Pagi Pertama

Adzan Subuh berkumandang dari masjid di ujung kompleks. Suaranya mengalun lembut, menembus udara pagi yang dingin dan sunyi. Di kamar pengantin baru, Alya sudah bangun, menutup mukenanya dengan tenang usai menunaikan shalat Subuh.

Sementara di sisi lain ruangan, Arga masih terbaring di sofa panjang, wajahnya membelakangi arah tempat tidur. Ia bahkan tidak sudi menyentuh ranjang yang kini menjadi milik mereka berdua.

Semalam ia hanya berkata singkat, “Tidur aja, gue gak akan ganggu.”

Tanpa sedikit pun menatap Alya.

Alya tahu, suaminya itu belum bisa menerima pernikahan ini. Ia hanya menghela napas panjang, lalu memutuskan untuk fokus pada apa yang bisa ia kendalikan yaitu dirinya sendiri.

Setelah membereskan sajadah dan mukena, ia melangkah pelan ke dapur. Tangannya yang cekatan mulai menyiapkan sarapan: nasi goreng sederhana, telur dadar, dan teh hangat.

Ketika aroma masakan mulai memenuhi dapur, langkah berat terdengar dari arah tangga. Arga muncul dengan rambut acak, mengenakan kaus putih dan celana training. Ia berhenti di depan dapur, menatap Alya yang sedang mengatur piring di meja.

“Lo yang masak ini?” tanyanya dengan nada datar, hampir seperti sindiran.

Alya menoleh, tersenyum lembut.

“Iya, Mas. Aku pikir lebih baik kalau kita sarapan bersama keluarga akan lebih baik.”

“Sarapan keluarga?” Arga mendengus. “Lo pikir ini drama keluarga harmonis?”

Alya tetap tenang.

“Aku hanya ingin memulai hari dengan baik, Mas. Rasulullah bersabda, ‘Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.’ (HR. Tirmidzi).”

Arga menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang.

“Terserah.”

---

Tak lama kemudian, Bu Retno muncul dari arah ruang tengah. Wanita paruh baya itu menatap Alya dengan hangat.

“Nak Alya, wah… aroma masakannya enak sekali. Ini kamu yang masak?”

Alya tersenyum sopan.

“Iya, Ma. Semoga sesuai selera keluarga.”

“Subhanallah, anak pesantren memang beda,” sahut Bu Retno sambil duduk. “Jarang sekarang ada menantu yang bangun sepagi ini.”

Pak Darma ikut duduk di meja, menatap Arga sekilas.

“Lihat tuh, Ga. Istrimu ini tahu adab. Kamu mestinya bersyukur dapat perempuan seperti Alya.”

Arga mendesah, menatap piring tanpa minat.

“Aku gak lapar, Pa."

“Kamu makan aja dulu,” tegur Pak Darma dengan suara tegas. “Ini bukan soal lapar. Ini soal menghormati rezeki yang sudah disiapkan.”

Arga akhirnya menarik kursi dengan malas, tanpa menjawab.

Mereka mulai makan. Alya menyendok nasi untuk Pak Darma dan Bu Retno lebih dulu, lalu baru mengambil untuk dirinya sendiri. Arga diam, hanya menyuap seadanya.

“Nak Alya, mama dengar nanti siang Arga akan bawa kamu ke rumahnya, ya,” kata Bu Ratna ramah. “Biar kalian bisa mulai mandiri. Tapi kalau kamu mau sering ke sini juga boleh. Rumah ini tetap rumahmu.”

“Terima kasih, Ma. Insya Allah Alya akan sering berkunjung,” jawab Alya lembut.

Pak Darma menatap menantunya itu penuh harap.

“Nak Alya, kalau ada apa-apa, jangan sungkan bicara ke mama atau papa, ya. Arga ini keras kepala, tapi sebenarnya hatinya nggak seburuk itu.”

Alya tersenyum pelan.

“Alya percaya, Pa. Semua manusia bisa berubah kalau Allah kehendaki.

Bu Retno menatap Alya penuh kekaguman.

“Masya Allah… indah sekali. Kamu benar-benar seperti cahaya baru di rumah ini.”

Arga berhenti mengunyah.

“Cahaya?” katanya setengah mengejek. “Yang ada malah ribet. Aku nggak minta siapa pun buat ngubah hidupku.”

Pak Darma menatap tajam ke arah anaknya.

“Arga!”

“Apa, Pa? Aku cuma jujur.”

Ia berdiri, mendorong kursinya sedikit kasar. “Aku udah bilang dari awal, aku nggak mau pernikahan ini. Aku cuma nurut karena papa yang minta.”

Suasana meja makan mendadak hening. Alya menunduk, sementara Bu Retno tampak menahan napas panjang.

“Mas,” ujar Alya lembut tanpa menatapnya, “aku tahu ini semua tidak mudah. Tapi insya Allah, setiap ketentuan Allah pasti ada hikmahnya. Tugas kita hanya bersabar dan berbuat baik.”

Arga menatapnya tajam.

“Lo gak perlu ngomong kayak ustazah ke gue. Gue gak tertarik diceramahi.”

Pak Darma mengetuk meja ringan.

“Cukup. Arga, kamu boleh nggak suka keadaan ini, tapi kamu harus tahu, tanggung jawabmu sudah dimulai. Jangan mempermalukan keluargamu sendiri.”

Arga menatap ayahnya dalam diam, lalu menarik napas panjang. Ia lalu berjalan meninggalkan ruang makan tanpa menoleh lagi.

---

Setelah Arga pergi, Bu Retno menepuk punggung Alya pelan.

“Sabar ya, Nak. Arga memang keras. Tapi percayalah, mama yakin kamu bisa melunakkan hatinya. Kamu berbeda dari semua perempuan yang pernah dekat dengannya.”

Alya tersenyum lembut, matanya teduh.

“Alya percaya, ma. Tidak ada hati yang terlalu keras bagi Allah untuk dilunakkan. Alta akan terus berdoa agar pernikahan ini jadi jalan kebaikan bagi kami berdua.”

Pak Darma menatap Alya dengan kagum.

“Nak Alya, kamu wanita langka. Papa bangga punya menantu seperti kamu. Semoga Allah menjagamu.”

“Aamiin,” sahut Alya pelan.

---

Menjelang siang, Alya mulai berkemas. Ia hanya membawa beberapa pakaian dan perlengkapan pribadinya. Tidak ada perhiasan mewah, tidak ada riasan berlebihan. Hanya mukena, Al-Qur’an kecil, dan beberapa gamis sederhana.

Sementara Arga keluar dari kamar dengan setelan kasual, wangi parfum mahal menguar kuat.

Ia menatap Alya sekilas.

“Lo gak perlu bawa banyak. Di sana semua udah lengkap.”

“Baik, Mas,” jawab Alya pelan.

Setelah itu mereka berpamitan kepada pak Darma dan bu Retno.

Alya berdiri, menunduk hormat pada kedua mertuanya.

“Ma, pa, mohon doa dan restunya. Insya Allah Alya akan berusaha menjaga rumah tangga ini sebaik mungkin.”

Bu Retno memeluk Alya erat.

“Hati-hati di jalan, Nak. Arga, jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya.”

Alya tersenyum tapi Arga hanya mengangguk malas.

Perjalanan mereka menuju rumah pribadi Arga berlangsung tanpa percakapan berarti. Mobil mewah itu melaju di jalanan kota yang mulai padat. Alya hanya menatap keluar jendela, sementara Arga menatap lurus ke depan, wajahnya datar.

Sesekali Alya mencuri pandang ke arah suaminya itu. Lelaki itu tampan, tapi dari matanya terpancar kemarahan yang belum sembuh. Barangkali luka batinnya lebih dalam dari yang terlihat.

Ketika mereka tiba di rumah besar bergaya modern minimalis itu, Arga turun lebih dulu.

“Ini rumah gue. Mulai sekarang lo tinggal di sini. Gue sering keluar malam, kadang gak pulang, jadi jangan banyak tanya. Kalau butuh sesuatu, bilang aja ke Mbok Darmi, pembantu rumah tangga di sini.”

Alya mengangguk pelan.

“Baik, Mas. Terima kasih.”

“Dan satu lagi,” ujar Arga menatap tajam.

“Gue nggak suka diatur. Jadi jangan bawa-bawa nasihat agama lo ke gue. Gue capek dengar orang ceramah.”

Alya menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh.

“Aku paham, Mas. Tapi izinkan aku tetap berdoa untuk kebaikan Mas.”

Arga membuang pandangan.

“Lakukan apa aja, asal jangan ganggu hidup gue.”

Lalu ia pergi, meninggalkan Alya berdiri di teras rumah megah itu dengan koper di tangan dan hati yang perlahan terasa sesak.

Alya memandang langit yang mulai memutih. Dalam hati, ia berbisik lirih,

“Ya Allah, Engkau yang Maha Membolak-balik hati manusia. Lembutkanlah hatinya, sebagaimana Engkau menurunkan hujan ke tanah yang keras. Jadikanlah rumah ini tempat lahirnya kesabaran dan kebaikan, bukan kemarahan.”

Lalu ia tersenyum kecil pada dirinya sendiri.

Karena ia tahu, cinta tidak selalu datang di awal pernikahan.

Kadang, cinta tumbuh dari sabar dan doa yang tidak pernah berhenti dipanjatkan.

Terpopuler

Comments

Rosvita Sari Sari

Rosvita Sari Sari

alya mah ngomong ceramah ngomong ceramah, malah bikin emosi
aku aja klo ngomong diceramahi emosi apalagi modelan arga 🤣🤣

2025-11-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!