Chapter 5: Di Bawah Garis Nol

Ini adalah neraka baru Ethan Pradana.

Itu dimulai pukul 08:30 pagi. Dia tidak lagi berjalan ke lab pribadinya yang kacau dan familier. Sebaliknya, dia berjalan ke "Ruang Tim Penahanan Standar", sebuah area terbuka raksasa di lantai 80 yang dia sebut sebagai "Peternakan."

Itu adalah lautan bilik-bilik abu-abu yang identik, tempat para peneliti Tier-A yang cerdas dan ambisius bekerja dalam keheningan yang tertekan. Mereka adalah tim Julian Frost.

Saat Ethan masuk, percakapan pelan terhenti.

Dia adalah seekor serigala yang dipaksa masuk ke kandang domba. Atau mungkin, seekor serigala yang telah dicabut taringnya dan kini dipajang untuk tontonan.

"Pradana."

Ethan menoleh. Dr. Julian Frost berdiri di dekat papan kemajuan tim, memegang stylus seperti tongkat komando.

"Mejamu di sana," kata Frost, menunjuk ke sebuah bilik kosong di sudut paling belakang, tepat di sebelah unit pendingin yang sedikit bising.

Itu adalah meja yang mereka berikan pada mahasiswa magang. Sebuah penghinaan yang disengaja dan diperhitungkan.

"Aku harap kau sudah tidur nyenyak," lanjut Frost, suaranya cukup keras untuk didengar oleh seluruh tim. "Tugas verifikasi sub-protokol 9-B sudah selesai?"

Ethan tidak menjawab. Dia berjalan ke meja barunya, duduk di kursi yang tidak ergonomis, dan mengirimkan file yang telah dia selesaikan tadi malam. Notifikasi `Tugas Selesai` muncul di layar utama Frost.

Wajah Frost mengeras sepersekian detik. Dia jelas tidak menyangka Ethan akan menyelesaikannya begitu cepat.

"Bagus," kata Frost dingin. "Kalau begitu, kau bisa mulai dengan 10-D. Dan pastikan kau memeriksanya dua kali. Aku tidak mau ada 'kreativitas' dalam kodeku."

Ethan hanya menatap layarnya. "Ya, Dr. Frost."

Sisa pagi itu berlalu dalam siksaan yang menumpulkan pikiran. Ethan menundukkan kepalanya dan bekerja. Dia adalah sebuah mesin. Pikirannya, yang dirancang untuk memecahkan misteri alam semesta, kini disibukkan dengan mencari kesalahan penempatan titik koma dan perulangan *loop* yang tidak efisien.

Para peneliti lain di "Peternakan" akan berjalan melewatinya dalam perjalanan mereka ke mesin kopi. Mereka akan meliriknya—si jenius yang jatuh, si Tier-S yang kini setara dengan mereka. Beberapa tampak kasihan. Beberapa tampak puas. Tidak ada yang berbicara dengannya.

Pukul 11:30, sebuah notifikasi yang berbeda muncul di layarnya.

`PERINGATAN JADWAL: Wajib Mengajar - Astrofisika Kuantum 401. Pukul 12:00. Aula Aethelred.`

Ethan menghela napas. Dia hampir lupa. Bagian dari kontraknya sebagai Peneliti Kepala—status yang ironisnya masih dia pegang—adalah memberikan kuliah wajib sebulan sekali di Universitas Terapan Neo-Babel.

Dia berdiri.

"Mau kemana kau?" tanya Frost, mendongak dari biliknya.

"Wajib mengajar," kata Ethan.

"Ah, ya. Pergi dan hibur anak-anak itu," kata Frost meremehkan. "Pastikan kau kembali tepat waktu. Protokol 11-A harus selesai sebelum pukul lima."

Ethan tidak menjawab. Dia berjalan keluar dari "Peternakan", merasa seperti seorang tahanan yang diberi waktu satu jam untuk berjalan-jalan di halaman.

Aula Aethelred adalah sebuah amfiteater yang megah dan mengintimidasi. Ruangan itu bisa menampung tiga ratus mahasiswa, dan hari ini, ruangan itu penuh sesak. Para mahasiswa Tier-A terbaik dari seluruh Eropa datang untuk melihatnya.

Saat Ethan berjalan masuk melalui pintu samping dan melangkah ke panggung, keheningan yang terjadi begitu instan dan absolut. Ratusan percakapan terputus di tengah kalimat. Tiga ratus pasang mata menatapnya.

Itu bukan keheningan karena rasa hormat. Itu adalah keheningan yang hanya bisa diciptakan oleh rasa takut dan kekaguman yang aneh.

Mereka tidak melihat seorang dosen. Mereka melihat sebuah anomali hidup. Skor 280.

Ethan berjalan ke podium, merasa canggung dalam pakaiannya sendiri. Dia meletakkan data-pad-nya, lalu mengabaikannya. Dia tidak pernah menyiapkan materi.

"Selamat siang," gumamnya, suaranya terdengar terlalu pelan di ruangan yang sunyi itu. Dia berdeham. "Hari ini... kita akan membahas Persamaan Rylance-Vektor untuk singularitas terapan."

Dia menoleh ke holo-proyektor raksasa dan mulai menulis dengan stylus cahaya. Persamaan-persamaan kompleks langsung mengalir dari pikirannya ke layar, lebih cepat daripada yang bisa dicatat oleh kebanyakan mahasiswa.

Dia tidak berhenti untuk menjelaskan. Dia tidak berhenti untuk bertanya. Dia hanya... menurunkan.

"Seperti yang Anda lihat," katanya sambil menulis, "teori standar dalam buku teks Anda... di sini..."—dia melingkari sebuah persamaan—"...salah."

Ruangan itu menahan napas secara kolektif.

"Bukan salah secara teknis," lanjut Ethan, "tapi salah secara fundamental. Buku itu menyederhanakan. Itu untuk insinyur. Itu mengabaikan bias kuantum fraktal yang terjadi ketika medan energi melebihi 10 terawatt."

Dia terus menulis, coretannya yang kacau namun elegan memenuhi layar. "Jika Anda menggunakan formula standar itu untuk membangun jembatan, jembatan Anda mungkin akan baik-baik saja. Tapi jika Anda menggunakannya untuk menahan energi bintang... reaktor Anda akan bergetar, menciptakan umpan balik harmonik..."

Dia berhenti, sebuah ingatan pahit tentang kegagalan simulasinya sendiri melintas di benaknya.

"...dan reaktor Anda akan meledak," katanya pelan. "Tepat setelah 34.7 detik."

Selama dua puluh menit, dia berbicara dalam bahasa yang hanya dipahami oleh sedikit orang. Dia tidak mengajar; dia berpikir keras.

Akhirnya, dia meletakkan stylus itu. "Ada pertanyaan?"

Keheningan. Tidak ada yang berani.

Lalu, satu tangan terangkat di barisan depan. Seorang pria muda yang berpakaian rapi, dengan pin Tier-A+ berkilau di kerahnya. Namanya Harris. Dia adalah yang terbaik di angkatannya.

"Ya?" kata Ethan.

"Peneliti Pradana," kata Harris, suaranya percaya diri namun sedikit bergetar. "Harris, Tier-A+. Pertanyaan saya adalah tentang buku teks itu. Jika itu salah, mengapa itu menjadi standar kurikulum yang disetujui Dewan Akademik selama dua puluh tahun?"

Itu adalah pertanyaan yang bagus. Pertanyaan yang logis. Pertanyaan seorang mahasiswa yang sangat cerdas.

Dan jawaban Ethan menghancurkannya.

"Karena itu 'cukup baik'," kata Ethan datar. "Karena Dewan Akademik terdiri dari para insinyur, bukan fisikawan teoretis. Karena lebih mudah mengajar sesuatu yang salah tapi bisa diuji, daripada sesuatu yang benar tapi rumit. Karena sistem lebih menghargai kepatuhan daripada kebenaran."

Wajah Harris memucat. Dia baru saja secara tidak sengaja menantang Dewan.

Ethan tidak menyadari dampaknya. Dia masih fokus pada masalahnya. "Kesalahan buku teks itu," lanjut Ethan, "adalah kesalahan arogansi. Mengasumsikan alam semesta akan mematuhi matematika kita yang rapi. Itu tidak akan. Alam semesta itu kacau. Puitis. Dia tidak akan..."

Dia berhenti, menyadari dia mulai terdengar seperti saat dia berbicara dengan Aurora.

Ruangan itu menatapnya seolah dia baru saja berbicara dalam bahasa alien.

Ethan menatap Harris, yang kini terlihat ngeri. Ethan baru sadar. Dia tidak menjawab pertanyaan itu; dia menyerang seluruh fondasi pendidikan pria itu.

Kecanggungan yang menyakitkan menyelimuti Ethan. Dia baru saja melakukannya lagi. Dia telah membuat mereka merasa kecil. Dia telah membuktikan mengapa dia adalah 280 dan mereka bukan.

"Itu saja," kata Ethan tiba-tiba, mengambil data-pad-nya. "Kuliah selesai."

Dia berbalik dan berjalan keluar panggung, tidak menoleh ke belakang. Saat pintu mendesis tertutup di belakangnya, dia mendengar suara napas kolektif yang tertahan, diikuti oleh ledakan percakapan yang gugup.

Dia bersandar di dinding koridor yang sepi, memejamkan mata sejenak. Dia benci ini. Dia benci bagian ini. Dia benci Kasta IQ dan apa yang dilakukannya pada orang-orang.

Dia menatap jam. 13:05. Dia masih punya waktu hampir empat jam sebelum dia harus kembali ke neraka Julian Frost. Dia tidak akan kembali lebih awal.

Dia berjalan ke pod transportasi. Dia tidak pergi ke Zona-S. Dia tidak pergi ke Zona-B. Dia pulang.

Jika apartemen Nate Reyes adalah kekacauan yang hangat, apartemen Ethan Pradana di Zona-A adalah ketertiban yang dingin.

Itu adalah unit studio standar untuk akademisi junior. Putih. Bersih. Minimalis. Satu kursi, satu meja, satu unit tempat tidur yang terlipat ke dinding. Itu bukan rumah; itu adalah stasiun pengisian daya.

Saat dia masuk, tidak ada yang menyambutnya.

"Aurora," katanya ke udara.

"Saya di sini, Ethan," jawab suara A.I. itu, kini keluar dari speaker dinding apartemennya. "Kuliahmu... berjalan seperti biasa."

"Maksudmu bencana," gumam Ethan. Dia melepas sepatunya dengan rapi dan meletakkannya di rak.

"Analisis respons audiens menunjukkan peningkatan 30% dalam tingkat kortisol di antara mahasiswa setelah kau menyebut buku teks itu 'salah'," kata Aurora.

"Catat itu sebagai hal yang baik."

Ethan berjalan ke dapur kecil dan mengeluarkan sekotak cokelat bubuk. Dia memanaskan air, membuat minumannya dalam cangkir paus kartunnya—satu-satunya benda berwarna-warni di seluruh ruangan.

Dia tidak duduk di kursi yang nyaman. Dia duduk di kursi kerjanya yang keras, menghadap ke meja kecilnya.

Dan di sinilah letak jantung apartemen itu.

Di atas meja, di sebelah data-pad kerjanya yang masih menampilkan kode-kode membosankan dari Frost, ada sebuah bingkai foto digital kecil. Hanya satu.

Itu adalah foto yang dia pulihkan dari kotak kayu yang diberikan Nate padanya tiga tahun lalu. Foto itu rusak dan berbintik, tetapi Aurora telah membersihkannya sebaik mungkin. Seorang wanita muda tersenyum, berdiri di depan sesuatu yang tampak seperti modul penelitian. Rambutnya hitam legam, dan dia memiliki mata yang sama dengan Ethan. Mata yang melihat *melalui* benda-benda.

Ratna Pradana. Ibunya.

Ethan menyesap cokelat panasnya, menatap foto itu. Ini adalah ritualnya.

Dia tidak tahu apa-apa tentang wanita ini. Kotak itu hanya berisi sedikit: foto ini, sebuah catatan singkat tentang pekerjaannya sebagai ilmuwan biofisika, namanya, dan nama depan ayahnya, "Elias". Tidak ada nama keluarga untuk ayahnya. Tidak ada cerita. Hanya fakta-fakta kering.

Nate telah memberinya kotak itu di ulang tahunnya yang ke-17. "Kakek menyuruhku memberikannya padamu saat kau sudah siap," kata Nate saat itu.

Siap. Dia tidak pernah merasa siap. Dia hanya merasa... terhubung.

Dia mengambil nama "Pradana" keesokan harinya. Itu adalah sebuah pelukan. Sebuah identitas di dunia yang tidak memberinya satu pun.

Sekarang, dia menatap foto ibunya.

"Apakah kau juga seperti ini?" bisiknya pada gambar itu. "Brilian, tapi... sendirian? Apakah mereka juga membencimu karena kau melihat apa yang tidak bisa mereka lihat?"

Dia memikirkan proyeknya. Dia memikirkan proyek ibunya: terraforming Mars. Keduanya adalah tugas yang mustahil. Keduanya mencoba meraih bintang. Ibunya pergi ke Mars dan tidak pernah kembali. Dan sekarang, ironisnya, Mars adalah tempat di mana proyeknya sendiri disabotase.

Dia merasakan gelombang keputusasaan yang dingin. Apa gunanya? Dia mengejar bayangan di manuskrip, mencoba membuktikan teori yang mustahil, hanya untuk berakhir seperti ibunya—sebuah catatan kaki yang tragis dalam sejarah?

Dia meletakkan cangkirnya. Rasa cokelatnya terasa seperti abu.

Frost benar. Thorne benar. Dia hanya anak bodoh yang mengejar dongeng.

Dia menutup matanya. *Maya batuk di kegelapan.*

Tidak.

Dia tidak akan berhenti.

Dia berlutut dan menggeser panel lantai di bawah mejanya. Di dalamnya, tersembunyi dari pemindai apartemen standar, ada sebuah kompartemen kecil.

Dia mengeluarkan kotak kayu tua yang asli. Kotak yang diberikan kakeknya.

Dia tidak sering melakukan ini. Rasanya terlalu... sakral. Dia membukanya. Di dalamnya hanya ada beberapa barang. Foto asli (yang dia pindai). Sebuah catatan singkat dari kakeknya ("Ayahmu akan bangga padamu"). Dan satu barang aneh yang dia tidak pernah mengerti: sekuntum bunga kering yang diawetkan dalam resin, dengan label tulisan tangan kecil: `E.L. - MARS SAMPLE - 2050`.

Dia menyentuh resin yang dingin itu. Ayahnya. Elias.

Dia bukan hanya putra Ratna Pradana. Dia juga putra Elias. Seorang ilmuwan dari Inggris yang pergi ke Mars dan mati di sana.

Tekadnya mengeras. Dia tidak akan gagal seperti mereka. Dia tidak akan membiarkan warisan mereka—warisan *dirinya*—berakhir sebagai tragedi.

Dia menutup kotak itu dan menyimpannya kembali. Dia berdiri, kini dengan tujuan yang diperbarui.

Dia kembali ke mejanya. Tapi dia tidak menyentuh data-pad kerja dari Frost.

Dia mengambil data-pad kedua dari kompartemen tersembunyi yang sama. Yang ini berwarna hitam matt, tanpa tanda, dan tidak terhubung ke jaringan. Sebuah perangkat pasar gelap yang didapat Nate untuknya.

Dia menyalakannya. Layar itu bersinar dengan cetak biru Fasilitas Penyimpanan Material Eksotis.

Dia menatap rencana yang telah dia dan Aurora susun. Jadwal patroli. Titik buta kamera. Dan jendela 30 detik yang gila itu.

Rencana itu menatapnya balik.

"Aurora," katanya pelan.

"Saya di sini, Ethan. Probabilitas keberhasilan rencana itu masih 41.7%."

"Itu cukup," kata Ethan. "Besok... aku akan mengambil cuti sakit. Aku tidak peduli apa kata Frost."

"Apa yang akan kau lakukan?"

"Aku akan menemui Nate," kata Ethan. "Kita perlu menyempurnakan bagiannya. Lonjakan daya itu. Tidak boleh ada kesalahan."

Dia menatap foto ibunya lagi. "Tidak ada lagi kegagalan."

Dia mematikan data-pad ilegal itu. Jam di dinding menunjukkan pukul 15:00. Dia masih punya dua jam sebelum jam kerjanya yang memalukan secara resmi berakhir.

Dengan desahan berat, Ethan mengambil data-pad kerjanya. Dia membuka file 10-D dari Dr. Frost dan mulai bekerja.

Dia adalah seorang jenius Tier-S, pemenang Nobel, dan mungkin satu-satunya harapan umat manusia. Dan saat ini, dia sedang memverifikasi *spreadsheet* sambil merencanakan pencurian terbesar dalam sejarah Neo-Babel.

Ini adalah kehidupan gandanya. Dan dia baru saja mulai terbiasa dengannya.

Terpopuler

Comments

Texhnolyze

Texhnolyze

Lanjut dong, ceritanya makin seru!

2025-10-21

1

lihat semua
Episodes
1 Chapter 1: Angka 280
2 Chapter 2: Serbet Bernoda Cokelat
3 Chapter 3: Di Bawah Garis Nol
4 Chapter 4: Sains yang Sesungguhnya
5 Chapter 5: Di Bawah Garis Nol
6 Chapter 6: Jalan Ilegal
7 Chapter 7: Tiga Puluh Detik
8 Chapter 8: Frekuensi yang Hilang
9 Chapter 9: Anomali di Dalam Sampah
10 Chapter 10: S.O.S.
11 Chapter 11: Langkah Sang Senator
12 Chapter 12: Sang Perisai dan Sang Pedang
13 Chapter 13: Orang Hantu
14 Chapter 14: Rumah
15 Chapter 15: Di Bawah Hujan
16 Chapter 16: Pahlawan yang Enggan
17 Chapter 17: Permainan Para Dewa
18 Chapter 18: Gema Stockholm
19 Chapter 19: Di Balik Tirai Emas
20 Chapter 20: Nyanyian Matahari
21 Chapter 21: Permainan Para Dewa
22 Chapter 22: Logistik Sang Iblis
23 Chapter 23: Bisikan dari Pasir Merah
24 Chapter 24: Tanda Tangan Sang Direktur
25 Chapter 25: Gema di Menara Gading
26 Chapter 26: Badai Pertama
27 Chapter 27: Debu Merah di Tangan
28 Chapter 28: Makan Malam yang Dingin
29 Chapter 29: Video Berdarah
30 Chapter 30: Tiket Satu Arah ke Mars
31 Chapter 31: Api di Pasir Merah
32 Chapter 32: Kambing Hitam
33 Chapter 33: Gema Tragedi
34 Chapter 34: Badai Media Mengamuk
35 Chapter 35: Saudara Melawan Saudara
36 Chapter 36: Penangkapan Sang Pahlawan Jatuh
37 Chapter 37: Pengadilan Sandiwara Dimulai
38 Chapter 38: Palu Kelalaian
39 Chapter 39: Dosa Asal Lawrence
40 Chapter 40: Nol Mutlak
41 Chapter 41: Nol Derajat Kelvin
42 Chapter 42: Air & Roti di Kegelapan
43 Chapter 43: Bisikan Sang Arsitek
44 Chapter 44: Mengetuk Pintu Neraka
45 Chapter 45: Catur Dua Jenius
46 Chapter 46: Sangkar Emas Baru
47 Chapter 47: Gema di Dalam Sangkar
48 Chapter 48: Langkah Pertama Cyclone
49 Chapter 49: Cahaya Pertama dari Sampah
50 Chapter 50: Harga Sang Penyihir
51 Chapter 51: Sang Tukang Sihir dari Zona-D
52 Chapter 52: Percakapan di Keheningan
53 Chapter 53: Utang Semakin Dalam
Episodes

Updated 53 Episodes

1
Chapter 1: Angka 280
2
Chapter 2: Serbet Bernoda Cokelat
3
Chapter 3: Di Bawah Garis Nol
4
Chapter 4: Sains yang Sesungguhnya
5
Chapter 5: Di Bawah Garis Nol
6
Chapter 6: Jalan Ilegal
7
Chapter 7: Tiga Puluh Detik
8
Chapter 8: Frekuensi yang Hilang
9
Chapter 9: Anomali di Dalam Sampah
10
Chapter 10: S.O.S.
11
Chapter 11: Langkah Sang Senator
12
Chapter 12: Sang Perisai dan Sang Pedang
13
Chapter 13: Orang Hantu
14
Chapter 14: Rumah
15
Chapter 15: Di Bawah Hujan
16
Chapter 16: Pahlawan yang Enggan
17
Chapter 17: Permainan Para Dewa
18
Chapter 18: Gema Stockholm
19
Chapter 19: Di Balik Tirai Emas
20
Chapter 20: Nyanyian Matahari
21
Chapter 21: Permainan Para Dewa
22
Chapter 22: Logistik Sang Iblis
23
Chapter 23: Bisikan dari Pasir Merah
24
Chapter 24: Tanda Tangan Sang Direktur
25
Chapter 25: Gema di Menara Gading
26
Chapter 26: Badai Pertama
27
Chapter 27: Debu Merah di Tangan
28
Chapter 28: Makan Malam yang Dingin
29
Chapter 29: Video Berdarah
30
Chapter 30: Tiket Satu Arah ke Mars
31
Chapter 31: Api di Pasir Merah
32
Chapter 32: Kambing Hitam
33
Chapter 33: Gema Tragedi
34
Chapter 34: Badai Media Mengamuk
35
Chapter 35: Saudara Melawan Saudara
36
Chapter 36: Penangkapan Sang Pahlawan Jatuh
37
Chapter 37: Pengadilan Sandiwara Dimulai
38
Chapter 38: Palu Kelalaian
39
Chapter 39: Dosa Asal Lawrence
40
Chapter 40: Nol Mutlak
41
Chapter 41: Nol Derajat Kelvin
42
Chapter 42: Air & Roti di Kegelapan
43
Chapter 43: Bisikan Sang Arsitek
44
Chapter 44: Mengetuk Pintu Neraka
45
Chapter 45: Catur Dua Jenius
46
Chapter 46: Sangkar Emas Baru
47
Chapter 47: Gema di Dalam Sangkar
48
Chapter 48: Langkah Pertama Cyclone
49
Chapter 49: Cahaya Pertama dari Sampah
50
Chapter 50: Harga Sang Penyihir
51
Chapter 51: Sang Tukang Sihir dari Zona-D
52
Chapter 52: Percakapan di Keheningan
53
Chapter 53: Utang Semakin Dalam

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!