Pertanyaan Aldo menggantung di udara, begitu pelan namun terasa menusuk tajam ke dalam gendang telingaku. Keheningan yang tercipta setelahnya terasa begitu pekat, seolah menyerap seluruh oksigen dari kamar mewah ini. Aku bisa melihat kekecewaan yang coba ia sembunyikan di balik raut wajahnya yang bingung.
“Bukan, Mas. Bukan gitu,” jawabku cepat, suaraku bergetar. “Aku… aku nggak takut sama Mas Aldo.”
“Lalu kenapa?” tanyanya lagi, masih dengan nada yang sama lembutnya. Justru kelembutan inilah yang membuatku merasa seperti penjahat paling keji.
Aku menunduk, menatap jemariku yang saling bertaut di pangkuan. Alasan apa yang bisa kuberikan? Kebenaran adalah pilihan yang mustahil. “Aku… cuma kaget, Mas. Semuanya terasa begitu cepat. Pernikahan ini, pindah ke sini… semuanya. Aku cuma butuh waktu buat… bernapas.”
Itu bukan kebohongan sepenuhnya. Aku memang merasa tercekik. Tapi bukan karena cepatnya prosesi, melainkan karena hatiku yang tertinggal di tempat lain.
Aldo terdiam sejenak, mencerna kata-kataku. Kukira ia akan marah atau setidaknya menunjukkan sedikit saja kejengkelan. Namun, yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar dugaanku. Ia menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis.
“Maaf,” ucapnya. “Aku yang salah. Seharusnya aku lebih peka. Tentu saja kamu butuh waktu. Aku terlalu egois, terbawa suasana.”
Ia menggeser tubuhnya sedikit menjauh, memberiku ruang. “Nggak apa-apa, Aerra. Kita punya banyak waktu. Seumur hidup, kan? Malam ini kita istirahat saja. Kamu pasti capek banget.”
Aku mengangkat wajahku, menatapnya tak percaya. “Mas… Mas nggak marah?”
“Marah? Buat apa?” Ia terkekeh pelan. “Aku marah kalau kamu sakit tapi nggak bilang. Aku marah kalau kamu sedih tapi kamu pendam sendiri. Tapi untuk hal ini? Nggak. Aku bisa nunggu. Sampai kamu benar-benar siap.”
Kebaikan hatinya adalah belati tak kasat mata yang menusuk nuraniku berkali-kali. Aku hanya bisa mengangguk pelan. “Makasih, Mas.”
“Sama-sama. Sekarang tidur, ya?” Ia menarik selimut, menyelimuti tubuhku sebatas dada dengan gerakan yang sangat hati-hati, seolah aku adalah porselen rapuh yang takut ia pecahkan. Ia kemudian berbaring di sisinya, memunggungiku.
Lampu tidur yang menyala menjadi satu-satunya sumber cahaya. Aku berbaring kaku, mendengarkan deru napasnya yang teratur. Harusnya aku merasa lega. Aku berhasil lolos dari malam pertama yang kutakutkan. Tapi yang kurasakan justru sebaliknya. Rasa bersalah menggerogotiku hidup-hidup. Pria sebaik ini tidak pantas mendapatkan istri sepertiku.
Cahaya matahari pagi yang menerobos masuk melalui celah gorden tebal membangunkanku. Aku mengerjapkan mata, mencoba membiasakan diri dengan lingkungan baru. Langit-langit yang tinggi, perabotan elegan, dan ranjang yang terasa terlalu besar untukku sendiri.
Sisi ranjang di sebelahku sudah kosong. Aku sontak terduduk, jantungku berdebar sedikit lebih kencang. Kemana Aldo?
Tepat saat itu, pintu kamar terbuka. Aldo masuk dengan nampan di tangannya. Ia sudah rapi mengenakan kemeja biru dongker dan celana bahan hitam, rambutnya tertata sempurna. Aroma parfum maskulin yang segar langsung memenuhi ruangan.
“Pagi, Sayang. Tidurnya nyenyak?” sapanya dengan senyum hangat. Ia meletakkan nampan di meja yang ada di kamar. Ada secangkir kopi hitam dan segelas jus jeruk di sana.
“Pagi, Mas. Eh… Mas Aldo nggak perlu repot-repot begini,” kataku canggung sambil merapikan rambutku yang berantakan.
“Repot gimana? Cuma bikin kopi, kok. Ini, diminum dulu. Aku nggak tahu kamu suka kopi atau teh, jadi aku siapin jus juga,” ujarnya. “Maaf ya, aku harus berangkat pagi ini. Ada meeting penting yang nggak bisa ditinggal.”
“Iya, nggak apa-apa, Mas,” jawabku. Sejujurnya, aku sedikit lega mendengar ia akan pergi.
“Nanti siang kalau kamu bosan, jalan-jalan aja. Atau mau belanja juga boleh.” Ia meletakkan sebuah kartu berwarna hitam di atas nampan. “Ini kartu buat kamu. Pakai aja sesukamu, nggak ada limitnya. Anggap aja uang jajan.”
Aku menatap kartu itu. Kata-kata Mama kembali terngiang, “Coba kalau kamu masih nungguin si Windu kere itu, kamu mau makan apa? Makan cinta?!” Kini, aku punya segalanya. Uang, kemewahan. Tapi rasanya begitu hampa.
“Nggak usah, Mas. Aku masih punya tabungan, kok,” tolakku halus.
“Aerra,” potongnya lembut, tapi tegas. “Sekarang kamu istriku. Semua yang jadi milikku, otomatis jadi milikmu juga. Jadi, tolong jangan menolak, ya? Aku justru senang kalau kamu memakainya.”
Tak punya pilihan, aku akhirnya mengangguk. “Makasih, Mas.”
“Oke, aku berangkat sekarang, ya.” Ia mendekat, lalu berhenti sejenak, tampak ragu. Akhirnya, ia hanya mengecup keningku sekilas. “Baik-baik di rumah. Kalau ada apa-apa, langsung telepon aku.”
Setelah Aldo pergi, apartemen ini terasa semakin luas dan sunyi. Aku menghabiskan satu jam pertama hanya dengan berkeliling, dari ruang tamu ke dapur, lalu ke balkon yang menyajikan pemandangan kota dari ketinggian. Semuanya indah, sempurna, dan terasa asing.
Tepat saat aku sedang menatap hamparan gedung pencakar langit, ponselku berdering. Nama ‘Mama’ tertera di layar. Dengan malas, aku mengangkatnya.
“Halo, Ma?”
“Aerra! Gimana? Semuanya lancar, kan, tadi malam?” todong Mama tanpa basa-basi. Suaranya terdengar begitu antusias.
Aku memutar bola mataku. Tentu saja ini yang pertama kali ia tanyakan. “Lancar, Ma.”
“Bagus! Kamu harus pintar-pintar melayani suami, ya! Aldo itu aset. Jangan sampai dia nggak betah sama kamu. Ingat, tugas kamu itu memastikan dia bahagia, biar semua fasilitas ini tetap aman!” cerocosnya panjang lebar.
“Iya, Ma. Aerra ngerti.”
“Apartemennya gimana? Besar? Mewah, kan? Jauh lebih bagus dari rumah calon mertuamu yang provokator itu, kan?”
“Mama, udah, ya. Aerra mau beres-beres dulu,” potongku, muak dengan perbandingannya yang tak ada habisnya.
“Iya, iya! Jangan lupa, cepat kasih cucu buat Mama! Biar posisi kamu makin kuat!” pesannya sebelum akhirnya menutup telepon.
Aku menghela napas kasar, melempar ponselku ke sofa. Belum reda kekesalanku, ponsel itu berdering lagi. Kali ini, nama Lika yang muncul.
“Halo, Kak?”
“Iya, Lika. Kenapa?”
“Wih, galak banget pengantin baru. Hehehe. Cuma mau nanya, Kakak lagi di mana? Di penthouse-nya Mas Aldo, ya?”
“Iya.”
“Gimana rasanya jadi Nyonya Direktur? Enak, ya? Pagi-pagi udah santai, nggak perlu mikirin kerjaan. Kak, nanti kalau aku main ke sana boleh, kan? Sekalian mau lihat-lihat. Terus, hehe, Kakak kan sekarang udah kaya, bagi-bagi dikit, dong. Tas yang kemarin aku tunjukkin di mal, beliin, ya?”
Rentetan permintaannya membuat kepalaku pening. Baginya, pernikahanku hanyalah sumber uang baru untuknya. “Nanti aku transfer,” jawabku singkat, tak ingin memperpanjang percakapan.
“Asiiik! Makasih, Kakakku yang paling cantik! Sayang banget sama Kak Aerra!”
Setelah panggilan berakhir, aku merasa benar-benar terkuras. Dikelilingi kemewahan, tapi jiwaku terasa miskin. Aku berjala ke arah jendela besar, menatap kosong ke jalanan di bawah yang ramai. Di sinilah aku sekarang, terperangkap dalam sangkar emasku sendiri.
Tiba-tiba, ponselku yang tergeletak di sofa bergetar sekali. Tanda ada pesan masuk. Awalnya aku abai, mengira itu hanya pesan promosi atau mungkin dari Lika yang menagih janji transfer.
Namun, entah kenapa ada dorongan untuk memeriksanya. Dengan langkah berat, aku mengambil ponsel itu dan membuka layarnya. Sebuah notifikasi pesan dari nomor tak dikenal.
Jantungku berhenti berdetak beberapa waktu membaca isinya.
Isi pesan itu singkat, hanya beberapa kata, namun cukup untuk membuat seluruh duniaku berguncang hebat.
Aerra, ini aku. Kamu baik-baik aja, kan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments