"Teman? aku sejak kemarin tidak melihat seorangpun ada di sini." Jelasnya sambil celingukan menoleh, melihat sekitarnya.
"Tapi gue benar-benar kemari sama tiga teman gue, barusan dari atas gue juga lihat ada tiga orang berdiri di dekat pantai." Tukas Irna lagi mencoba meyakinkan pria di depannya itu.
Pria itu terkejut melihat penuturan Irna dan bergegas menarik tangannya menuju ke tempat lain.
"Kamu mau membawaku kemana?" Tanya Irna masih tidak mengerti kenapa dia terus menarik lengannya. Irna hanya mengikutinya saja tanpa berani bertanya apapun.
"Jangan-jangan wanita iblis itu sudah memulai upacaranya!" Gumam pria itu pada dirinya sendiri. Lalu menatap ke arah Irna sejenak, kemudian dia kembali menariknya pergi menuju suatu tempat.
"Kamu siapa? kenapa bisa berada di sini?" Tanya Irna lagi mengulang pertanyaan. Pria itu tidak kunjung menjawabnya. Dia hanya terus berjalan sambil menggandeng tangannya.
"Apa yang dilakukan pria ini sih? kenapa dia terus memegangi tanganku? apa yang terjadi sebenarnya padanya? apa hubungan pria ini dengan tante Rina?" Bisik gadis itu kembali jauh di dalam lubuk hatinya.
"Aku tamu club tempat wanita itu bekerja, dia memasukkan sesuatu ke dalam minumanku. Kemudian menahanku di sini." Jelasnya sembari melihat bagaimana ekspresi wajah Irna, tapi sepertinya Irna masih belum bisa mencerna kata-kata darinya.
Gadis itu masih tetap mematung dan tidak memberikan jawaban apapun padanya, dia masih menatap kosong ke arah yang jauh.
"Apa maksudnya dia berkata seperti itu? aku sama sekali tidak bisa mengerti apa yang dikatakannya." Bisik Irna dalam hatinya.
"Bisakah aku mempercayainya? dia terlihat sangat misterius dan aku juga baru kali ini menemuinya." Bisiknya lagi pada dirinya sendiri.
"Aku ingin mempercayainya, tapi Tante Rina adalah tanteku satu-satunya, bagaimana mungkin dia tega berbuat seperti ini? Itu tidak mungkin."
"Dibandingkan dengan pria ini, tante Rina adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa. Dialah yang selalu menemaniku sejak aku kecil. Tapi pria ini dia baru datang dan bertemu denganku hari ini. Aku juga baru mengenalnya." Bisikan lirih sambil melirik ke arah pria yang masih memegang erat tangannya sekarang.
(**kilas balik)
Beberapa Minggu yang lalu tengah malam Irna terbangun oleh ketukan pintu. Gadis itu sangat terkejut karena tantenya yang mengunjunginya hari itu. Di saat malam yang dingin dan di teras yang sangat gelap.
Udara dingin perlahan menyapu wajah gadis itu di tengah kegelapan malam. Irna menyisir rambutnya dengan jari tangannya ke belakang telinga.
Gadis itu perlahan-lahan berjalan ke arah pintu. Dia membuka pintu, saat itu kakinya terasa membeku karena melihat pemandangan di depan matanya. Dia bahkan tidak yakin jika itu adalah sebuah kenyataan yang harus dihadapinya saat itu.
Tante Rina dengan gaun putih menatap ke arahnya, seluruh wajah dan tubuhnya terlihat sangat pucat dan dingin. Tatapan matanya kosong.
Seolah-olah dia menatap seseorang yang tidak dikenalnya. Bukan menatap dengan rasa sayang saat perpisahan dengan Irna beberapa tahun lalu.
"Irna... bawalah kunci villa ini, dan datanglah kesana segera. Tante membutuhkan kamu" setelah menyerahkan kunci villa Tante Rina menghilang dalam kegelapan malam.
Entah kemana perginya, Irna masih mematung diam di tempatnya berdiri dia tidak yakin dengan apa yang dia saksikan barusan.
***
Paginya Irna terbangun dengan sebuah kunci berada ditangannya. Dia berfikir itu mimpi namun ternyata bukan. Dia melihat air mata membasahi kedua pipi tantenya itu, Irna yakin kalau itu merupakan sebuah isyarat permintaan bantuan.
Dia berinisiatif untuk menengok bagaimana keadaan yang sebenarnya, dan apa yang sebetulnya terjadi pada tante Rina.
Wajah sedih tantenya terus membayang dalam ingatan gadis itu. Entah kenapa seolah-olah itu baginya adalah sebuah panggilan khusus untuk Irna.
Dia harus segera pergi menemuinya, untuk membuktikan kebenarannya. Dan untuk memastikan segalanya bahwa yang ada dalam ingatannya itu salah, juga sama sekali tidak benar.
Dan di kampus pagi itu, Siska menyinggung hal liburan. Jadi Irna bermaksud untuk liburan sekaligus memeriksa villa. Dia tidak tahu jika nasib sial akan menimpa dirinya juga ketiga temannya.
Ketiga temannya yang tidak mengerti apa-apa, ikut terbawa kesialan yang seharusnya hanya menimpa dirinya seorang diri. Berapa banyak rasa sesal di dalam hatinya saat ini.
Gadis itu terus termangu dan membisu tidak bisa berkata apa-apa. Seandainya saja dia tidak mengajak teman-teman yang sangat dia sayangi mungkin teman-teman yang lain masih baik-baik saja dan berada di rumah mereka masing-masing menikmati liburannya.
"Kamu kenapa? malah melamun?" Tanya pria itu sambil memegang kedua pipi Irna yang tanpa sadar basah dengan air mata. Irna menatap wajah pria di depannya dengan wajah yang sangat sedih.
Dia hanya bisa menyesali segalanya, dan berharap kejadian yang menimpanya hari ini hanyalah sebuah mimpi yang sangat buruk.
Dia berharap segera terbangun di tempat tidurnya yang ada di dalam kamarnya. Namun setelah menunggu lama, hal itu tak kunjung terjadi.
Dia tetap berada di waktu dan jam yang sama, juga segalanya adalah kenyataan pahit yang harus dia hadapi mau atau tidak.
"Aku bahkan tidak tahu harus berbuat apa sekarang? perasaanku terasa tercampur aduk dan tidak bisa di pilah lagi. Rasa sedih, terluka, rasa sesal yang begitu besar dan rasa ingin kembali pulang bersama teman-temanku." Bisiknya di dalam hatinya.
"Ah, tidak, tidak apa-apa. Elo pergi duluan aja keluar dari villa ini, gue masih harus nyari temen gue, gue khawatir terjadi sesuatu dengan mereka bertiga, kami datang bersama jadi gue juga harus kembali bersama mereka."
Tegas Irna pada pria itu sembari melepaskan kedua tangannya dari pipinya dengan perlahan. Pria itu menatapnya dengan tatapan sendu, dan tidak ingin pergi meninggalkannya seorang diri.
Dia masih terus menatap wajah yang berlinang air mata namun berusaha tersenyum dan tampil baik-baik saja.
"Tapi di sini terlalu bahaya, kamu gak tahu apa yang terjadi pada teman-temanmu! dan wanita itu bukan manusia lagi, dia bukan tantemu!" Ucap pria itu dengan wajah sangat khawatir, memegang kedua bahunya untuk meyakinkan bahwa dia harus segera pergi dari tempat itu.
Tapi wajah gadis itu tetap bersikeras pada keyakinan bahwa dia tetap harus mendapatkan ketiga temannya itu. Dia kembali bergegas hendak meninggalkan pria yang ada di depannya itu.
"Tidak! gue gak akan pergi dari sini sebelum menemukan mereka!" Ujar Irna lagi sambil melangkah tidak tentu arah. Pria itu menahan lengannya agar dia tidak meninggalkannya di sana.
"Okelah! kalau kamu bersikeras! kita cari mereka bersama-sama!" Ucapnya dengan senyuman yakin sembari menyodorkan tangan memperkenalkan dirinya pada Irna.
"Perkenalkan namaku Fredian Derosse." Ujarnya sambil tersenyum menatap wajah sendu di depannya itu. Gadis itu hanya mematung masih merasa begitu sedih dan terluka.
Dia tak kunjung menyambut uluran tangannya dan hanya mematung diam melihat ke arahnya mengamati sosok pria di depannya itu.
Sosok pria dengan tinggi 185 cm, hidung mancung, tubuh atletis, kulit putih bersih. Rambut cokelat lurus agak acak-acakan karena berlarian dan melewati hari yang sulit di sana.
Akhirnya gadis itu menyambut uluran tangannya.
"Irna Damayanti" Mengulurkan tangan, mereka berjabat tangan satu sama lain.
Keduanya mengangguk kemudian berlari menuju keluar, di sana mereka mencari ketiga teman Irna. Setelah berputar-putar mencari ke sekeliling vila, namun tidak menemukannya juga.
"Tunggu sebentar, lihat ini." Tunjuk Fredian pada jejak-jejak telapak kaki di atas pasir tepi pantai. Semakin malam air laut semakin surut.
Dan jejak-jejak itu semakin terlihat sangat jelas. Bekas beberapa jejak kaki menuju ke suatu tempat.
"Ayo kita ikuti saja kemana arahnya jejak ini." Ujar Fredian sambil kembali menggandeng lengan Irna.
Mereka berdua berjalan mengikuti arah telapak kaki tersebut.
Di atas sana di balkon lantai dua villa, nampak seorang wanita berdiri dengan gaun putih membawa pisau berkilauan di tengah cahaya rembulan. Dia menatap mereka berdua dengan tatapan dingin.
Irna menatapnya sekilas mendadak kakinya kembali terasa lemas dan berat sekali.
"Ada apa?" Tanya Fredian mengejutkan Irna yang sejak tadi melihat ke atap vila tempat tinggal tantenya itu, lalu menoleh kearah dimana Irna melihat.
"Barusan gue lihat ada orang mengawasi dari atap sana." Tunjuk Irna ke arah balkon villa. Di mana tempat tantenya itu tadi melihatnya.
Namun anehnya Fredian tidak melihat apapun di sana. Dia melihat wajah ketakutan terlukis di wajah Irna. Dan pria itu tersenyum mencoba untuk menenangkan dirinya.
"Jangan-jangan wanita itu sudah bangun? kita harus cepat!" Ucap Fredian dengan cepat kemudian dia segera menarik tangan Irna untu mengikuti langkah kakinya. Mereka setengah berlari mengikuti jejak-jejak langkah kaki di atas pasir pantai.
"Eh tunggu sebentar, ini bukanya menuju pintu belakang villa?" Tanya Irna pada Fredian yang masih terus mencermati langkah kaki di atas pasir dari beberapa orang tersebut.
Mereka bergegas berlari masuk pintu belakang villa tersebut, pintunya tidak terkunci.
"Aneh? kenapa pintunya tidak terkunci? Jika mereka mengadakan upacara harusnya mereka tidak akan membiarkan siapapun masuk ke dalam sini." Bisik Fredian lagi sambil melangkah ke dalam ruangan dengan sangat hati-hati..
Setelah mereka masuk, jejak kaki tidak terlihat. Mata mereka tertuju pada sebuah gudang di sana. Gudang tersebut tertutup rapat.
Irna dan Fredian berjalan mengendap-endap sambil mengawasi sekitar.
"Kreeekkk...." Fredian membuka pintu tersebut sambil membawa tongkat pada tangan kanannya.
Irna mengikuti dari belakang.
Setelah pintu terbuka tidak nampak siapapun di gudang, mereka berdua memeriksa beberapa barang yang disimpan di sana.
Irna menyusuri dinding, dia merasa ada yang janggal dengan dinding gudang tersebut.
"Fred, coba lo kesini sebentar.."
"Ada apa?" Melangkah mendekat ke arah Irna
"Dinding bagian ini kayaknya ada yang aneh? bagian ini terbagi lima bagian, dengan permukaan yang sama sekali tidak sama..." Ujar Irna menjelaskan
"Semacam sebuah teka-teki maksudmu?" tanyanya lagi
"Yup" Irna mengangguk dengan pasti.
"Oh, aku ingat pola pada kunci yang diberikan Tante Rina malam itu. Mungkinkah ini ada hubungannya...? sebentar, gue rasa kunci itu masih ada di dalam saku" Merogoh saku celana jeans yang ia kenakan.
Beberapa detik kemudian dia menemukannya.
"Ini dia.." Tunjuknya pada Fredian.
"Coba lihat, dinding ini memiliki pasir timbul yang membentuk angka..." Tunjuk Fredian sambil meraba petak-petak di dinding.
"Angka itu tidak terlihat sama sekali jika tanpa diraba.." ungkap Irna.
"Kuncinya juga ada lima, dan masing-masing memiliki nomor" tambahnya lagi.
"Coba ini nomor satu..." Irna mengambil kunci nomor satu lalu menempelkan pada pola sebelah angka yang ada di dinding tersebut, pola tersebut sama dengan ukiran pada gerigi kunci. Lalu menekan ke dalam. Kunci tersebut merekat lalu menyala.
"Sepertinya berhasil!" Seru Fredian
Mereka memasukkan kunci satu persatu hingga selesai.
Dinding bergetar dan bergerak membuka kesamping.
Di dalam sana ada jalan setapak kecil, seperti sebuah lorong.
"Akkkhhh!" Fredian sambil memegang kepala memekik kesakitan.
Wajah Fredian memucat, urat-urat lehernya timbul keluar membiru. Bibirnya tiba-tiba menghitam.
"Lo kenapa Fred? apakah ada yang salah?" Tanya Irna dengan wajah hawatir.
Fredian membalikkan badannya membelakangi Irna. Diam mematung menghadap dinding lorong.
"Fred...." Tegur Irna lagi sambil memegang bahu Fredian.
Tangan Irna serasa menyentuh bongkahan es yang sangat dingin dan basah berlendir.
"Irna.. aku haus sekali....." Membalikkan badannya menghadap ke arah Irna.
Irna terkejut, Fredian wajahnya berubah penuh urat, matanya berubah merah. Kuku tangannya tumbuh meruncing dan memiliki gigi taring.
Irna berjalan mundur dengan kaki gemetar. Sambil menutup bibir dengan kedua tangannya.
Aroma lendir menyeruak memenuhi seluruh lorong.
Fredian terus melangkah mendekat ke arah Irna,
Irna sangat ketakutan, sekujur tubuhnya terasa lemas, tiba-tiba kaki Irna terantuk batu dan terjatuh tersungkur.
Dirinya serasa terkurung terperangkap bersama monster. Fredian telah berubah menjadi sosok yang tidak dikenalnya.
"Akhh! tidak! jangan!" Teriaknya dengan putus asa mencoba menghalau Fredian yang sudah sangat dekat dengannya.
Fredian terus mendekat perlahan dengan tubuh penuh lendir. Jemarinya menyentuh membelai rambut Irna.
"Dia tidak menyakitiku...." Tanya Irna dalam hati.
Fredian terus membelai kepala Irna,
Irna memberanikan diri untuk bangkit duduk. Fredian menyentuh leher, mengusap bibir Irna yang bergetar dengan ibu jarinya.
Kemudian meraihnya dalam pelukan lalu mencium bibir Irna, mengulumnya dengan lembut.
Sembari memeluk pinggang gadis itu dengan sangat erat.
Irna sangat takut mencoba melepaskan dirinya.
"Jangan akh, lepaskan aku!" teriaknya dengan putus asa.
Fredian melepaskan ciumannya lalu beralih menggigit leher Irna, dan menghisap darahnya.
"Akkkk... tidak, jangaaan, Fred lepaskan aku.." Irna memekik menahan nyeri pada lehernya.
Tubuh Irna semakin lemas, pandangan matanya berkunang-kunang.
**Sesuatu tiba-tiba muncul dalam ingatannya.
Diusianya sekitar sepuluh tahun, dirinya sedang berlarian berkejar-kejaran dengan seorang anak kecil laki-laki.
Mereka bermain ayunan bersama di tepi hutan, lalu anak laki-laki itu memakaikan mahkota bunga di atas kepala Irna.
Mereka mengikat janji, dengan jari kelingking.
"Ayo kita terus bersama selamanya..."
"Aku akan menikahimu ketika aku sudah besar nanti, aku pasti akan melindungimu!" Janji anak laki-laki tersebut**.
Lalu Irna kembali tersadar...
"Akh! tidak! jangaaan!" Irna terus meronta, hingga tangan kanannya meraih batu yang tadi membuat dirinya terjatuh.
Irna memukul kepala Fredian dengan batu tersebut.
"Duak! duak! duak!"
bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 224 Episodes
Comments
menarik
2022-05-20
1
Giyati Gotexs
penasaran kelanjutannya.
2022-04-29
1
Rima Ferika
malem" baca ginian kok aq jdi merinding ya
2022-04-29
2