"Mau kemana, ini sudah terlalu larut" Fredian menatap Irna, gadis itu telah membenahi pakaiannya kembali.
Gadis itu sengaja duduk agak jauh dari Fredian, dia tidak ingin pria itu kembali menidurinya.
"Aku sudah bilang tadi, aku harus pulang." Jawab Irna dengan seutas senyum.
"Tak bisakah kamu bermalam di sini?" Berkata dengan penuh harap menatap wajah Irna.
"Kita belum mendiskusikan apapun hari ini." Fredian tersenyum kecil mencoba membujuknya agar tetap tinggal.
"Bukankah kamu tadi bilang sangat lelah?"
Irna memandangi layar ponselnya, lima puluh kali panggilan tidak terjawab dari kantornya.
"Ada masalah sedikit di perusahaan, aku harus pergi." Ujar Irna meninggalkan Fredian sendiri.
"Biar aku antar, ke kantor kan? lagi pula sulit untuk mendapatkan taksi semalam ini" Ujar Fredian sambil mengecup pipinya, dia tidak ingin Irna kebingungan di tengah malam.
Irna hanya mengangguk, kemudian mereka berjalan beriringan menuju parkiran di dalam Reshort Fredian. Fredian membukakan pintu mobil untuknya, dan mereka segera berangkat menuju kantor Irna.
Sesampainya di sana.
"Aku masuk dulu Fred, kamu bisa langsung pulang." Ujar Irna pada Fredian yang masih menemaninya. Dia menatap wajah Fredian dengan tatapan sungguh-sungguh agar tidak terus-menerus mengkhawatirkan dirinya.
"Aku tidak akan pergi sebelum memastikan tidak terjadi apa-apa padamu, aku akan tetap berada di sisimu." Ujar Fredian memegang kedua bahu Irna.
Dia tidak ingin terjadi hal buruk pada Irna, apalagi ini sudah sangat larut sekali. Dia sangat menyayangi Irna lebih dari apapun.
Irna kemudian berlari masuk ke dalam gedung, melewati restoran di lantai bawah.
Gadis itu menuju lift untuk naik ke lantai dua menuju kantornya. Saat sampai di lantai dua keadaan sangat gelap gulita. Irna melangkah masuk membuka kunci kantornya.
Fredian mengikutinya dari belakang, dia tidak ingin terjadi hal buruk pada Irna. Saat mereka melangkah masuk Irna melihat seorang wanita yang dipikirnya adalah sekretarisnya.
"Ada apa Rin!?" Tanya Irna, dia terkejut melihat Rini ketakutan duduk di sudut ruangan yang sangat gelap.
Irna mencoba menyalakan lampu, tapi sepertinya ada gangguan listrik. Lampu tidak mau menyala. Keadaan tetap gelap gulita.
Irna berjongkok di dekat Rini, sekretarisnya. Rini masih diam dan tidak menjawab. Fredian menyalakan senter menggunakan ponselnya.
Melihat sekitar dengan cahaya ponsel, Fredian melihat jejak-jejak kaki berlumpur di atas lantai.
"Ada yang tidak beres di sini!" Ujar Fredian sambil menyentuh bahu Irna dengan suara serius.
Irna mengguncang bahu Rini, tapi gadis itu tidak bergeming.
Fredian mendekat memeriksa Rini merasakan denyut nadinya.
"Sepertinya dia sangat ketakutan kemudian pingsan." Ujar Fredian pada Irna.
Sebetulnya Fredian tahu, gadis pingsan itu bukan Rini, Fredian telah melihat jejak-jejak kaki itu.
Jejak kaki itu milik gadis itu dia melangkah dari arah balkon lalu masuk ke dalam ruangan Irna, gadis itu merangkak melalui dinding luar gedung.
"Memang apa yang dilihat gadis ini, sampai pingsan begini?" Irna bertanya pada diri sendiri.
"Ada yang tidak beres di sini, kita harus segera pergi dari sini!" Fredian menarik tubuh Irna menjauh dari gadis itu.
"Tapi Rini?!" Ujar Irna segera tidak mau pergi, gadis itu tetap berdiri mematung di tempatnya.
Fredian menggelengkan kepalanya, memberikan isyarat bahwa gadis itu bukan Rini.
Gadis pingsan itu kemudian bangun, berdiri di belakang Irna.
Irna berbalik, melihatnya. Wajah gadis itu penuh luka memar, bibirnya pucat.
Setiap langkah-langkah kakinya meninggalkan jejak lumpur. Irna menatapnya dengan seksama. Dia mengamati wajah pucat itu tanpa rasa takut sama sekali. Dia sadar bahwa gadis yang ada di hadapannya itu bukan Rini.
Irna tahu jika gadis itu terluka, atau mungkin sudah meninggal. Wajah pucat dan dingin, tatapan mata yang sudah tidak ada kehidupan sama sekali itu, ini bukan hal yang pertama kalinya dia melihat hal itu.
Sudah berkali-kali dia menemui hal yang sama, jika bukan mahluk yang memburunya tapi ada hantu atau mahluk halus lain yang ingin menyampaikan sesuatu padanya.
Awalnya gadis itu terkejut, tapi tidak ketika sudah berkali-kali menemui hal yang sama. Seolah-olah itu sudah biasa dan tidak berpengaruh apa-apa padanya.
"Siapa kamu?! kenapa kamu ada di sini?" Tanya Irna pada gadis itu, Irna memandangi wajah pucat itu.
Perlahan-lahan gadis itu mendongakan kepalanya menatap ke arah Irna. Wajah penuh guratan luka bekas benda tajam. Tubuhnya membiru dan sedingin es. Kuku jarinya sudah menghitam. Irna juga melihat lengan gadis itu sekujur lengannya ada bekas-bekas pukulan benda tumpul.
Irna melihat darah kering di atas kepalanya, ternyata pada kepala gadis itu terdapat retakan, memperlihatkan otak di dalam kepalanya yang terlihat berdenyut-denyut.
Gadis itu menatap wajah Irna dengan tatapan sedih. Dan dia mulai menceritakan kisahnya pada Irna.
"Aku tahu kamu adalah gadis istimewa, kamu bisa melihatku, kamu bisa merasakan kehadiran kami di sekitarmu. Karena sel-sel darah di dalam tubuhmu berbeda dari manusia lainnya."
"Dan pria ini juga memiliki darahmu, darahmu telah tercampur berada di dalam tubuhnya satu tahun yang lalu." Gadis itu menunjuk ke arah Fredian.
Kemudian dia melangkah keluar dari dalam kantor Irna berdiri di tepi balkon menatap jauh ke luar sana. Irna dan Fredian mengikuti gadis itu dari belakang.
"Kamu memiliki indera penglihatan yang tajam. Kamu merasakan kehadiran kami walaupun matamu tengah terpejam." Ungkapnya pada Irna secara jelas dan rinci mengenai sosok Irna Damayanti yang dikenalnya.
"Aku pekerja di sini sepuluh tahun yang lalu, ketika itu aku sedang bekerja lembur. Malam itu begitu dingin. Sepuluh orang perampok memukuliku, membenamkan tubuhku ke dalam lumpur."
Gadis itu menunjuk sebuah pohon besar agak jauh dari kantor Irna melalui balkon di luar kantornya tempat mereka berdiri sekarang.
"Tubuhku masih ada di sana, keluargaku kebingungan mencariku, tolong aku...." Tiba-tiba gadis itu membumbung melayang dan lenyap di telan kegelapan malam.
Lampu kantor kembali menyala. Bekas-bekas lumpur tadi pun juga sudah lenyap.
"Fred..." Ujar Irna pada pria di sebelahnya.
"Biar pengawalku dan para polisi yang memeriksanya besok, kamu tidak perlu hawatir." Fredian meraih Irna ke dalam pelukannya.
Berapa banyak hari yang sulit telah mereka lalui berdua. Seolah takdir yang telah membuat pertemuan mereka di balik segala kejadian dan segala hal.
Sejak awal pertemuan pertama kalinya dia dengan Fredian dan setelah itu, segalanya menjadi jelas.
***
Setelah mengantarkan Irna kembali ke rumah, Fredian kembali ke Reshort.
Irna berjalan masuk ke dalam rumah, pintu rumahnya tidak terkunci.
Dia melangkah masuk dengan hati-hati, dia tidak ingin sesuatu tidak terduga kembali menghampirinya kembali.
Irna agak terkejut, waktu sudah menunjukkan jam satu pagi.
Irna masuk ke dalam rumah, gadis itu mencari saklar untuk menyalakan lampu.
"Astaga! sejak kapan kamu di sini?" Irna terkejut melihat Rian sudah duduk di sofa menunggunya.
"Sejak kamu pergi ke restoran bersama tunanganmu, dan pulang bersama kekasihmu!" Suara Rian terdengar berat.
"Apakah dia habis minum? kenapa suaranya terdengar berat? tapi aku tidak mencium alkohol sama sekali, Rian tidak suka minum alkohol... jangan-jangan!" Ujar Irna bertanya kepada dirinya sendiri.
Irna segera berlari ke luar rumah, namun tiba-tiba pintu menutup.
Pria itu mendongakkan kepalanya, melihat tajam ke arah Irna.
"Siapa kamu? bahkan kamu sudah mengikuti sekian lama!" Tanya Irna dengan suara gemetar, mahluk itu tahu segala hal yang terjadi pada dirinya.
"Kenapa hari ini aku terus menerus bertemu hantu! menyebalkan sekali!" Umpat Irna dalam hatinya.
"Katakan kenapa kamu menungguku?!" Tanya Irna lagi.
Pria itu berjalan mendekat ke arah Irna memegang dagu Irna, menjilatinya.
"Uhk! menjijikkan sekali!" Ujar Irna memaki mahluk itu.
"Braaakkkkkkk! Apakah aku terlambat?!" Rian muncul mendobrak pintu samping.
Pria misterius itu melesat menyerang Rian.
"Kurang ajar! beraninya kamu mahluk jelek memakai wajahku!" Umpat Rian ketika melihat wajah iblis itu mirip dengan dirinya.
Irna berlari ke dapur mengambil segenggam garam. Melemparnya ke arah pria tersebut.
"Akh.... tidaaakkkkk!" Wajah mahluk itu perlahan mencair, meleleh seperti lilin dan lenyap.
"Kenapa kamu tidak pulang ke rumahku?" Tanya Rian pada Irna.
"Kamu tahu aku sekarang bertunangan dengan Dion, bagaimana aku bisa tinggal serumah denganmu?" Ujar Irna sambil meregangkan otot lehernya yang hampir dicekik habis oleh mahluk astral barusan.
"Kenapa kamu tiba-tiba ke sini? dan bagaimana kamu tahu aku ada di sini?" Tanya Irna menyelidik menatap wajah Rian lekat-lekat mencari kebenaran dari raut wajahnya.
"Tadi aku menghubungi Fredian, dia bilang kamu pulang ke rumah." Ujar Rian berbohong.
"Tidak mungkin kamu menelponnya, bukankah kamu sangat membencinya?" Irna tersenyum ringan, melihat respon dari wajah Rian. Dugaan Irna tidak pernah meleset.
"Tadi siang aku menghubungi Rini..." Ujar Rian kembali.
"Kali ini jawaban kamu benar, jangan coba-coba berbohong lagi." Irna beranjak ke dapur menyeduh dua cangkir teh.
Meletakkan di atas meja.
"Rumah ini kemarin kotor, sekarang bersih. Kamu yang membersihkannya?" Tanya Irna pada Rian.
Rian meminum tehnya kemudian berbaring meletakkan kepalanya di pangkuan Irna.
"Bukan aku." ujarnya lagi.
"Aku ngantuk sekali Ir, biarkan aku lelap di sini sejenak." Memeluk pinggang Irna kemudian tertidur.
Irna membiarkan pria itu terlelap di atas pangkuannya. Dia menatap wajah Rian, pria itu menyimpan kerinduan untuknya. Irna juga tahu dia tidak bisa memberikan hatinya untuk pria dalam pangkuanya itu.
Irna mengambil selimut dari lemari menyelimuti tubuh Rian. Setelah itu
Irna berjalan ke tempat tidur, pinggangnya masih terasa sakit gara-gara Fredian.
Rian perlahan membuka matanya, tidak mendapati Irna di dekatnya. Bangkit berdiri berjalan menuju ke dalam kamarnya.
Melihat Irna sedang tertidur lelap. Rian melepas pakaian karena merasa panas, lalu berbaring memeluk Irna.
Malam itu Irna bermimpi seseorang kembali menidurinya, dalam waktu yang sangat lama. Entah berapa lama dan sepertinya lebih dari dua jam.
Jam tujuh pagi..
Perlahan Irna mengerjapkan matanya, dia terkejut karena tubuhnya telanjang dan Rian memeluknya sangat erat.
Irna tidak melihat bercak darah di atas seprei tapi dia merasakan nyeri. Pinggangnya juga lebih sakit dari sebelumnya. Sepertinya dia dan Rian sudah melakukan hal itu.
"Kamu sudah bangun?" Sapa Rian menatap Irna dengan tersenyum.
"Kenapa kita begini? sejak kapan kamu melepaskan pakaianku?"
"Tadi malam kamu memanggilku, kamu lupa?" Rian masih tersenyum melihat Irna membelalakkan matanya.
Irna melihat sprei yang basah kemudian menciumnya, tidak salah.
"Itu adalah bekas hubungan suami istri" Bisik Irna dalam hatinya
"Tapi tidak ada darah di sana, apa mungkin karena belum 24 jam??" Berbisik di dalam hati.
Rian berdiri berjalan ke kamar mandi tanpa mengenakan sehelai kain dengan sangat santai.
"Astaga mataku rusak!" Teriak Irna tiba-tiba.
Mendengar teriakkan itu Rian menyahut.
"Kamu sudah menyentuh semuanya semalam.."
"Aku rasa dia berbohong!" Ujar Irna lagi, mencoba beranjak berdiri. Dia sangat kesulitan setengah mati, kakinya serasa seperti batang kayu yang sulit digerakkan.
Irna kesulitan berdiri, dia berpegangan pada dinding kamarnya. Dia berjalan sangat pelan sambil memegangi pinggulnya seperti nenek tua yang sudah di usia manula.
Langkah gadis itu tertatih-tatih, dia menggigit bibir bawahnya menahan nyeri pinggul sampai kedua kakinya.
"Kakiku aduh, sakit sekali aku hampir tidak bisa berjalan. Padahal sepulang dari reshort aku baik-baik saja. Tapi setelah tidur dengan Rian kakiku tidak bisa berjalan." Gumam Irna pelan.
"Rian, semalam aku pergi ke Reshort. Dan aku melakukan hal yang kamu benci, aku menghianatimu kembali." Ujar Irna membuat pria itu seketika menoleh ke arahnya.
Wajah Rian berubah dingin, dia melemparkan serbet dapur ke atas meja. Dia diam sambil menarik nafas dalam-dalam.
"Kenapa kamu menceritakan tentang kisah cintamu padaku?" Tanya Rian sambil menatap wajah datar istrinya.
"Agar kamu marah dan menceraikanku segera." Ujar Irna menatap kedua bola mata suaminya mencari jawaban di sana.
"Aku sudah bilang tidak akan menceraikanmu begitu saja." Ujar Rian sambil menaruh piring di atas meja.
"Tapi aku sudah melakukan kesalahan fatal dan bahkan dua kali ini melukaimu." Jelas Irna lagi pada suaminya itu.
"Ya anggap saja kamu berkata benar jadi terus apa masalahnya?"
"Masalahnya adalah kita harus segera bercerai!" Ujar Irna lagi sambil meringis menahan nyeri pada pinggangnya.
Pria itu menatapnya sekilas, hatinya seperti tertusuk duri membayangkan gadis itu berada di ranjang bersama sahabatnya sekaligus pasiennya itu.
Tapi dia tetap menahan rasa sakit itu. Rasa yang harus ditanggung olehnya seorang diri sebagai konsekwensinya karena membuat istri sahabatnya menjadi miliknya.
Dia sudah tahu pasti akan terjadi hal seperti ini, tapi dia masih tetap pada pendiriannya untuk tidak melepaskan Irna pada Fredian.
Dia tahu dia salah, tapi cinta di dalam hatinya tidak melihat kesalahan itu. Cinta di dalam hatinya membalut setiap kepedihan dengan rasa bahagia hanya dengan melihat gadis itu berada di sisinya.
Rian mengukir seutas senyum di bibirnya. Pria itu kemudian berkata kepada Irna.
"Jangan ke kantor dulu, ambilah cuti sayangku." Rian mengecup kening Irna, kemudian pria itu melangkah ke dapur kembali menyiapkan sarapan untuknya.
"Beberapa jam kamu melakukannya semalam? aku tidak bisa berjalan, tulang selangkaku terasa remuk." Geram Irna menatap Rian yang masih menahan senyum melihatnya menahan sakit.
bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 224 Episodes
Comments
Caningsih
kok irna ga sadar berhubungan ama rian
2020-07-22
1
wati
aneh ya thor
2020-06-18
3
Y
wah novelnya bagus yang belum lancar baca aja jadi lancar
2020-05-13
0