Malam itu di dorm Neonix, mereka sibuk merapikan dan membersihkan seluruh ruangan.
“Jangan ada yang berantakan. Jangan sampai ada pakaian dalam kalian tercecer, dan jangan bikin malu,” ujar Adrian tegas.
Rey yang sejak tadi bersandar santai di sofa, hanya tersenyum tipis. Ia memang paling rapi di antara mereka, jadi ia tak merasa perlu repot.
Sementara itu Adrian mulai memindahkan barang-barangnya ke kamar yang akan ditempatinya bersama Rey dan Noel.
“Bisa bantu aku, Rey?” pinta Adrian sambil mengangkat kotak kecil.
Rei mendengus kecil, ia malas beranjak. Walau begitu ia tetap bangun dan membantu Adrian.
“Hah, bapak tua ini, tidak bisa lihat orang santai sebentar,” gumamnya sambil bangkit juga.
Adrian hanya terkekeh, sudah terbiasa dia dengan tingkah Rey yang tsundere itu. Rey melirik Elio, yang duduk selonjoran di lantai dekat pintu kamar sambil melipat baju dengan santai.
“Hei, tikus putih. Minggir sedikit.”
Elio yang dikenal cuek hanya mendecih kesal. "Awas saja kalau kau memanggilku begitu di depan manager baru kita."
Rey yang mendengar itu hanya menjulurkan lidahnya meledek Elio
***
Keesokan paginya, Luna datang ke dorm bersama Marcel. Ia membawa beberapa bungkus sandwich serta kopi americano untuk para member.
Begitu sampai di asrama itu, Marcel menekan belnya. Pintu dibuka oleh Dane, yang masih mengenakan kaus longgar kusut dengan wajah yang seperti baru bangun.
“Kau, pagi-pagi sekali,” gumam Dane sambil mengucek mata. “Masuklah.”
Luna masuk dengan langkah tenang lalu meletakkan kantong berisi sandwich dan kopi di atas meja ruang tengah. Aroma kopi yang hangat langsung tercium.
“Wah, kopi. Terima kasih,” kata Dane yang langsung segar melihatnya.
Luna hanya tersenyum tanpa banyak bicara. Ia berjalan pelan mengamati sudut-sudut dorm yang sederhana itu.
Rey baru keluar dari kamarnya, masih dengan rambut acak-acakan. Ia terkejut melihat Luna berdiri di ruang tengah.
Tatapan mereka bertemu singkat. Rey mengangguk sopan, Luna membalas anggukan itu tanpa kata.
Luna melangkah sampai ke dapur kecil di asrama itu. Ia memeriksa semua peralatan yang ada disana.
Rey masuk kembali ke kamarnya dan menepuk pelan lengan Adrian yang masih terlelap.
"Kak, bangun. Si penyihir itu sudah datang,” katanya pelan.
Adrian menggosok matanya, duduk sebentar.
"Penyihir?" Adrian tampak berfikir dengan nyawanya yang masih belum terkumpul itu. "Maksudmu Luna?".
Rey hanya mengangguk. Adrian lalu beranjak cepat ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Dane yang sedang meminum americanonya mencari Luna dan menemukannya di dapur.
Saat itu Adrian juga muncul sambil berdehem. Luna yang sedang memegang pisau kecil sedikit terkejut dan menoleh cepat.
“Hai, selamat pagi,” sapa Luna ramah.
“Pagi,” balas Adrian singkat.
Luna meletakkan pisau itu lalu tersenyum kecil.
“Aku bawakan sandwich dan kopi untuk kalian.”
“Wah, terima kasih,” ujar Adrian sambil menatap meja yang penuh kantong kertas.
Adrian menyadari tatapan Luna yang menelusuri setiap sudut dorm itu. “Yah, beginilah kondisinya,” katanya terkekeh dengan sedikit canggung.
Luna hanya mengangguk. Adrian kemudian menunjukkan kamar yang sudah dipersiapkan untuk Luna.
“Ini kamarmu. Maaf, kamarnya kecil,” ucapnya.
Luna mengangguk, memandang ruangan sederhana itu sebentar lalu berkata, "Kok sepi? baru tiga orang yang bangun?”
“Mereka memang begini,” jawab Adrian sambil mengangkat bahu. “Susah dibangunkan.”
Samar-samar terdengar suara Marcel mengetuk-mengetuk pintu kamar sedang berusaha membangunkan para member lain.
Tiba-tiba Elio keluar dari kamarnya dengan langkah sempoyongan, ia hendak ke kamar mandi dengan masih setengah sadar. Saat Luna keluar dari kamarnya, mereka tak sengaja bertabrakan di depan pintu.
Luna sedikit oleng, namun Elio sigap menahan bahunya agar tidak jatuh. Posisi mereka hampir saling rebah, jarak wajah mereka begitu dekat. Untuk beberapa detik, mata mereka saling terpaku.
"Dia mengemaskan sekali dengan muka bantalnya." batin Luna dalam hati.
Namun Luna cepat-cepat sadar, menepis pelan tangan Elio. Elio pun langsung melepaskan tangannya. “Uhm, maaf,” ucap Elio gugup sambil menggaruk lehernya yang tak gatal.
Luna mengangguk singkat dengan wajah canggung, lalu segera berbalik dan melangkah pergi.
Elio menoleh, menatap punggung Luna yang menjauh dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
Luna menelan ludahnya pelan. Nyatanya, mereka berdua sama-sama menahan degup jantung yang tiba-tiba berdebar lebih cepat.
'Ya ampun, bagaimana ini? Kalau aku sering-sering bertemu dengannya, itu tidak baik untuk jantungku.' Gumam Luna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments