Ziara duduk di samping diana dengan kepala yang terus tertunduk sepanjang perjalanan. Gadis itu awalnya ingin menolak ikut, apalagi ini pertemuan mereka yang pertama kalinya. Rasanya masih ada rasa ragu dihatinya untuk percaya sepenuhnya pada ucapan diana. Tapi ia tak punya tempat tujuan lain saat ini, terlebih tabungannya hanya tersisa dua ratus ribu saja. Uang segitu mana cukup untuk menyewa kontrakan dan makan sampai akhir bulan ini hingga ia mendapat gaji dari tempat kursus?
Ziara bukan gadis yang bergantung sepenuhnya pada Tantenya, Eva. Disela kegiatannya kuliah, ia juga menjadi guru privat untuk anak sekolah dasar dan tergabung dalal suatu lembaga kursus resmi. Selain itu, ia juga mendapatkan beasiswa penuh dari kampus hingga lulus.
“Maaf ya, zia. Pasti kamu kaget ya sama ucapan Tante tadi?” ucap diana membuka obrolan setelah cukup lama mobil itu hening.
Ziara mengangkat kepalanya, menoleh cepat ke arah dianasss yang tersenyum padanya. “Jujur iya, Tante. Selama ini Tante tika gak pernah cerita apa-apa soal Tante. Apalagi mengenai rencananya yang mau jodohin zia sama anak Tante,” jawabnya.
Diana mengusap bahu ziara lembut. Meski ini pertemuan pertamanya dengan ziara, tapi Ia yakin kalau ziara adalah gadis baik-baik. Lagi pula membiarkan ziara tinggal satu atap dengan laki-laki yang bukan mahramnya pasti akan menimbulkan fitnah.
“Mungkin Tante kamu belum sempat cerita. Tapi dia sudah menitipkan kamu pada Tante sebelumnya kalau saja terjadi hal buruk padanya,” ucap diana mencoba membuat ziara percaya padanya. “Kamu gak usah takut. Percaya sama Tante. Niat Tante baik. Tante Cuma ingin memenuhi amanah yang Tante kamu berikan.”
Ziara kembali menundukkan pandangannya. Ada rasa ragu dihati kecilnya untuk menerima menikah dengan putra diana yang bahkan tak ia kenal. Tapi, ziara juga tak ingin mengabaikan amanah Tantenya yang sudah tak ada.
Tanpa ziara sadari tika terus memperhatikannya. Penampilannya yang menyedihkan membuat tika merasa kasihan, tapi ada rasa kagum di hati tika pada ziara.
Di usianya semuda itu, ziara sudah memantapkan diri untuk memakai cadar.
“Aku yakin pilihanku ini sudah tepat. Aku bisa membantu keponakan tika dari kemalangan. Aku akan bantu dia hidup layak. Selain itu, aku sangat yakin kalau dia akan membawa pengaruh positif untuk albian. Dari pada albian selalu dekat dengan Brigita, akan lebih baik kalau dia menikah dengan gadis baik-baik seperti ziara. Ini juga demi albian, agar dia terhindar dari hukuman penjara,” batin diana.
Di balkon kamarnya, albian tengah duduk berdua dengan Brigita yang datang ke sana dengan membawakan barang yang dipesannya. Albian mengapit sebatang nikotin di tangannya sambil menatap ke pelataran di bawah sana, berjaga-jaga jika saja Mama tiba.
Entah sudah berapa batang yang ia habiskan. Rokok yang awalnya penuh itu kini hanya tersisa empat batang saja.
“Bian, gue capek berdiri terus,” keluh Brigita manja. Dilemparkannya sebatang rokok yang tinggal setengah ke bawah, lalu memilih mengalunhkan lengannya pada leher albian dan menyandarkan kepalanya di dada bidang sang pemuda.
Albian ikut membuang rokoknya yang masih tersisa banyak. Lalu memeluk tubuh Brigita erat.
“Thanks ya. Berkat lo, gue jadi bisa ngudud setelah sekian lama gak dibolehin sama Mama gue karena gue sakit,” ucapnya.
Brigita mendongak, menatap albian yang lebih tinggi darinya dengan senyuman yang mengembang. “Masa Cuma makasih doang sih?! Kasih hadiah gitu,” balas Brigita.
Dahi albian mengerut. “Hadiah? Lo minta hadiah apaan?” tanyanya bingung
Pegangan Brigita pada leher semakin dieratkan. Gadis itu lalu berjinjit mendekatkan wajahnya ke arah albian.
“Gue minta cium sebagai hadiahnya. Bisa kan? Kayaknya gak sulit deh,” jawab Brigita. Wajahnya semakin mendekat sebab tak ada penolakan dari albiian atas permintaannya barusan.
Pandangan albian pun masih tertuju pada wajah Brigita yang semakin mendekat ke arahnya dengan kedua mata yang terpejam.
Perlahan tapi pasti. Brigita terus mendekat dengan dada yang berdebar. Untuk pertama kalinya albian tak langsung menolak permintaannya untuk dicium. Padahal sudah berkali-kali ia mencoba, tapi selalu mendapatkan penolakan. Tinggal satu jengkal, maka kedua bibir itu bersatu.
Hingga suara teriakan dari diana membuat mereka berdua menoleh cepat.
“Albian! Apa-apaan kamu!” teriak Diana penuh amarah.
Albian langsung mendorong tubuh Brigita, lalu berjalan mendekati Mamanya yang berdiri tak jauh dari tempatnya berada.
“Ini gak seperti yang Mama kira. Aku sama Brigita gak ngelakuin apa-apa. Kami Cuma pelukan aja tadi, Ma,” ucap albian yang nampak panik.
“Pelukan kamu bilang? Kalian ngapain peluk-pelukan di balkon kamar kayak gitu? Mama rasa juga tadi itu bukan Cuma sekedar pelukan, tapi kalian juga berciuman kan?” Diana menunjuk Brigita. “Kamu tau kan kalau Mama selalu keberatan tiap kamu dekat sama Brigita? Dia bawa pengaruh buruk buat kamu, bian!”
Kedua tangan Brigita mengepa kuat, bahkan napasnya memburu hebat. Ia menatap tajam diana yang melempar tatapan tak suka ke arahnya.
“Aku salah apa sih, Tante? Perasaan dari dulu Tante gak pernah suka sama aku.
Emangnya salahku apa? Pengaruh buruk apa yang bawa sampe Tante gak ngizinin albian dekat sama aku?” Brigita berjalan mendekat, dadanya naik turun menatap diana.
Memang bukan Cuma sekali diana melontakan ketidaksukaannya pada Brigita. Bahkan sejak mereka baru saja mengenal saat masih duduk di bangku SMA. Penampilan Brigita yang selalu terbuka dengan pakaian yang kurang bahan itu membuat diana menilainya buruk. Ditambah lagi, Brigita selalu menyentuh intens albian tak peduli ada diana di sana.
“Apa salahnya sih kalau albian temenan sama aku, Tante? Masa iya Tante juga atur masalah dia mau temenan sama siapa? Jangan over gitu dong jadi orang tua, Tan. Biarin albian milih jalan hidupnya,” sambung Brigita menaikan suaranya hingga setengah berteriak.
Diana menggeleng-gelengkan kepalanya heran. “Kamu liat sendiri kan? Kenapa Mama selalu melarang kamu terlalu dekat sama dia? Bahkan untuk sopan sama orang yang jauh lebih tua aja dia gak bisa.”
Alzian mengusap wajahnya kasar.Netranya menatap tajam Brigita yang berdiri di sampingnya. “Udah dong, Ma. Masa Cuma temenan sama Brigita aja harus dijadiin masalah sih? Lagian kami udah lama temenan.”
Senyuman Brigita mengembang mendengar pembelaan dari albian. Ia menatap angkuh Dianara sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
“Oke. Kalau emang kalian Cuma temenan, Mama gak masalah.” Diana tersenyum miring, lalu menarik lengan albian. “Sekarang kamu ikut Mama turun ke bawah.”
“Kamu juga, Brigita. Ikut Tante ke bawah. Gak pantes kayaknya kalau kamu terlalu lama berada di dalam kamar laki-laki yang bukan mahram kamu,” sambungnya.
Brigita menghentakkan kakinya ke lantai kesal begitu diana melenggang keluar bersama albian. Padahal ia masih betah berada di kamar pemuda itu.
“Sial! Padahal tinggal dikit lagi gue tadi berhasil nyium albian. Ngapain sih tuh nenek lampir pake pulang segala!” gerutu Brigita seraya berjalan mengikuti di belakang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments