Matahari mulai merangkak naik, menembus tirai tipis dan menyinari kota yang perlahan bangun dari tidurnya. Namun, Elina masih duduk terpaku di tepi ranjang. Sedari semalam ia tak memejamkan mata, tatapannya kosong menembus kaca jendela, seakan cahaya pagi yang hangat itu tak mampu mengusir gelap di hatinya.
Di meja kecil, kue ulang tahunnya yang semalam masih utuh kini sudah dipenuhi semut. Krim putih yang mulai meleleh tampak berantakan, namun Elina sama sekali tak peduli. Ia hanya menatapnya sekilas, lalu kembali menggelamkan diri dalam hening.
Perlahan, ia bangkit dan meraih selembar kertas lusuh—pesan terakhir dari ayahnya. Tangannya bergetar saat membukanya, matanya kabur oleh air mata yang kembali mengalir.
Bayangan masa lalu hadir begitu jelas—saat ia dan sang ayah mendaki gunung bersama.
"El..." suara hangat itu terngiang.
"Iya, Ayah?" sahut Elina kecil kala itu.
"Suatu saat, kalau Ayah pergi—"
"Ayah mau kemana, hah?!" Elina langsung memotong dengan nada kesal, menatap ayahnya tajam.
Erlangga hanya terkekeh, tidak marah sedikit pun. Ia tersenyum sambil mengusap lembut rambut putrinya.
"Kalau Ayah nggak ada lagi di dunia ini, jangan gampang percaya sama siapa pun. Kamu harus kuat, El... berdiri di atas kakimu sendiri. Jangan libatkan orang lain dalam setiap langkahmu," ucapnya serius, tapi dengan tatapan penuh cinta.
Elina kecil merengut. "Iya, Ayahku sayang. Itu kan udah ribuan kali Ayah bilang ke El. Ayah pikir El buku hafalan, hah?" jawabnya sinis, meski pipinya memerah.
Erlangga kembali terkekeh, lalu meraih tubuh putrinya ke dalam pelukan erat—pelukan yang kini hanya bisa Elina kenang.
Air mata Elina menetes deras. Ia menggenggam kertas itu erat-erat, menempelkan ke dadanya. "Elina akan kuat, Yah... El akan berusaha," bisiknya dengan suara bergetar.
Keheningan menyelimuti kamar, hanya sesekali terdengar isakan kecil yang keluar dari bibirnya. Setelah beberapa lama, Elina menghapus air matanya dengan punggung tangan, berusaha menata napas. Ia mengambil kunci motor yang tergantung di dinding, lalu menatap sekilas ruangan sepi itu.
Tanpa banyak pikir, Elina melangkah keluar, meninggalkan rumah yang kini terasa kosong tanpa ayahnya.
Brum! Brum!
Suara motor Elina meraung di jalanan pagi yang mulai terik. Rambutnya berantakan diterpa angin, sementara wajah ceria yang dulu ia bawa kini lenyap digantikan dengan ekspresi datar dan kosong.
Tiga puluh menit berlalu, akhirnya ia tiba di depan sebuah bangunan megah yang berdiri kokoh, sedikit jauh dari jalan raya. Dari luar saja, bangunan memancarkan wibawa—pagar tinggi, kamera pengawas di setiap sudut, dan kesan modern yang tak bisa disangkal.
Elina membuka helmnya perlahan. Tatapannya berat, napasnya tertahan sebelum akhirnya ia turun dari motor dan melangkah mendekati pagar.
Ting Tong!
Bel ditekan, beberapa saat kemudian pintu pagar bergeser terbuka. Seorang pria berpakaian serba hitam muncul, tubuhnya tegap dengan tatapan dingin.
Elina menunduk hormat. “Pagi, Om. Saya ingin bertemu dengan Om Evan.”
Pria itu hanya menatapnya datar, lalu mengangguk singkat sebagai isyarat untuk masuk.
Elina melangkah ke dalam, melewati halaman luas dan beberapa ruangan sebelum akhirnya sampai di depan pintu besar. Jantungnya berdebar—ia tahu siapa yang menunggunya di dalam.
Pintu tiba-tiba terbuka sendiri, membuat Elina teringat bahwa kediaman Evander Victor Raghunendra—orang yang dianggap adik oleh almarhum ayahnya—serba canggih. Tak perlu heran dengan pintu otomatis seperti ini.
“El…” suara lembut itu menyambutnya.
Evan berdiri dari kursinya, mendekati Elina, dengan tatapan hangat.
“Om Evan,” ucap Elina lirih sambil berusaha tersenyum tipis.
“Duduklah.” Evan memberi isyarat ke sofa empuk di ruangannya. “Bagaimana kondisi kamu?” tanyanya pelan, suaranya tenang tapi penuh perhatian.
Elina menunduk, matanya sayu, wajahnya jelas kelelahan. “Jujur, El sebenarnya nggak baik-baik saja, Om… sejak Ayah pergi.”
Evan bisa menangkap jelas guratan lelah itu. “Itu wajar, El. Siapa pun pasti hancur kalau kehilangan orang yang paling disayanginya. Tapi…” suaranya melembut, “hidup tetap berjalan. Jangan biarkan kesedihan menarikmu terlalu jauh.”
Elina mengangguk pelan, meski air matanya nyaris jatuh lagi.
“Om…” ia menatap Evan, kali ini dengan kesungguhan.
“Iya, El?”
“Aku ingin belajar bela diri.”
Kening Evan langsung berkerut. “Untuk apa? Kamu mau balas dendam?”
Elina menggeleng pelan. “Nggak, Om. El sekarang hidup sendiri. Aku harus bisa lindungi diriku sendiri.” Nadanya tegas, matanya menatap lurus penuh keyakinan.
Evan terdiam sejenak, menimbang. “El, kamu tahu kan cara Om melatih…”
“Iya, Om. El paham. Dan El sanggup jalani apa pun rintangannya,” potong Elina cepat, tanpa ragu.
Evan menghela napas panjang. Akhirnya ia mengangguk pelan. “Baiklah. Besok kamu mulai latihan. Tapi sekolahmu bagaimana?”
“Ujian sudah selesai, Om. Tinggal tunggu pengumuman saja.”
Evan kembali mengangguk. Keheningan menyelimuti ruangan untuk beberapa saat. Lalu ia berkata lirih, “El…”
Elina menoleh. “Iya, Om?”
“Istirahatlah. Kamu pasti belum tidur sejak semalam, kan?”
Elina terdiam, lalu mengangguk pelan. “Nanti…”
“Sekarang, El. Om nggak terima penolakan,” ucap Evan tegas. Ia bangkit, lalu tiba-tiba mengangkat tubuh Elina ke pelukannya.
“Om!” Elina terkejut, wajahnya memerah.
“Kamu harus istirahat, El. Nggak ada penolakan,” tegas Evan lagi tanpa menoleh.
Ia menggendong Elina menuju kamar pribadinya. Dengan lembut ia membaringkannya di ranjang, lalu menyelimuti tubuh mungil itu.
“Om… aku di ruang tamu saja,” ucap Elina dengan suara pelan, merasa tak enak hati.
Evan tak menggubris. Ia hanya menatapnya sebentar, lalu berkata singkat, “Tidurlah.”
Elina terdiam, matanya berkaca-kaca menatap sosok itu. “Makasih, Om.”
“Hm.” Evan hanya berdehem, lalu berbalik keluar, menutup pintu perlahan agar tak mengganggu tidurnya.
Di luar kamar, ia berpesan pada Rio—tangan kanannya. “Jangan ada yang berani mengganggunya.”
Rio menatap bingung, keningnya berkerut. Tak biasanya Evan sampai menaruh perhatian sebesar itu pada seseorang, apalagi sampai membiarkannya tidur di kamar pribadinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments