Fredian masih tercenung tidak percaya. Bagaimana mungkin pria seperti Rian mau menerima wanita yang sudah ditidurinya.
Fredian benar-benar merasa kehilangan gadis yang sangat dicintainya.
"Grataaak, grataaak" Jendela kamar Fredian perlahan membuka karena hembusan angin senja, bercak darah Irna masih ada di sana.
Cuaca mendadak terasa dingin mencekam. Padahal jam di dinding masih menunjukkan pukul tiga sore. Kabut perlahan merayap masuk melalui jendela yang terbuka.
Fredian menutup wajahnya duduk di tepi ranjang. Fredian juga merasakan mendadak udara di sekitarnya berubah menjadi sangat dingin.
"Apa ini? kenapa banyak kabut tiba-tiba masuk ke dalam kamar?" Ujarnya sambil mengusap lengannya yang terasa dingin.
Bayangan hitam muncul, masuk melalui jendela. Mengendus darah di atas ranjang.
Fredian merasakan sesuatu ada di belakang punggungnya.
Fredian perlahan membalikkan badannya menoleh kearah belakang punggungnya. Fredian segera berdiri, menatap makhluk tersebut mengendus seprei. Rambut koyak kotor dan kuku-kuku tajam runcing. Tidak memiliki mata.
Fredian terus menatap mahluk itu tanpa bergeming, ternyata bukan dirinya yang dicari. Dia mengusap kepalanya, dia ingat gadisnya yang baru saja tidur bersamanya di atas tempat tidur itu.
Dia mendadak merasakan nafasnya tercekat, memikirkan gadis yang sangat dia cintai. Gadis yang selalu hadir di setiap detik berada dalam ingatannya.
"Irna? gadis itu dalam bahaya sekarang! aku harus segera menemukannya!" Ujar Fredian bergegas memakai kembali bajunya.
Tidak lama, setelah itu Fredian segera berlari keluar rumahnya, mengendarai mobilnya. Menghubungi Irna melalui ponselnya. Akan tetapi gadis itu tidak mengangkat ponselnya.
"Tuuut, tuuut, tuuut!" Ponsel Irna terus berdering, ponsel Irna ada di atas meja kantor.
Rini terkejut melihat ponsel bosnya tertinggal. Dia segera mengambilnya untuk menerima panggilan telepon.
"Halo ini Rini, sekretaris Bu Irna.." Ujar gadis itu sambil memegangi telepon Irna dengan kedua tangannya.
"Apakah Irna ada di kantor sekarang?" Tanya Fredian terburu-buru.
"Tidak, ibu belum kembali semenjak tadi siang." Mendengar itu, Fredian segera menutup panggilan.
"Presdir Fredian menanyakan kemana Bu Irna? bukankah tadi siang dia yang membawanya pergi dari dalam kantor? apakah Bu Irna berhasil kabur dari dia?" Rini menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Mencoba mencari jawaban dari serentet pertanyaan yang tiba-tiba muncul di dalam kepalanya. Namun setelah sekian lama berfikir dia juga tidak menemukan jawaban apapun.
Mahluk itu terbang mengikuti jejak-jejak hembusan angin, hingga sampai di rumah megah milik Rian.
Terlihat sekali jumlah mereka jadi semakin banyak. Mereka berterbangan berputar-putar mencari pintu untuk masuk ke dalam rumah besar Rian.
Irna masih membersihkan tubuhnya di kamar mandi, tiba-tiba terasa olehnya sesuatu udara yang tidak asing baginya, sudah berkali-kali mahluk itu mendatangi rumah barunya yang berada di London.
Setiap mereka datang selalu di awali dengan kabut yang tebal dan udara yang tiba-tiba berubah menjadi dingin mencekam.
Mahluk-mahluk itu berwajah menyeramkan, tanpa mata dan kadang kala mereka tidak memiliki hidung. Entah kenapa mereka selalu tampil dengan wujud yang berbeda-beda.
Mereka kadang memiliki rambut yang hanya tumbuh beberapa helai di atas kepalanya. Kadang memiliki banyaknya rambut namun tidak rata.
Mereka terbang kesana kemari dan tidak memiliki kaki, dan mereka kini ada di dalam kamarnya. Irna mengintip keberadaan mereka dari dalam kamar mandi.
Mahluk tersebut mengendus selimutnya, yang digunakan Rian dari rumah Fredian untuk menutupi tubuhnya. Selimut itu terkena sedikit percikan darahnya.
Mahluk itu dengan liar mencari aroma darah tersebut berasal.
"Mereka bahkan menemukanku di sini" Ujar Irna dalam hatinya.
"Tidak lama lagi mereka pasti berhasil menemukanku!" Bisik Irna dalam hatinya.
"Bagaimana dengan Fredian darahku juga tercecer di sana." Irna tidak memikirkan dirinya jika sedang dalam bahaya. Tapi dia masih memikirkannya pria itu.
Pria yang terus mengisi hatinya, dan hari-hari yang telah lalu. Dan Irna tidak ingin melihat pria itu terluka karena banyak mahluk yang terus mengejarnya sejak awal mereka berdua berada di vila itu.
Mahluk itu mulai mengejarnya dan menemukannya. Irna pada saat berada di dalam lorong gelap di gudang vila, darahnya tercecer di sana. Saat Fredian menggigit lehernya waktu itu.
Dan aroma itu yang menjadi jalan mereka untuk datang mencarinya. Aroma darah yang begitu sepesial. Aroma darah yang berbeda dari darah yang lainnya.
Walaupun Rian memiliki darah yang sama dengan Irna namun ada sel-sel lain yang berada di dalam tubuh gadis itu. Sel-sel tersebut yang menghasilkan aroma unik di setiap tetes darahnya.
Aroma bunga dan rasa yang sangat manis menurut mahluk berkuku tajam tersebut.
Di luar sana Fredian masih kebingungan mencari keberadaan Irna dan Rian. Fredian sangat takut jika terjadi sesuatu pada Irna.
Jika sampai menyebabkan gadis yang sangat disayanginya itu terluka dia akan menyesal sampai mati. Tidak akan dibiarkan siapapun melukainya. Atau mencoba membuatnya terluka.
"Kemana mereka pergi? apa mungkin mereka pulang ke rumah Irna?" Tanpa pikir panjang Fredian menuju rumah Irna.
Dilihatnya rumah Irna sangat sepi. Seperti tidak dihuni berhari-hari. Lampu di rumah tersebut juga padam. Fredian mencoba menghubungi Rian. Namun teleponnya juga tidak di angkat olehnya.
"Ke mana perginya mereka? apa mereka pergi ke NGM? ah tidak mungkin ke sana" Fredian kembali memutar otak.
Dia terus menguras seluruh isi kepalanya untuk mencari keberadaan Irna dan Rian.
"Rumah besar Rian Aditama." Fredian mengingat jika Rian Aditama memiliki rumah megah, yang terletak agak jauh dari pusat kota.
Rumah tersebut sengaja dibangun oleh Rian jauh dari keramaian. Karena Rian tidak menyukai kebisingan di sekitar rumahnya. Dia selalu memilih tempat yang sunyi untuk berkonsentrasi meneliti vaksinnya.
Di dalam rumah besarnya tersebut juga terdapat laboratorium yang lumayan besar. Hari-hari pria itu hanya di habiskan untuk bekerja di dalam laboratorium.
Hanya beberapa bulan ini saat kehadiran Irna, pria itu menjadi lebih ingin memperhatikan wanita yang berada di sisinya itu. Irna seorang gadis yang sangat unik.
Awalnya dia mendapat sampel darah gadis itu dari Fredian. Dia tahu bahwa gadis yang memiliki darah tersebut adalah gadis yang tidak biasa.
Selain sel-sel darah merahnya yang unik juga konsentrasi kolagen di dalamnya meningkat dengan sendirinya pada saat sang inang terluka ataupun tergores sedikit saja.
Dan sel darah tersebut mengantispasi proses penuaan dini. Sehingga menjaga sang pemilik darah untuk terlihat segar dan tetap cantik secara alami.
Begitu menemukan gadis itu terlelap di dalam penginapan beberapa bulan lalu. Dengan melihat kulit tubuhnya Rian tahu dialah pemilik darah tersebut. Dan dia memilihnya untuk menukarkan dengan vaksin yang dibuatnya untuk kesembuhan Fredian.
Vaksin tersebut juga menggunakan bahan utama dari darah Irna yang telah diproses secara khusus oleh Rian untuk menghilangkan gejala di tubuh Fredian pada saat bulan purnama.
Sesegera mungkin Fredian menuju ke sana, ke rumah besar Rian Aditama.
"Tidak salah lagi!" Fredian melihat mahluk-mahluk itu berterbangan di atas atap rumah tersebut. Satu persatu masuk menerobos melalui lubang angin.
Melihat itu, Fredian yakin jika Rian tidak tahu jika Irna tengah dalam bahaya sekarang.
Fredian melihat jendela kaca diluar dinding tanpa teralis.
Fredian hendak menerjang masuk melalui jendela tersebut, dan menolong Irna yang berada di dalam kamar tertutup itu. Kini dirinya masih berada di luar gerbang.
Akan tetapi beberapa orang yang menjaga rumah tersebut menyadari keberadaan dirinya di sana. Mereka berlari menuju ke arahnya dan mencegah dirinya.
Beberapa penjaga mencegah Fredian masuk ke dalam gerbang.
"Apa yang dia lakukan?! cepat tangkap orang itu!" Teriak tiga orang pengawal menghadang Fredian.
Mereka segera memukulinya tanpa ampun.
"Irnaaaa! Irnaaaa!" Teriak Fredian saat para penjaga memukulnya sampai babak belur.
Rian di dalam rumah mendengar suara berisik di luar. Rian segera berlari ke arah suara tersebut.
Rian melihat Fredian tengah bertarung dengan para penjaga di depan rumahnya. Nampak banyak luka di sekujur tubuh Fredian, luka bercucuran darah akibat serangan dari penjaga rumahnya.
Rian diam mematung menatap matanya seolah pria itu bertahan untuk menyatakan sesuatu yang sangat penting. Tapi Rian enggan mendengar perkataan darinya.
Melihat itu, Rian tidak berjalan mendekat ke arahnya, ataupun berniat untuk membantunya. Dia membiarkan teman lamanya sekaligus pasiennya itu terluka.
Di dalam hatinya diam-diam menyimpan luka dan kecemburuan, karena sangat jelas bahwa Irna masih mencintainya. Gadis yang berada di sampingnya itu selalu berusaha melindungi Fredian.
Dia bahkan tidak ingin melihat pria yang ada di hadapannya ini terluka.
Dengan tubuh penuh luka berdarah, Fredian masih mencoba berdiri. Namun penjaga masih tetap memukulinya hingga tubuh Fredian terhuyung jatuh ke atas tanah.
Fredian merangkak ke arah kaki Rian berdiri, membasahi lantai dengan darahnya.
"Irnaaaa! tolong selamatkan Irnaaaaaaa... Bruk!" Kepala Fredian jatuh ke atas tanah sampai tidak sadarkan diri.
Dia masih bernafas tapi terlalu banyak luka pada tubuhnya hingga membuat tubuh atletis itu roboh di atas tanah. Di depan rumah Rian tubuhnya roboh bersimbah darah.
Pria yang sangat mencintai gadisnya itu sudah tidak memikirkan hidupnya, dia sengaja datang seorang diri padahal ada banyak sekali pengawal di dalam rumahnya.
Dia menyerahkan dirinya untuk menemui kembali gadisnya. Karena baginya hidupnya sudah tidak berarti sama sekali tanpa kehadiran gadis itu di sisinya.
"Irna? Fredian?! bangun! apa yang terjadi? penjaga! angkat tubuhnya masuk ke dalam." Rian mengguncang-guncang tubuh Fredian akan tetapi sudah tidak bergerak lagi.
Rian kemudian berlari menuju ke dalam kamar Irna. Irna tidak ada di sana ataupun di dalam kamar mandi.
"Kemana gadis itu??" Rian segera mencari Irna dan menanyakan pada pelayan. Namun tidak ditemukan keberadaan istrinya. Di dalam rumah besarnya. Ataupun di ruangan lain.
Di tengah hutan yang gelap Irna terus berlari. Kakinya penuh luka.
***flashback
Ketika di dalam kamar mandi Irna melihat mahluk itu begitu banyak dan telah memenuhi seluruh ruangan.
Irna berlari menerobos mereka melompat keluar jendela. Dia tidak berniat untuk mencari Rian. Yang dia pikirkan hanyalah bagaimana caranya menghalau mahluk-mahluk yang menginginkan darahnya itu.*
Setelah sekian lama berlari Irna sampai di sebuah pesisir pantai, tubuhnya lemah dan pingsan di atas pasir tepi pantai.
Rian kebingungan tidak tahu harus mencari Irna kemana.
"Satu-satunya cara adalah membuat Fredian sadar dan menggali informasi darinya!" Ujar Rian pada malam itu.
Tubuh Fredian tergolek di atas tempat tidur. Tubuhnya masih lemah tidak berdaya, sudah dua hari tidak sadarkan diri. Selang infus mengalir terhubung pada lengan pria itu.
Di sebuah perusahaan Entertainment.
"Pak Dion, kita harus mencari lokasi yang tepat untuk melakukan syuting film dokumenter terbaru." Ujar salah seorang produser di dalam rapat tersebut.
Dion mencermati tuturan para krunya dan mengambil masukan pendapat yang terbaik dia antara mereka.
"Mungkin tepi laut akan lebih menarik" Ujar salah seorang dari peserta rapat.
"Iya, sebaiknya kita mengambil episode awal di sebuah pesisir pantai" Ujar sutradara.
"Baiklah sebagaimana bagusnya menurut kalian, saya akan menyetujuinya" Ujar Dion menutup rapat hari itu.
***
Fredian perlahan membuka kelopak matanya, di dalam kepalanya hanya ada Irna dalam ingatannya.
Fredian melihat sekitar, beberapa penjaga tengah tertidur. Dengan susah payah dia bengkit dan mengendap-endap.
Pada waktu Fredian kabur, Rian tidak berada di tempatnya.
Fredian melihat ke arah luar melalui jendela, dia tahu bahwa dia masih berada di rumah Rian.
Fredian mencari kamar yang di tempati Irna, matanya tertuju pada sebuah kamar dengan pintu berukir cantik. Dia membuka pintu tersebut, ada pakaian perempuan di atas tempat tidur serta selimut yang digunakan Irna ketika pergi dari rumahnya.
Fredian mencari jejak Irna di dalam kamar tersebut, pandangan Fredian beralih ke sebuah jendela. Ada seutas benang tersangkut di kawat.
Dan sedikit darah kering. Fredian berfikir bahwa mahluk itu menyerangnya lalu Irna melompat keluar dari kamar melalui jendela, bajunya robek dan kakinya tengah terluka.
"Pak Rian, orangnya kabur!" Teriak salah seorang pelayan yang menjaga Fredian, mendengar suara itu.
Fredian segera kabur dari rumah Rian berlari mengikuti jejak-jejak Irna.
"Aku harus menemukannya!" Begitu yakinnya Fredian berlari terhuyung-huyung keluar dari rumah Rian menuju ke arah mobilnya di tepi hutan.
Dion sedang berjalan di tepi pantai mencari lokasi untuk tempat syuting.
Tiba-tiba pandangannya jatuh pada sebuah tubuh tergolek di atas pasir.
Dion berlari menuju tubuh tersebut, tampak wajah yang tidak asing lagi.
"Irna Damayanti.." Bagaimana mungkin gadis itu tiba-tiba berada di sini.
Dion mengecek nadi di tangan Irna, nadinya masih berdenyut artinya gadis itu masih hidup.
Dion segera mengangkat tubuh Irna membawanya masuk ke dalam mobilnya menuju ke rumah sakit.
"Apa yang terjadi pada gadis ini? bajunya penuh dengan koyakan, banyak luka bekas gigitan juga cakaran kuku" Dion mencoba menerka apa yang menjadi penyebab Irna seperti itu.
"Apa mungkin salah dari seorang Presdir itu yang melakukannya kemudian membuangnya?!" Dion menggelengkan kepalanya.
"Ah itu sangat mustahil, bagaimana mungkin? dua hari lalu surat kabar memuat berita bahwa Presdir Reshort Angel dan NGM mendatangi kantor Irna Damayanti"
"Lalu setelah itu siangnya Irna dibawa paksa oleh Fredian Presdir Reshort Angel"
bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 224 Episodes
Comments
Astri Saraswati
Hhmmm
2021-11-19
0
Reny Maryani
mkin rumit
2021-10-06
1