"Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Rabbnya, (mereka berkata), “Wahai Rabb kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami ke dunia. Kami akan mengerjakan amal shaleh. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yakin."
[as-Sajdah/32:12]
----
Amira membantu sang kakak ipar merapikan barang-barang bawaannya, kakaknya sudah memutuskan untuk pindah ke Kota ini karena menyadari usia sang ibu yang sudah tidak muda lagi, juga kenyataan bahwa Amira sudah dewasa dan suatu waktu jika jodohnya datang maka mau tidak mau Amira harus tinggal dan mengikuti sang suami. Dengan segala pertimbangan ini membuat Arif mantap untuk tinggal di rumahnya enggak dua tahun lalu dia belikan untuk sang ibu dan adik tinggal.
"Barang-barang mas Arif biar dirapikan sendiri, Mi." Amira menatap kemeja yang dia tata di gantungan baju.
"Enggak papa kok, Mbak. Toh ini enggak berat." Amira menoleh ke arah sang kakak ipar dengan senyum tipis.
"Aku enggak enak saja buat kamu capek kayak begini."
"Siapa yang bilang Ami capek? Orang Ami senang." Amira menatap baju-baju sang kakak ke lemari gantung.
"Aku senang melihatmu lebih tenang," kata Dinda, kakak ipar Amira.
"Dulu memang aku enggak tenang ya, Mbak?" Dinda menatap Amira kemudian tersenyum.
"Dulu kamu terlihat tidak nyaman, kamu tampak berbeda dan selalu gelisah hanya untuk sebuah kejadian yang sebenarnya kamu tidak salah. Namun sekarang, kamu jauh lebih berbeda dan tenang."
Amira tersenyum tipis, dia tidak menyangkal hal itu karena dia memang merasakan hal itu, mungkin dengan seiring berjalannya waktu semua kan semakin mudah dan dewasa.
"Kegiatan kamu apa sekarang?" tanya Dinda sambil duduk, dia tidak kuat lama-lama berdiri karena usia kandungan sudah menginjak usia delapan bulan.
"Mengajar saja sih yang konsisten, kalau yang lain tidak ada yang konsisten lagi deh."
Dinda tersenyum. Dinda memang sosok yang ramah, Amira ingat dulu saat sang kakak memutuskan menikah sebelum berangkat ke Madinah. Amira yang dulu adalah Amira yang ceria namun mudah takut, dia begitu dekat dengan wanita yang berstatus sebagai istri dari kakaknya. Dia tidak menduga bahwa Dinda akan bersikap lebih baik dibandingkan kakaknya sendiri.
"Terus kalau pulang mengajar?"
"Kan saya ada jam hanya Senin sampai Kamis itu pun berangkat siang karena masuk setelah zuhur, jadi kegiatan sebelumnya mungkin kegiatan rumah tangga biasa. Kalau Sabtu dan Ahad biasanya saya ada les memasak gitu."
"Jumat?"
"Kalau Jumat itik kajian ustazah Lena." Amira menaruh koper yang sudah kosong di samping almari.
"Nanti ikut ya pas hari Jumat."
Amira tersenyum sambil mengangguk, kemudian dia berjalan menuju tempat tidur sang kakak dan duduk di samping ibu hamil.
"Kamu suka dengan pekerjaan kamu?"
"Suka, saya nyaman dengan semua itu." Amira tersenyum mengingat kegiatan yang menurutnya sungguh menyenangkan.
"Aku bisa melihat dari ekspresi wajah kamu." Dinda mengusap lembut sisi kepala Amira. Bagi Dinda Amira masih adik kecil yang sembilan tahun lalu dia kenal.
"Berarti hari ini kamu ada jadwal untuk les memasak?"
"Enggak Mbak, hari ini Ami ada acara dengan ibu-ibu PKK jadi guest star gitu." Amira berkata dengan tenang.
---
Amira melangkah keluar aula RW perumahan, dia sesekali berjabat tangan dengan ibu-ibu PKK dan mengumbar senyum tipis. Dia menghela napas saat sudah keluar gerbang, Amira berdiri sejenak untuk mengecek ponselnya. Karena hari ini Amira tidak pergi sendiri melainkan di antar oleh sang kakak.
Abang
Abang tunggu di dekat masjid.
Amira mengerutkan keningnya tanda dia sedang berpikir keras, dia mencoba mengingat jalan yang cepat untuk menuju ke masjid perumahan. Amira sudah sering datang kemari, dia menjadi salah satu pengisi kegiatan PKK di sini sejak empat bulan belakangan. Amira memilih melewati blog sebelah kanan karena saat melewati blog sebelah kiri dia akan menjumpai beberapa warung kopi dan hal itu membuat Amira tidak nyaman.
Amira memilih yang sebelah kanan ingin menghindari keramaian para lelaki, namun dia melupakan satu fakta bahwa melewati blog kanan berarti dia melewati depan rumah lama Dinan. Sekali lagi dia menghela napas, jujur dia masih tak bisa menyangkal rasa menyesal yang tak akan mengubah apa pun itu.
Amira berjalan dengan menunduk, sesekali dia mendongak untuk menatap jalan kemudian kembali menunduk lagi. Dia terdiam saat dia tepat berada di depan rumah lama Dinan. Dia menatap kosong bangunan yang sudah tampak berubah, dulu setahu Amira tidak ada gazebo kecil dan kolam ikan dan sekarang sudah ada. Amira melamun beberapa saat, hingga suara seorang perempuan berjilbab besar menyadarkan dirinya dari dunia bernama kenangan.
"Kakak jangan lari!" Perempuan berjilbab hitam itu berlari mengejar anak berusia satu tahun. Masih nampak kesulitan untuk berjalan. Amira miris melihatnya, dia jadi ingat bahwa jika dia menerima lamaran itu mungkin perempuan beruntung itu adalah dirinya. Ya, dirinya yang akan mengejar anaknya yang mulai belajar berjalan. Untuk ke sekian kalinya Amira menyesal, namun mau bagaimanapun penyesalan Amira dia tidak akan mengubah segalanya.
Perempuan itu menoleh heran ke arah Amira, saat menyadari itu Amira salah tingkah kemudian mengangguk dan berlalu pergi. Dia harus kembali menata hati yang rasanya sudah porak-poranda. Ibarat puzzle yang sudah lepas dari tempat yang sesuai.
Amira kembali ingat perkataan Nirmala satu tahun yang lalu. Perkataan yang sebenarnya ingin sekali dia lupakan namun seolah tengah mencibirnya dengan senantiasa muncul di ingatan.
"Dinan balik ke kota ini memboyong semua keluarganya. Aku harap yang terbaik buat kalian, kamu bisa menerima takdir yang sudah ditentukan."
Amira kembali meringis, dia menutup wajahnya sejenak menggunakan jilbab lebarnya kemudian dia beristigfar dan kembali berjalan.
Amira menatap mobil sang kakak yang sudah ada beberapa langkah di depannya, dia langsung berjalan cepat dan membuka pintu mobil sang kakak lalu masuk, hal itu membuat Arif terkejut. Dia heran dengan wajah Amira yang berbeda.
"Kamu kenapa, Mi?" tanya Arif membawa bahu sang adik menghadap ke arahnya.
"Bang, apa salah jika aku menyesal?" tanya Amira membuat Arif bingung, namun dia lebih bingung lagi dengan air mata yang keluar dari mata hidup sang adik.
"Menyesali sesuatu yang salah dan ingin mengubah menjadi lebih baik itu tidak salah. Jika kamu menyesal karena telah melakukan kebaikan sehingga berdampak buruk bagimu itu baru salah." Arif menghapus pipi sang adik yang tampak basah, walau percuma karena seolah mata itu adalah sumber air yang tak berhenti.
"Aku menyesal telah melepas dia, Bang. Kalau saja aku menerima lamarannya aku mungkin yang saat ini menjadi istrinya, bukan wanita lain. Seandainya aku bisa memutar waktu aku ingin kembali ke masa itu dan mengubah jawabanku."
Arif menarik tubuh Amira menuju dekapannya, dia membiarkan Amira meluapkan segala isi hatinya.
"Aku menyesal, Bang."
Arif menepuk lembut punggung sang adik.
"Aku menyesal menolak dia Bang. Aku ingin memutar waktu untuk mengubah segalanya." Tangis Amira menjadi, membuat Arif menghela napas pasrah. Dia tahu ini akan terjadi tapi tidak dia duga jika hal ini cepat menghampiri.
Arif harus menunggu hingga beberapa menit untuk tuk menunggu tangis Amira mereda sebelum dia menasihati sang adik tentang segala ucapannya. Setelah isakan Amira mengecil dia mengurai pelukan.
"Sudah lebih baik?" tanya Arif sambil menghapus sisa air matanya.
"Baju Abang kena ingus," kata Amira sambil tertawa kecil. Hal itu cukup membuat Arif lega bahwa adiknya sudah tidak setertekan tadi.
"Tidak masalah, asal kamu bahagia," kata Arif dengan nada menggoda.
"Ih, Abang gombal. Aku kasih tahu ke mbak Dinda."
Arif mengelus kepala sang adik gemas.
"Mbak kamu itu sudah khatam Abang gombali." Amira cemberut mendengar ucapan sang kakak.
"Ih, lelaki dan gombalannya." Amira berkata sambil mencibir.
"Baiklah sekarang serius. Kamu mau mendengarkan Abang." Amira menatap Arif tak yakin namun dia mengangguk kepalanya.
"Dalam suatu hadits riwayat Muslim yang artinya 'Bersungguh-sungguhlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusan), serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu (kegagalan), maka janganlah kamu mengatakan, ‘seandainya aku berbuat demikian, pastilah tidak akan begini atau begitu’. Tetapi katakanlah, ‘ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki’. Karena sesungguhnya perkataan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan setan.' kamu pernah dengar?" Amira menatap arif kemudian menggelengkan kepalanya.
"Itu adalah sebuah hadits yang menjelaskan bahwa kita tidak boleh mengandaikan untuk mengubah sesuatu yang sudah lalu. Karena hal itu akan membuat murka Allah. Jadi apa yang kamu lakukan itu tadi adalah salah. Segera beristigfar dan memohon ampunan Allah."
Amira menatap wajah Arif dengan tidak percaya. Dia tidak menduga jika ungkapan rasa kesal itu adalah sebuah ungkapan yang telah dilarang oleh Allah.
"Sekarang kamu mengerti?" Amira menatap Arif kemudian mengangguk.
"Jangan diulangi lagi," kata Arif dengan tenang kemudian mengelus punggung sang adik sebelum dia kembali duduk menghadap ke depan dan memasang sabuk pengaman.
"Bang, jadi kita tidak boleh menyesal?"
"Boleh menyesal, tapi dalam artian kita mau berubah. Sama halnya kamu yang saat ini pasti menyesal telah melakukan hal yang beberapa saat lalu kamu lakukan. Dan penyesalan itu harus disertai dengan perubahan sama halnya dengan Taubat disertai dengan janji tidak akan mengulang kembali."
Amira mengangguk mengerti kemudian dia sibuk dengan dirinya sendiri yang mengucapkan istigfar di dalam hati berharap Allah mengampuni dosa-dosa yang telah dia perbuat baik sengaja atau tidak.
"Ayo berdoa, kita berangkat pulang!" Arif memerintahkan dengan nada lembut. Arif sudah cukup lega dengan perubahan yang ada pada diri adiknya.
----
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Siti Balkis
masih nyimak
2020-10-31
0
Siti Arfah
bagus
2020-05-15
0
Ana Putriee Terate
aku suka karyamu thor love you
2020-03-11
2