaimana kabar kamu?" tanya Farhat mengulurkan tangannya. Namun Amira hanya mengangguk sambil menangkup kedua tangannya.
"Saya baik, Alhamdulillah."
"Wah, menakjubkan! Jadi kalian saling kenal. Hal itu bukankah memudahkan?" Nirmala dan Damar saling pandang dengan tatapan penuh arti, hal itu tidak luput dari pengamatan Amira.
"Dia mantan calon suami saya," kata Amira langsung membuat Nirmala melotot ke arah Farhat dan Amira bergantian, sebelum dia terbatuk-batuk entah karena apa.
"Jadi kalian?" Nirmala mengatakan itu setelah reda batuknya dan Damar dengan sabar mengelus punggung sang istri, hal itu mampu mencubit perasaan Amira.
"Iya, kami saling mengenal." Lagi-lagi Amira mengatakan hal itu dengan santai, karena dia yakin bahwa dia sudah tidak lagi memiliki perasaan kepada lelaki itu. Namun dia memiliki cukup rasa penasaran dengan status lelaki itu yang sudah menjadi duda. Ingat dia saat bertemu sekitar dua tahun yang lalu rumah tangga keduanya baik, begitu kata Fatih. Ah, semua itu bukan urusannya, bisa jadi rumah tangga nampak baik-baik saja namun di dalamnya sudah porak-poranda.
"Dan saya sepertinya tidak ingin mengulang masa lalu," kata Amira dengan tegas dan lugas. Ya, saat ini mungkin Amira tak ingin mengulang masa lalu namun mulut manusia hanya bisa bicara dan kenyataannya hanya Allah yang tahu. Karena hanya Allah yang maha membolak-balikkan hati.
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Ana Putriee Terate
Dinan kmna thor
2020-03-11
3