Suara derap kuda rombongan Zevh belum berhenti sejak beberapa jam terakhir. Embun dini hari menempel di ujung dedaunan hutan, dan di kejauhan samar cahaya fajar mulai menyingkap gelap.
“Tuan,” salah satu ajudan menunduk hormat, “ada yang datang. Saya akan memeriksa.”
Ia memacu kudanya, lalu berhenti di depan sosok berjubah cokelat. “Tenanglah, ini kami,” ucap pria itu.
Zevh menatap datar. “Ternyata kalian, Veron. Zark.”
Dua bangsawan muda turun dari kuda. Wajah mereka sama-sama serius. Pemilik wilayah Selatan dan Wilayah Barat.
“Ada apa kalian kemari?” tanya Zevh.
“Kami mendengar kabar tentang desa Osca,” ucapan Zark terhenti ketika Zevh menatapnya dingin.
“Kembalilah. Aku masih bisa menanganinya,” potong Zevh.
“Tidak.” Veron maju setapak, suaranya rendah tapi tegas. “Kami membawa kabar buruk.”
Para ajudan spontan menoleh, menunggu.
“Arons telah masuk ke jalur politik dan perdagangan di Osca,” lanjut Veron.
“Aku sudah tahu.” Zevh menjawab tanpa ekspresi.
“Sial,” Zark mengumpat. “Kalau begitu, ayo kita bahas rencana selanjutnya. Kami sudah menaruh beberapa pasukan di Osca. Jadi kau tak perlu kembali ke sana.”
“Benar,” timpal Veron. “Ada yang lebih penting sekarang. Kita butuh strategi menyeluruh.”
Zevh mengangguk tipis. Kudanya berbalik mengikuti langkah Veron dan Zark. Para ajudan memilih tetap berjaga, memastikan Osca aman.
Saat bayangan kuda mereka mulai samar di bawah pepohonan, Elara tersandung di antara akar-akar pohon besar. Nafasnya memburu, tubuhnya lelah. Ia sudah berjalan berjam-jam, menahan lapar dan kantuk. Hingga papan kayu di jalan tanah menampakkan tulisan. Desa Asten.
“Perbatasan… akhirnya,” gumamnya.
Namun perutnya melilit. Aroma roti panggang dari kios-kios kecil menusuk inderanya, membuatnya nyaris gila. Tangannya meraba saku jubahnya. Kosong. Kepingan koin, roti kering, emas, dalam kantung kain kecilnya miliknya hilang.
“Astaga… Zevh Obscura!” Elara memaki keras. “Kau benar-benar perampok berjubah hitam! Kau bahkan merampas milikku!”
Kelaparan menindih harga dirinya. Ia mencoba menawarkan diri untuk bekerja, tapi ditolak pedagang demi pedagang. Dan akhirnya, didorong rasa lapar, ia nekat meraih sepotong roti hangat dari lapak seorang perempuan tua.
“Pencuri! Tolong tangkap dia!” teriak si pedagang.
Elara berlari panik di antara kios, roti hangat dalam genggamannya, sementara perempuan tua itu mengejarnya dengan sumpah serapah. Orang-orang berteriak, menuding, sebagian ikut mengejar. Kekacauan pun tercipta.
Di dalam sebuah kedai, Veron tengah menunduk menandai peta dengan arang. Zark memperhatikan, namun telinganya menangkap keributan dari arah pasar.
“Keramaian apa itu?” gumam Veron.
“Biar aku saja,” ucap Zevh. Ia berdiri, menyampirkan jubahnya, lalu melangkah ke arah sumber kegaduhan.
Di ujung jalan, sorot matanya menangkap sosok yang berlari kocar-kacir. Gadis berambut kuning keemasan, wajahnya tersembunyi oleh tudung jubah kepalanya dan juga rambut yang berantakan.
Elara.
Zevh mengerutkan kening. Bahkan dari jauh, auranya sudah mengganggunya. Mata Zevh berkilat merah merasakan kehadiran Elara semakin mendekat.
Dan...
Brakk!
Tubuh Elara menghantam dadanya. Ia terhuyung, roti terlepas dari genggamannya, tubuhnya jatuh ke tanah berdebu. Lagi dan lagi, ia jatuh tepat di hadapan pria yang paling ia benci.
“Dasar gadis pencuri!” si pedagang tua meraung. “Tak tahu malu mencuri dari orang tua sepertiku!”
Warga mulai berkerumun. Bisikan-bisikan menusuk telinga Elara.
“Aku tidak mencuri!” Elara berseru dengan suara serak. “Aku hanya ingin barter! Tapi dia menolak! anting-anting kecil yang aku pakai ini asli!”
“Itu trik penipu, dan lihatlah sekarang. Masih bisa bicara di hadapan Panglima?” cibir si pedagang tua.
Elara membeku. Panglima? Suara itu bergema di telinganya. Ia menoleh dan mendapati tatapan dingin Zevh tepat di depannya.
Amarahnya meledak. Pria ini lagi!
Namun sebelum sempat ia meluapkan makiannya, sepotong roti hangat menjejali mulutnya. Zevh mendorongnya masuk dengan satu gerakan cepat, matanya menusuk bagai pedang.
“Dasar pembuat onar,” gumam Zevh rendah. “Bandit kecil.”
Ia menyodorkan beberapa koin pada pedagang tua. Perempuan itu langsung bersyukur, membungkuk dalam-dalam. “Terima kasih, Panglima!”
Warga pun tenang, lega kekacauan selesai.
Sementara Elara masih terdiam, terkejut. Roti itu kini memenuhi mulutnya, dan ia menahannya agar air mata tak jatuh, air mata amarah sekaligus lapar.
Zevh meraih lengan Elara, menyeretnya ke sebuah kedai kosong. “Aku butuh tempat ini,” ujarnya singkat pada pemilik kedai.
“Baik, Tuan!” pemilik buru-buru keluar, membiarkan mereka berdua. Bisikan warga terdengar samar dari luar. “Wanita itu pasti dihukum.”
“Dasar pria kejam!” teriak Elara begitu pintu menutup. “Kau sudah mencoreng harga diriku! Kau merampas masa depanku!”
Zevh hanya berdiri, tubuhnya tegak, tatapannya dingin. Kedua tangannya terlipat di belakang pinggulnya.
“Kau buang aku semalam, kau hilangkan kantung kain milikku, dan sekarang kau menuduhku pencuri di depan orang banyak!” Elara menghantam dadanya dengan kepalan kecil, penuh amarah. “Kau pencuri yang sebenarnya, Zevh Obscura!”
Zevh tidak bergeming. Sorotnya hanya semakin menusuk. “Kau keras kepala. Gadis kasar. Bandit kecil yang membuat kekacauan di wilayahku. Tapi entah kenapa… ada sisi lain darimu. Dan itu membuatku benci sekaligus… penasaran.”
Aura Zevh menguar, membuat Elara mundur beberapa langkah. Saat Zevh menyentuh kain gaun Elara di bagian ujung bahunya.
Namun ketegangan itu dipatahkan oleh keberanian nekat Elara.
Plak!
Telapak tangannya mendorong kasar bahu Zevh.
Keheningan jatuh di antara mereka. Elara menatapnya dengan mata membara, lalu berbalik, melangkah keluar dari kedai dengan kepala terangkat.
Zevh berdiri kaku sejenak, lalu menghela napas berat. “Dasar… bandit.”
Dari balik jubahnya, ia mengeluarkan sebuah kantung kain kecil. Kantung koin Elara. Semalam ia berniat mengembalikannya, namun kesalahpahaman gadis itu, ditambah makian-makiannya, membuatnya menahan diri.
“Tuan, apa Anda masih di dalam?” suara ajudan memecah keheningan.
Zevh melangkah keluar.
“Tuan, pagi ini desa Osca sudah bangkit kembali. Pasukan Pangeran Zark dan Veron membantu membereskan kekacauan orang-orang Arons.”
Zevh mengangguk. Ia memberikan beberapa koin pada pemilik kedai sebagai ganti sewa. Pemilik kedai hendak menolak tapi lirikan ajudannya membuatnya menerima rezeki yang tak terduga pagi ini dengan kehadiran panglima di kedai miliknya.
“Tuan, apa perlu kami tangkap gadis itu kembali?” tanya ajudannya ragu.
Zevh berhenti, menoleh dengan sorot tajam. “Tidak perlu. Tapi jika dia membuat onar lagi…” bibirnya melengkung tipis, dingin. “…dia akan benar-benar jadi tawananku.”
“Baik, Tuan.” Ajudan menunduk.
Zevh kembali ke Veron dan Zark, langkahnya mantap. Pagi itu, strategi politik dan perdagangan untuk melawan kerakusan Arons pun dimulai.
Sementara jauh di luar kedai, Elara masih berjalan di jalanan desa Asten, menggenggam roti hangat yang tersisa.
Air matanya menetes perlahan, bukan karena kelemahan, tapi karena kebencian yang semakin mengakar.
Dan zevh tengah duduk bersandar pada kursinya di kedai sederhana Desa Asten, matanya tak pernah lepas dari peta dan garis-garis yang tergambar di atas meja.
Di hadapannya, Zark tengah berbicara dengan nada datar namun penuh perhitungan. Setiap kali Zark mengutarakan pandangan, selalu sejalan dengan strategi yang telah ada di benak Zevh. Begitulah sahabat lamanya itu, tenang, logis, dan nyaris tak pernah meleset membaca situasi.
Selalu selaras.
Itulah sebabnya Zevh mempercayai Zark lebih dari siapapun.
Sementara di sisi lain, Veron tampak sibuk menggeser beberapa pion kayu di peta, suaranya penuh semangat, sesekali disertai senyum menggoda. Ia bukan hanya pintar dalam melancarkan strategi yang telah disusun Zevh dan Zark, tetapi juga pandai menggerakkan orang-orang dengan lidah manisnya. Namun, di balik kecerdikannya, Veron selalu menyelipkan candaan, terutama soal wanita.
“Ah, lihat kalian berdua, terlalu serius,” ucap Veron sambil terkekeh. “Kalian tahu? Hidup bukan hanya tentang perang dan politik. Tiga istriku di rumah selalu membuktikan bahwa pernikahan adalah surga dunia yang wajib dinikmati.”
Zevh hanya mendengus. Ia menatap Veron dengan tatapan tajam yang seakan berkata. Ini bukan waktunya. Namun dalam hati, ia tahu, tanpa Veron, meja ini hanya akan dipenuhi rencana dingin tanpa warna.
Tiga pria dengan kepribadian berbeda duduk di satu meja. Zark dengan keseimbangan strategi, Veron dengan keluwesan dan godaannya, dan Zevh dengan tekad kerasnya dan si pemilik mata Elysight.
Meski berbeda, mereka diikat oleh satu tujuan yang tak pernah goyah, menjaga kesejahteraan kerajaan mereka masing-masing, melindungi tanah, dan rakyat dari cengkeraman Arons.
Zevh menatap kedua sahabatnya dengan tatapan dalam, lalu kembali menekankan jarinya pada peta.
“Untuk desa Osca… kita tidak boleh salah langkah.”
Di dalam hati, Zevh tahu, selama mereka bertiga tetap bersama, tidak ada badai politik atau amarah musuh yang akan mampu meruntuhkan benteng mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments