My Enemy Is My Soulmate
Matahari sudah berada di puncak singgasananya, sinar teriknya bagaikan pemanggang yang tak ada ujungnya.
Di ujung sebuah restoran berbintang lima, duduklah sepasang suami istri yang berdampingan, tempat duduk mereka adalah tempat yang paling mahal di restoran itu, bukan kursi atau meja mereka yang membuatnya mahal, namun spot pemandangan yang disuguhkan lah yang membuat kursi mereka mahal.
Terlihat, sang suami sedang mengelus perut istrinya yang sudah buncit hamil empat bulan. Sang istri terus tersenyum dan tertawa kecil karena bayi di perutnya terus menendang saat sang suami mengelus perutnya.
Di atas meja mereka masih kosong tidak ada makanan ataupun minuman, padahal mereka sudah duduk di sana sekitar sepuluh menit lebih, sesekali sang suami melihat jam di pergelangan tangannya.
"Apa mereka lupa dengan janji kita hari, ini, Pah?" tanya sang istri dengan wajah cemas.
Sang suami mengelus punggung tangan istrinya, "Itu tidak mungkin, Mah. Hanya saja, kita yang terlalu awal datangnya," jelas sang suami, "Sepuluh menit lagi adalah jam janjian kita, dan mereka akan segera sampai, kamu yang sabar, ya, Mah," ucap sang suami sambil mengelus rambut halus istrinya.
Sang istri mengangguk mendengar penjelasan suaminya, "Iya, Pah."
Mereka berdua melanjutkan perbincangan hangat, semua pengunjung restoran bisa memastikan jika pasangan itu memiliki hubungan yang selalu harmonis dan bahagia, apalagi sang istri yang tidak lama lagi akan segera melahirkan buah cinta mereka.
Lima menit berlalu dengan cepat, dari pintu masuk restoran masuklah sepasang suami istri dengan seorang bayi laki-laki di gendongan sang istri.
Pasangan yang baru datang itu langsung mengerti di mana tempat duduk mereka karena lambaian tangan seseorang. Mereka bergegas menuju orang yang melambaikan tangan.
"Sorry, ya, Hen. Tadi macet banget, jalannya," ucap laki-laki yang baru datang sambil menarik kan kursi untuk istrinya, lalu dia menarik kursi untuk dirinya sendiri.
Sang suami yang sudah datang lebih awal adalah Hendri Yudistira, seorang pengusaha di bidang kuliner dan memiliki perusahaan turun menurun dari keluarganya. Ia di dampingi sang istri yang sedang hamil empat bulan, namanya Mitha Arambana, seorang ibu rumah tangga biasa di rumah megah suaminya.
Hendri tersenyum pada pasangan itu, dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, "Tidak masalah, Yog. Aku dan Mitha juga baru sampai," balas Hendri dengan senyum yang tak pudar.
Seorang laki-laki yang baru datang adalah Yoga Wibawa, satu-satunya owner di perusahaan Wibawa, dia adalah generasi ketiga setelah menggantikan posisi ayahnya yang sudah tiada.
Dia datang bersama istrinya yang sudah melahirkan anak pertama mereka lima bulan yang lalu, namanya Putri Lestari, seorang nyonya besar di keluarga Wibawa.
Tidak lupa seorang bayi tampan di gendongan Putri, bayi tampan itu bernama Candra Wibawa, calon penerus dan generasi keempat di keluarga Wibawa.
"Kenapa kamu belum pesan makanan sama sekali, Hen? Apa kamu tidak kasihan dengan Istrimu? Atau jangan-jangan, kamu tidak mampu membeli seporsi makanan di sini?" tanya Yoga dengan maksud mengejek sahabatnya itu.
"Apa kamu bermaksud mengejekku? Tidak hanya seporsi, lima ratus restoran sekelas, ini, pun aku bisa membelinya," ucap Hendri sambil membenahi rambutnya yang sudah tertata rapi.
Ucapan Hendri membuat Yoga, Putri, dan Mitha tertawa lepas saat itu juga.
Sstt.. "Jangan keras-keras tertawanya, Candra baru mau tidur," ucap Putri setelah dia berhenti tertawa.
"Ya sudah, Kamu suruh Bik Ijah buat jaga Candra," ucap Yoga sambil mengangkat tangannya dan melambai ke seorang wanita di depan restoran.
Wanita yang lebih tua sedikit di atas Yoga datang menghampiri kedua pasangan itu, "Iya, Tuan. Ada apa?" tanya Bik Ijah yang baru sampai.
"Ini, Bik. Tolong jaga, dan tidurkan Candra, ya, Bik," pinta Putri sambil mengayunkan Candra pelan dan berhati-hati.
Dengan sigap Bik Ijah mendekat ke Putri dan mengambil alih Candra dari gendongan Putri.
"Hati-hati, Bik," ucap Yoga setelah Candra berada di gendongan Bik Ijah.
Bik Ijah mengangguk dengan senyum di bibirnya, "Baik, Tuan."
Setelah itu, Bik Ijah membawa Candra keluar dari restoran. Di luar restoran, ada dua laki-laki berbadan kekar yang di tugaskan untuk menjaga Candra kecil.
Yoga kembali mengangkat tangannya dan melambai, tapi bukan untuk memanggil Bik Ijah ataupun pengawalnya, dia memanggil seorang pelayan untuk datang ke mejanya.
Seorang pelayan dengan cepat memenuhi panggilan Yoga, pelayan itu membungkuk sedikit untuk memberi hormat ke tamu istimewa restoran, "Apa ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya pelayan itu setelah selesai membungkuk.
"Mana daftar menunya?" tanya Yoga sambil menyodorkan tangannya ke pelayan.
Dengan cepat pelayan itu memberikan buku menu restoran dan bersiap untuk mencatat pesanan Yoga dan yang lain.
"Apa ada tambahan lagi, Tuan?" tanya pelayan itu setelah selesai mencatat pesanan kedua pasangan itu.
"Tidak ada," jawab Yoga dengan senyum terpaksa di bibirnya.
"Baik, Tuan. Pesanan anda akan segera kita siapkan, mohon bersabar," ucap pelayan itu lalu pergi setelah mendapat anggukan dari Yoga dan yang lain.
Di sela menunggu pesanan mereka, Yoga membuka pembicaraan, "Hen, bagaimana jika kita membuat nazar?" ucap Yoga yang membuat Hendri dan yang lain bingung.
"Nazar apa, Yog?" tanya kebingungan Hendri dengan maksud temannya itu.
"Gini, jika istrimu, nanti, melahirkan anak perempuan, kita akan menjodohkan anakmu dengan Candra, bagaimana?" jawab Yoga.
Hendri sejenak berpikir, "Ya, kalau anak pertamaku perempuan, kalau anak pertamaku laki-laki bagaimana?" tanya Hendri.
"Ya, nazar kita batal, lah, Hen. Ya, kali, kita nyuruh anak kita jadi gay?" balas enteng Yoga dan disambut tawa oleh Hendri, Mitha dan juga Putri.
Setelah tertawa, Hendri dan yang hening sejenak, "Hen, gimana? Setuju apa tidak?" tanya Yoga, "Sekalian kita niatkan nazar perjodohan, ini, dengan mempererat tali persaudaraan kita," ucap Yoga.
Hendri kembali berpikir, kali ini cukup lama dia berpikir, "Em, kalau aku, sih, setuju dengan usulan mu, itu. Tapi, apa istrimu dan istriku setuju dengan hal, itu?" ucap Hendri sembari menoleh ke Mitha di sampingnya.
Yoga juga menoleh menatap Putri, "Bun, Bunda setuju atau tidak dengan nazar tadi?" tanya Yoga sambil menggenggam tangan lembut istrinya.
Putri ikut menoleh menatap sang suami, "Bunda setuju-setuju saja jika niatnya baik," balas Putri.
"Setuju," timpal Mitha sambil mengelus perut buncitnya.
"Sayang, aku belum bertanya padamu, kenapa sudah ikut-ikutan setuju saja?" tanya Hendri dengan bibir yang sedikit dia manyun kan.
Mitha menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, "Maaf, Pah. Entah kenapa tadi aku jadi semangat seperti, itu," jelas Mitha.
"Tanda-tanda anakmu adalah jodoh anakku, Hen, ini, sepertinya," ucap Yoga dengan tawa mereka semua.
Pada akhirnya, mereka berempat sepakat untuk menjodohkan anak pertama mereka nanti.
Tidak lama setelah itu, dua pelayan dengan meja dorong menghampiri meja mereka. Kedua pelayan itu membawa makanan dan minuman pesanan Yoga dan yang lain.
Setelah pesanan mereka sudah di atas meja semua, mereka mulai menikmati hidangan restoran itu, tidak lupa dengan candaan dan tawa mereka di sela makan siang mereka.
IG: @ahmd.habib_
Jangan lupa like, share, comment dan favorit ya 🤗 dan terima kasih banyak untuk kalian yang sudah mendukung dan mensupport author 🙏😘💙
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
Raffasya
keren banget aku mau belajar nulis tapi liat kamu nulis q malu Thor 97 sempurna buat loe Thor..
2021-08-30
0
Muhammad Ari
bagus thor... ijin promo ya, jgn lupa baca novel dg judul "MY CLICK GIRL" ya 🙏😇
2020-08-01
1
𝚃𝚊𝚗𝚊 (hiat)
Aku mampir bawa like, komen dan rate5 💜
Ditunggu ya feedback-nya di cerita Falove 💌
2020-07-27
0