Sebenarnya Siapa Dirimu Guru?

Boqin Changing menuangkan kembali sup ke dalam mangkuknya. Api unggun memantulkan cahaya oranye di wajahnya yang tenang namun sulit ditebak. Sejenak, hanya suara sendok beradu pelan dengan mangkuk yang terdengar. Gao Rui masih memandangnya dengan penuh kekaguman bercampur penasaran.

Ia akhirnya memberanikan diri bertanya pelan.

“Guru… sebenarnya… siapa kau?”

Pertanyaan itu jatuh seperti batu ke tengah kolam yang tenang. Meski terdengar sederhana, maknanya dalam. Sejak kemarin, Gao Rui berusaha menahan diri. Ia tidak ingin terlihat lancang. Namun semakin lama ia bersama sosok ini, semakin jelas bahwa dirinya tidak sedang berhadapan dengan pendekar biasa. Bahkan menyebutnya pendekar tingkat tinggi terasa terlalu remeh.

Boqin Changing tidak langsung menjawab. Ia meniup supnya sedikit, menyeruputnya pelan, lalu baru berkata tanpa menoleh.

“Namaku… tidak terkenal di Kekaisaran Zhou.”

Gao Rui tertegun mencoba menangkap makna dari kalimat-kalimat yang diucapkan gurunya itu.

“Tapi,” lanjut Boqin Changing, kali ini menatap muridnya, “di kekaisaran sebelah, Kekaisaran Qin, namaku sedikit lebih dikenal.”

“S-Sedikit… lebih dikenal?” ulang Gao Rui pelan, skeptis. “Guru… kalau boleh jujur, aku tidak percaya seseorang yang bisa terbang, membuat formasi pertahanan, membuat beruang kabur hanya dengan tatapan mata, dan bahkan… memasak… hanya sedikit dikenal.”

Boqin Changing menatapnya beberapa detik. Tiba-tiba sudut bibirnya terangkat, bukan senyum hangat, tapi senyum tipis yang sombong namun tenang.

“Baiklah. Lebih dari sedikit, mungkin.”

“Guru…,” Gao Rui menelan ludah, “sebenarnya… kau siapa?”

Cahaya api memantulkan sorot mata Boqin Changing yang dalam. Saat ia berbicara lagi, suaranya tetap tenang, tapi entah kenapa gua itu mendadak terasa jauh lebih dingin.

“Namaku Boqin Changing. Di Kekaisaran Qin, dalam beberapa tahun terakhir, orang-orang menyebutku dengan berbagai nama.”

Ia menatap ke luar gua. Angin malam meniup ranting dan daun, menciptakan suara lirih.

“Sebagian menyebutku Anak Iblis. Sebagian lagi memanggilku Pahlawan Kekaisaran Qin.” Ia berhenti sebentar. “Tapi ada satu julukan yang paling sering didengar.”

Gao Rui menahan napas.

“Dewa Kematian.”

Suasana mendadak berat. Kata-kata itu menggantung di udara, seolah membawa aroma darah dan medan perang.

“Namaku dikenal karena satu alasan.” lanjut Boqin Changing tanpa emosi. “Karena aku tidak pernah membiarkan musuh-musuhku hidup. Aku bahkan tidak peduli mereka berasal dari kelompok besar aliran hitam manapun. Aku tetap akan melawannya.”

Gao Rui gemetar. "Kau… sendirian?”

“Ya.”

Melawan para pendekar aliran hitam?”

“Ya.”

“Dan kau menang?”

Boqin Changing mengangkat mangkuk dan kembali menyeruput supnya.

“Aku masih hidup. Itu sudah cukup sebagai jawaban.”

Gao Rui ambruk duduk, tidak sanggup berkata-kata. Ia tidak pernah menyangka, pria yang mengangkat dirinya sebagai murid mempunyai latar belakang semengerikan itu.

“Ngo… ngomong-ngomong Guru,” suaranya terdengar seperti orang yang baru melihat iblis, “murid-murid lain bilang pendekar terkuat di dunia adalah mereka yang mencapai tingkat pendekar suci. Itu benar, kan?”

Boqin Changing menatapnya, lalu menjawab santai.

“Pendekar suci?”

Ia terkekeh pelan.

“Orang-orang terlalu suka memberi batasan pada sesuatu yang tidak mereka mengerti.”

Gao Rui menelan ludah. "Maksudmu…?”

“Aku sudah melampaui mereka.”

Suasana gua langsung seolah membeku.

“Ke- kekuatanmu… melebihi pendekar suci…?”

“Ya.” Boqin Changing hanya mengangguk tipis, seolah itu bukan masalah besar. “Dan kalau yang ingin kau tanyakan selanjutnya adalah apakah aku benar-benar mampu menghapus ratusan ribu orang sendirian?”

Ia meletakkan mangkuknya.

“Maka jawabannya adalah iya.”

Gao Rui menunduk, tangan kecilnya menggenggam. Di bawah cahaya api, bayangan wajahnya memanjang.

Suaranya bergetar saat ia menjawab.

“Tapi… Guru, bukankah sebagai pendekar aliran putih kita harus welas asih? Memberi kesempatan pada setiap orang yang mau bertobat? Bukankah itu yang diajarkan para tetua....”

Boqin Changing tertawa, tawa pendek yang lebih mirip bisik dingin daripada tawa hangat. Ia menutup mangkuknya, menatap ke arah mulut gua seperti menimbang sesuatu yang terjadi jauh di luar cakrawala pikirannya.

“Bocah,” katanya pelan, “kebaikan itu indah dalam cerita. Di dunia nyata, kebaikan sering jadi pintu masuk bencana.”

Gao Rui menatap dengan mata melebar.

“Tapi… bagaimana kita bisa menentukan siapa yang ‘pantas’ dibunuh? Bukankah itu pembenaran yang berbahaya?”

Boqin Changing mengangkat bahu, seolah pertanyaan itu sudah pernah ia dengar sejuta kali dan selalu sama jawaban yang tidak memuaskan telinga yang muda.

“Ada orang yang terus-menerus memilih kegelapan. Mereka membunuh demi kesenangan, mereka mengorbankan anak-anak demi ritual mereka, mereka memicu perang demi ambisi. Ada pula yang tersesat karena ketakutan dan bisa kembali ke jalan terang.”

Ia menghitung dengan jari, bukan untuk matematika, tapi untuk ingatan-ingatan yang menempel di kepalanya.

“Aku sudah berada di fase dimana aku sudah bisa menilai karakter seseorang. Jika seorang pendekar hitam menyesal dan menaruh nyawanya demi menebus dosa, aku akan memberinya kesempatan. Namun jika penyesalan itu hanya kata-kata kosong, sementara tangannya masih berlumuran darah kemarin dan hari itu, maka memberinya kesempatan sama dengan menabur bunga di kuburan orang lain.”

Gao Rui menggigit bibir.

“Tapi, apa kita berhak jadi hakim untuk nyawa-nyawa itu Guru?”

“Tentu,” jawab Boqin Changing singkat. “Itu hak kita yang tak lagi bisa ditunda. Aku memang bukan hakim atas setiap jiwa. Aku hanya membuat pilihan di titik di mana pilihan harus dibuat ketika ratusan nyawa lain akan tewas jika aku menunda kematian mereka.” Matanya menyipit, menatap api yang kini menari lebih liar oleh angin malam. “Bayangkan jika kita mengampuni seseorang, namun selanjutnya ia tetap melakukan kejahatan.”

Gao Rui menunduk, berusaha meramu teori dan rasa di dadanya.

“Tapi guru, bukankah ada jalan lain? Menahan mereka, menangkap, lalu menyerahkan ke prajurit istana?”

Boqin Changing menutup mulut, lalu menyeringai tipis, bukan senyum yang ramah.

“Kau masih melihat dunia lewat mata yang belum ternoda, Bocah." Ia menepuk pundak Gao Rui, gerakan cepat namun lembut. “Suatu saat kau akan memahami apa yang aku katakan.”

Suara malam kembali masuk, gemerisik daun, suara serangga, jauh di sana juga terdengar suara hewan malam. Gao Rui menelan ludah.

“Apakah tindakanmu tidak membuatmu sepi, Guru? Jika kau membasmi banyak orang, apakah mereka tidak membencimu? Tidak takutkan kau sendiri kehilangan sisi kemanusiaan?”

Boqin Changing menatap anak itu. Ia tersenyum tipis.

“Kesepian adalah harga yang harus kubayar.” katanya. “Jika memilih antara puluhan nyawa anak desa terselamatkan atau reputasiku, aku memilih nyawa. Jika memilih antara masa depan anak-anak atau kehormatan para tetua kota yang korup, aku memilih anak itu. Aku tidak mengaku suci, Gao Rui. Aku hanya mengatakan mana yang kupilih saat situasi memaksa.”

Gao Rui menutup mata sesaat, kemudian membuka kembali. Ada sesuatu yang berubah, bukan lagi kekaguman polos, tapi beratnya tanggung jawab yang mulai menyelinap.

“Jadi kau ingin mengajarkanku untuk memilih Guru?”

“Bukan. Aku akan mengajarmu bagaimana melihat.” jawab Boqin Changing. “Dan jika suatu hari kau harus mengambil nyawa untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa lainnya, aku akan memastikan tanganmu tidak gemetar. Bukan karena kau menikmati darah, tapi karena kau tahu alasanmu lebih besar dari rasa takut.”

Gao Rui mengangguk perlahan.

“Aku takut, Guru.”

Boqin Changing tersenyum tipis, kali ini tanpa kesombongan.

“Itu wajar. Ketakutan itu pelita yang bisa kau terangi dengan latihan dan pengetahuan. Siapa yang tak takut, biasanya bodoh atau gila. Kau akan belajar untuk takut dengan tepat, bukan takut yang membuatmu lemah.”

Di dalam gua, Gao Rui sudah tak lagi memandang dunia dengan mata yang sama. Ia masih takut, tetapi ada benih ketegasan di sana. Benih yang Boqin Changing tanam dengan caranya yang dingin dan kejam bagi yang pantas merasakannya.

“Oh iya, ini pil penyembuh untukmu. Telanlah sebelum tidur.” ujar Boqin Changing sambil memberikan pil kepada muridnya itu.

“Baik Guru.”

“Aku tidak ingin kau berjaga.” kata Boqin Changing dalam bisik yang hampir larut bersama desir angin. “Tidurlah. Besok kita mulai pagi-pagi sekali.”

Gao Rui mengangguk sedikit, matanya sudah setengah tertutup. Ia menggeliat, menata kasurnya seadanya, lalu akhirnya hanyut ke dalam tidur yang nyenyak. Wajah bocah itu polos namun entah mengapa ia sangat menantikan latihan yang akan diberikan gurunya esok hari.

Setelah memastikan muridnya tertidur, Boqin Changing meletakkan mangkuk kembali ke sisi sebelahnya. Ia kemudian berdiri. Api unggun memantulkan bayangan panjang tubuhnya ke dinding batu gua. Sorot matanya tetap waspada, namun ada sesuatu di balik kewaspadaan itu, kelembutan yang tak ingin ia akui.

Tangannya tersembunyi di balik jubahnya. Ia kemudian merogoh dan mengeluarkan sebuah patung kecil dari sakunya. Tampak di tangannya sekarang sebuah patung pagoda dari batu kusam. Lekukan-lekukan halusnya dipenuhi noda usia. Bentuknya mungil, cukup untuk digenggam, namun setiap sudutnya membawa rasa berat yang tidak wajar. Seolah tiap lapis atapnya menyimpan ratusan tahun rahasia.

Patung pagoda itu tampak kuno, retakan halus seperti peta garis hidup. Boqin Changing menyebut patung pagoda ini dengan nama Pagoda Serpihan Surga.

Terpopuler

Comments

Mulan

Mulan

wkwkwkw guo rui cerewt jg ya ternyata. tapi ga papa asik sih liatnya interaksi mereka..👍

2025-10-19

8

Nanik S

Nanik S

Cang"er.... punya murid agak Cerewet 👍👍👍🤣🤣

2025-10-19

5

Nanik S

Nanik S

Lanjutkan Tor... latihan apa yang akan diberikan

2025-10-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!