Chapter 2

Ketika cahaya jingga keemasan perlahan turun dari langit barat, ia menelusup di antara sela bambu dan menyentuh batu-batu lembah yang berlumut. Angin sore membawa aroma tanah dan keringat muda. Di tengah lapangan batu yang memantulkan cahaya redup, tiga pemuda berputar dalam lingkaran gerak tongkat kayu menebas udara, tawa memecah ketegangan.

Debu berputar setiap kali tongkat menghantam tanah. Tawa muda sesekali pecah, membelah udara sore. Namun di antara riuh itu, satu sosok tampak berbeda. Pemuda itu bergerak tanpa suara, tubuhnya mengikuti arus angin. Setiap ayunan tangannya membuat udara di sekitarnya bergetar halus. Pada lengan kanannya, garis keemasan berpendar singkat, lalu lenyap seperti kilasan cahaya di ekor naga. Itu adalah Tian Long, yang berlatih bersama kedua sahabatnya.

Meskipun hidup di desa yang terisolasi, mereka tetap menjalani hari seperti pemuda biasa; bercanda, bertarung, dan bermimpi.

“Wah, kau terlalu serius lagi!” teriak salah satu pemuda, menepuk pundaknya.

“Kau latihan seperti mau berperang dengan dewa.” ucap pemuda lain menimpali

Tian Long hanya tersenyum tipis. “Mungkin suatu hari, aku memang harus berperang dengan mereka.” ucap Tian Long dengan percaya diri, namun sedikit terkekeh.

Kedua pemuda itu tertawa, menganggapnya bercanda. Tapi di mata Tian Long, ada bayangan halus kerinduan yang tak bisa dijelaskan, seolah sesuatu memanggilnya dari kejauhan.

...........                  ...........                    ..........                    ..........                     ..........

Angin malam merayap pelan melalui celah-celah dinding bambu, membawa hawa lembap dari hutan dan sisa aroma tanah basah setelah senja. Di dalam ruangan kecil yang diterangi lampu minyak, asap tipis dari teko tua melingkar pelan di udara, menyatu dengan harum getir daun teh yang diseduh terlalu lama.

Suara serangga dari luar berdenting bersahut sahutan lirih, namun cukup untuk mengisi jeda di antara helaan napas lima sosok yang duduk melingkar di sekitar meja kayu tua. Permukaan meja itu dingin dan sedikit lengket oleh embun malam.

Bai Feng mengangkat cangkirnya, merasakan panas yang merembes ke kulit jarinya. Saat teh menyentuh lidahnya, rasa pahitnya menyalakan kembali ingatan lama sepahit beban yang tak diucapkan. Bara api di tungku memercik sekali, menerangi wajah-wajah yang tertunduk dalam bayangan, menyingkap sekejap garis garis lelah di mata mereka sebelum gelap menelan kembali semuanya.

Bai Feng meletakkan cangkirnya. “Qi di tubuh bocah itu semakin kuat. Bahkan sebelum mencapai usia dua puluh, dia sudah menembus tahap Spirit Connection. Kalau begini terus, segel naga di tubuhnya akan pecah.”

Shui Lan menatap nyala api di tungku. “Tapi jika kita menahannya terlalu lama, ia bisa mati karena tekanan energi.”

Xuan Yuan mengangguk setuju. “Kita tak bisa terus menyembunyikannya, Saudara Wei. Cepat atau lambat, dunia luar akan mencium keberadaan naga baru.”

Long Wei terdiam cukup lama sebelum menjawab. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu bahaya yang menunggu di luar. Sekte-sekte besar, para pemburu artefak, bahkan roh-roh iblis akan datang jika mendengar kabar ini.”

“Jadi apa rencanamu?” tanya Tian Yu, suaranya dalam dan dingin.

“Untuk saat ini,” jawab Long Wei pelan, “kita biarkan seperti biasa. Kita hanya perlu melatih tubuh dan hatinya. Jika waktunya tiba, dia sendiri yang akan memutuskan jalan apa yang ingin dia tempuh.”

Mereka tidak lagi berbicara, hanya saling bertukar pandang dalam diam yang berat. Anggukan mereka lebih mirip sumpah yang tak diucapkan. Dari luar, angin lembah menyusup melalui sela dinding bambu, dingin dan membawa aroma daun basah.

Di antara desirnya, terdengar nada seruling melayang jauh lirih, panjang, dan sendu. Nada itu menembus malam seperti doa purba yang merambat di udara, mengguncang hati mereka dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan… seolah langit tengah memanggil sesuatu yang tertidur di bawahnya.

...........                            ...........                              ..........                              ..........                               ..........

Malam merayap semakin dalam. Tian Long belum juga memejamkan mata. Ia duduk di tepi jendela, sementara cahaya bulan menetes lembut di wajahnya. Embun menempel di daun bambu di luar sana, memantulkan kilau perak yang bergetar setiap kali angin berhembus.

Ia merasakan hawa dingin menelusup ke kulit, lalu menatap lengan kanannya. Di sana, pola teratai perlahan menyala, samar seperti napas terakhir lilin yang hampir padam. Ia mengangkat tangannya sedikit ujung jarinya bergetar ketika menyentuh kilau itu, seolah sedang menyentuh sesuatu yang hidup.

Di kejauhan, seruling masih terdengar, makin jauh, makin hening dan di antara gema itu, Tian Long merasa seolah seluruh langit tengah bernafas bersamanya.

“Ini sebenarnya apa…? Aku sebenarnya siapa...?” bisiknya pada diri sendiri.

Tiba-tiba angin berembus dingin. Dari arah gunung, terdengar gema rendah seperti auman yang sangat jauh. Suara itu hanya terdengar sekali, namun cukup untuk membuat hatinya bergetar.

Ia menatap ke arah gunung dengan pandangan kosong. Entah mengapa, dalam detik itu, ia merasa ada sesuatu yang menatap balik dari kegelapan sana sesuatu yang kuno, agung, dan penuh kerinduan.

Pagi berikutnya, Tian Long terbangun lebih awal. Kabut belum sepenuhnya terangkat, tapi suara air dari sungai kecil di belakang rumah mengalun pelan. Ia memutuskan untuk berlatih sendiri.

Langkah-langkahnya ringan di tanah basah. Ia berhenti di tepi sungai dan mengatur napas, seperti yang diajarkan pamannya. Udara dingin masuk ke dadanya, dan Qi di tubuhnya mulai bergerak. Perlahan, ia mengangkat tangannya dan mencoba memusatkan energi di ujung jari.

Kilatan cahaya emas muncul kecil, tapi cukup untuk memantulkan wajahnya di permukaan air. Untuk sesaat, ia melihat bukan dirinya, tapi bayangan seekor naga berwarna emas yang berputar di balik refleksi itu.

Ia terkejut, kehilangan konsentrasi. Kilatan itu lenyap bersama suara riak air.

“Jadi benar… ada sesuatu di dalam diriku,” gumamnya lirih. “Tapi siapa kau sebenarnya?”

Suara lembut tiba-tiba terdengar di belakangnya. “Kalau kau terus menatap air, jawabannya tidak akan datang.”

Tian Long menoleh. Long Wei berdiri beberapa langkah darinya, membawa tongkat bambu di tangan. Wajahnya tenang, tapi matanya tajam.

“Qi tidak akan menjawab rasa penasaran, Tian Long,” lanjutnya. “Ia hanya menjawab niat. Jika kau berlatih hanya untuk tahu siapa dirimu, kau akan tersesat. Tapi jika kau berlatih untuk melindungi apa yang penting, barulah kekuatan sejati akan muncul.”

Tian Long menunduk hormat. “Aku mengerti, Paman.”

“Bagus.” Long Wei menatap langit yang mulai cerah. “Hari ini, kita akan melatih jurus baru. Jurus ini hanya digunakan ketika nyawa menjadi taruhan.”

“Namanya apa?” tanya Tian Long, matanya berbinar.

Long Wei tersenyum samar. “Auman Naga Langit. Jurus yang dulu digunakan Kaisar Naga untuk memanggil kekuatan langit.”

Matahari mulai naik. Cahaya pagi menembus kabut lembah, memantulkan warna emas di air sungai. Tian Long berdiri tegak, memegang tombaknya, menatap ke arah pegunungan tempat suara naga tadi malam bergema.

Untuk pertama kalinya, di dalam dadanya muncul perasaan yang tak bisa dijelaskan seperti panggilan jauh yang menunggu untuk dijawab.

Dan dalam diam, teratai di lengannya berdenyut sekali, seolah ikut menyambut awal perjalanan panjang yang belum ia mengerti.

Terpopuler

Comments

Nanik S

Nanik S

Aku sebenarnya siapa... kasihan

2025-11-06

0

Didi h Suawa

Didi h Suawa

💪💪💪💪

2025-11-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!