Selamat Datang, Halal!

Selamat Datang, Halal!

Awal

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar."

(Al-Baqarah:155)

----

Bila kehidupan ini seperti video yang bisa diputar sesuai dengan keinginan, ingin di-back atau mencari scane yang dia sukai mungkin Amira orang pertama yang ingin mengubah takdirnya.

Ya, dia ingin mengubah takdirnya. Karena dia akan menjadi sosok pertama yang merasakan semua yang dia alami adalah sebuah ketidakadilan. Mengapa demikian? Karena seperti kata orang penyesalan selalu datang di akhir karena bila datang di awal bulan penyesalan namanya melainkan rencana.

Amira menyesali keputusannya menolak Dinan, bukan karena Dinan tetap mengendap di dalam dadanya. Bukan. Ini semua disebabkan oleh sebuah kata salah satu ustazah yang dia kenal.

"Sosok yang baik itu tidak akan memberikan hubungan tanpa komitmen yang tidak mengikutsertakan Allah."

Kalimat itu begitu menohok Amira, karena semua orang jelas tahu bahwa Dinan menawarkan pernikahan bukan pacaran. Akan tetapi, dari segala penyesalan itu Amira tetap bersyukur dan mengambil hikmah di baliknya. Dia meyakini bahwa Allah selalu ada untuk hambanya.

Amira duduk di kursi teras, dia sedang menunggu sang ibu pulang dari kajian lingkungan. Ya, setelah dua tahun lebih tinggal di sini. Amira dan ibunya sepakat untuk mencoba berbaur dengan orang sekitar sehingga mampu memanfaatkan waktu luang dengan mencari ilmu atau bermanfaat bagi orang lain.

Amira sesekali membenarkan posisi hijabnya, dia sedikit gelisah karena semua sudah menyapa namun sang ibu tak jua muncul meski bayangannya. Hari ini ibunya ikut kajian di masjid dekat jalan besar. Di sana memang ada kajian rutin untuk umum di setiap hari Kamis.

"Kok ini belum pulang," kata Amira berdiri dari duduknya, dia membuka pagar kemudian tampak cemas menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Menunggu siapa?"

Amira segera menoleh, kemudian dia menunduk pandangan. Ya, Amira yang sekarang sudah lebih baik dibandingkan Amira yang dua tahun lalu.

"Itu, Pak Faris saya menunggu ibu."

"Ibu kamu Shalat Magrib sekalian, beliau akan pulang bareng istri saya."

Amira mengangguk tanda mengerti kemudian tak lama Faris pamit untuk pulang, dia juga menjelaskan bahwa dia pulang untuk menyalakan lampu rumahnya kemudian kembali ke masjid.

Amira terdiam sejenak kemudian memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, karena sayup-sayup angin malam sudah mulai terasa. Amira masuk dan tidak lupa menutup pintu. Dia ingat benar bahwa jika saat menjelang malam maka setan akan berkeliaran. Ingat sebuah kisah tentang setan wanita yang selalu menakut-nakuti anak kecil pada masa Nabi Sulaiman, makanya di saat senja anak kecil dilarang keluar dan dianjurkan menutup pintu dengan mengucapkan basmalah.

Amira mengambil wudu untuk menenangkan hati dan juga persiapan untuk Shalat Magrib. Dia masuk ke dalam kamar mandi dengan kaki kiri tak lupa dia mengungkapkan doa. Setelah keluar dari kamar mandi dengan segala ritual sebelum Shalat Amira mendengar azan magrib berkumandang. Dia diam duduk di atas kursi sambil mendengarkan azan dan menjawab azan sebagai mana yang sudah diajarkan.

Setelah azan Amira menggelar sajadah dan mengenakan mukena, dia tidak lupa memanjatkan doa karena menurut yang dia tahu bahwa di antara azan dan iqamah itu terdapat waktu yang mustajab untuk dikabulkannya doa. Doa Amira tidak muluk-muluk, dia hanya ingin diampuni segala dosa-dosa yang pernah dia lakukan, dosa kedua orang tuanya, dan saudara-saudaranya. Sederhana bukan?

---

Amira berjalan menuju dapur, di sana melihat sang ibu sedang memasukkan beberapa barang ke dalam lemari es.

"Ada yang dibantu, Bu?" Ibu Amira menoleh kemudian menggelengkan kepalanya.

"Ini sudah selesai," kata sang ibu sambil melipat kantong plastik.

"Ya sudah, kalau makan sayurnya masih di panci ya, Bu." Amira hendak melangkah.

"Kamu sudah makan?" Amira menoleh tersenyum sambil mengangguk sebelum kembali melangkah masuk ke dalam kamarnya.

Sejak setahun yang lalu Amira berubah menjadi sosok yang lebih pendiam dari biasanya, dulu dia memang pendiam namun masih ada suara yang dikeluarkan untuk hal-hal basa-basi biasa. Namun kini tidak lagi, entah dengan siapa pun dia menjadi individu yang introvert.

Amira membuka beberapa resep yang ada di mejanya, dia kembali berkutat dengan beberapa modifikasi resep yang bisa dilakukan. Amira sebenarnya sudah memiliki banyak resep sebagai ciri khas dia sendiri akan tetapi, entah mengapa dia masih suka melakukan hal ini. Amira suka menu dalam negeri dibandingkan menu kontinental yang menurutnya tidak sesuai dengan lidahnya jadi dia sering membuat rangkaian menu yang hampir serupa dengan menu kontinental namun dengan komposisi menu dalam negeri.

Amira mendengar pintu terbuka, dia menoleh dan melihat sang ibu berdiri di depan pintu. Ibu Amira menatap dengan datar, entah apa yang telah terjadi.

"Abang dan mbak kamu akan pindah kemari lusa, kamu tidak ingin membereskan ruangan yang akan menjadi kamarnya." Amira tersenyum tipis.

"Insya Allah besok ya, Bu." Ibu Amira mengangguk kemudian menutup pintu kembali. Amira tersenyum kemudian dia kembali fokus pada buku yang ada di depannya.

Setelah selesai dengan buku dan penanya Amira membereskan meja kemudian dia menatap kalender yang ada di meja, dia melihat ada tanggal yang sudah dia lingkari untuk besok lusa. Dia melihat daftar jadwal kegiatan yang sudah dia buat dia baru ingat bahwa dia ada jadwal untuk mengajar kursus memasak untuk sebuah kegiatan ibu PKK sebuah perumahan.

Amira menatap barisan nama perumahan itu dalam diam. Dia menghela napas kemudian mengucapkan istighfar berulang-ulang untuk meminimalisir rasa yang menyusup di rongga dada.

Amira ingat pembicaraan dia dengan Nirmala di sore itu, sekitar satu tahun yang lalu sebelum Nirmala memutuskan untuk menikah. Iya, Nirmala kini sudah menikah dengan salah satu temannya. Sore itu Nirmala mengatakan bahwa.

"Yang sudah lewat belum tentu kembali, jadi lebih baik kita menata diri bukan untuk menghadapi masa depan. Kita tidak bisa memaksa seseorang berjodoh dengan kita seberapa kuat kita menjaga dan seberapa lama kita menunggu."

Dulu, dia berpikir bahwa kalimat itu ditunjukkan untuk Nirmala yang ternyata masih menyimpan rasa pada gebetannya yang tak bukan adalah Faris, tetangga sebelah rumahnya. Beliau sudah menikah dan juga beliau yang menjadi pengganti Dinan saat Dinan memutuskan untuk resign. Namun kini satu hal yang Amira sadari, bahwa kalimat itu bukan hanya untuk Nirmala namun juga untuk dirinya. Dirinya yang selama ini masih menyelam bersama masa lalu yang dia sesali. Ini bukan sekedar awal namun sudah pertengahan jalan.

---

Semalam setelah menyelesaikan pekerjaannya, Amira segera ke kamar mandi karena dia merasakan sesuatu yang tak nyaman sehingga dia harus segera memeriksa ternyata dugaannya benar bahwa tamu bulanan telah datang, Amira hanya mampu bersyukur atas apa saja yang menghampirinya. Dengan keadaan yang semacam ini membuat Amira sedikit malas untuk bangun pagi, jadilah dia kesiangan. Waktu sudah menunjukkan pukul lima lebih dia baru keluar dari kamar.

Saat keluar kamar dia mendengar celoteh anak kecil, dia bingung namun dia segera memeriksa ke ruang tengah dan benar saja di sana sudah ada sang abang dan anak pertamanya sedang berbincang.

"Kakak harus baik sama adik, katanya kakak mau kayak Fahma."

"Tapi tetap saja adik enggak boleh pakai baju kakak."

"Ya kalau pakai baju kakak adik masih enggak bisa, kebesaran."

"Berarti enggak pakai baju kakak?"

"Enggak," kata Arif menjawab pertanyaan sang anak.

Amira tersenyum melihat kehangatan di antara keduanya, dia jadi mengingat sang ayah. Dia masih terpaku di depan pintu hingga pekikan Fatimah menyadarkannya.

"Amah Am." Fatimah turun dari duduknya kemudian menghambur lari memeluk kaki Amira.

Amira menoleh ke tahun sang kakak yang tersenyum kepadanya, dia merasakan letupan bahagia melihatnya. Kemudian Amira berjongkok di depan ponakannya yang sudah menginjak umur tujuh tahun.

"Assalamualaikum, kakak Fatimah." Amira membelai rambut Fatimah dengan sayang.

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh, Amah." Fatimah langsung mengalungkan tangannya ke leher Amira. Sejak kecil keduanya memang sudah cukup dekat sehingga hal yang terjadi ini adalah hal yang biasa.

"Amah sehat?"

Amira mengangguk dengan pelan.

"Fatimah juga sehat, Abi sehat, Umi sehat dan dedek kecil juga sehat." Celoteh Fatimah masih dengan memeluk Amira.

"Semua sehat ucapkan," kata Amira yang disahuti antusias oleh Fatimah hingga melepas tangannya.

"Alhamdulillah." Fatimah menangkup kedua pipi Amira kemudian menghujani banyak kecupan.

"Sayang Amah." Fatimah kemudian berlari menuju sang ibu yang tampak memanggil. Amira hanya menatap keceriaan Fatimah dalam diam tanpa dia duga sang kakak sudah berjalan mendekati.

"Bagaimana kabarmu?" Arif mengulurkan tangannya untuk membantu Amira berdiri, dan dengan senang hati Amira menerima kemudian dengan tanpa sungkan dia memeluk sang kakak.

Sejak kepergian Dinan sang kakak berubah menjadi hangat, dia tidak tahu apa yang dikatakan Dinan kepada sang kakak waktu sepekan sebelum lelaki itu pindah. Namun, Amira harus mensyukuri apapun yang diucapkan lelaki itu karena mampu mencairkan hati sang kakak.

"Kalau baik kenapa bangun siang?" Arif memeluk sang adik dengan erat, kemudian dia menggoyangkan badannya ke kanan dan ke kiri.

Amira tidak menjawab pertanyaan Arif dia justru menikmati kehangatan sang kakak. Dia merasa terlindungi, rasa itu kembali.

"Fatimah begitu ceria, dia mirip denganmu." Arif tiba-tiba bersuara keluar dari jalur.

"Abang berharap, dia tumbuh menjadi sosok yang kuat seperti dirimu."

Amira mengurangi pelukannya kemudian memberi senyum hangat.

"Dia akan tumbuh lebih baik dari pada Ami. Dia akan menjadi sosok yang lebih baik pula dari Ami. Dia sempurna, dia memiliki dua orang tua yang sangat mengagumkan."

Arif mencubit pipi Amira. "Makin dewasa saja," kata Arif dengan senyum manis.

"Sudah tua juga," sahut sang ibu membuat Amira meringis. Dia yakin topik apa yang akan dibicarakan.

"Iya, tua enggak laku-laku."

"Abang, ucapan doa loh. Memangnya mau kalau Ami enggak laku." Bukan merasa bersalah Arif justru tertawa melihat wajah sewot sang adik.

Amira tak murni marah, dia hanya ingin merangkai kehangatan keluarga walaupun ini terasa terlambat tanpa hadirnya sang ayah. Namun mau bagaimana lagi, takdir sudah menentukan dan manusia tak kuasa mengubahnya. Saat ini yang perlu Amira sadari hanya satu hal, bahwa Allah tak akan mengunci hamba melampaui batas mampu dan setiap Allah memberi cobaan pasti ada kado indah di baliknya.

---

Terpopuler

Comments

Mommy 2

Mommy 2

aku jejak

2020-11-01

0

Ana Putriee Terate

Ana Putriee Terate

bagus ceritanya

2020-03-11

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!