Presiden Amerika Serikat melangkah mantap menyusuri lorong panjang yang nyaris ambruk. Dindingnya penuh retakan, kabel-kabel menjuntai dari langit-langit, dan suara gemuruh jauh di luar sana menandakan perang yang belum juga berakhir. Setiap langkahnya bergema di antara puing-puing sejarah yang seolah dunia sendiri menahan napas menunggu keputusan sang pemimpin umat manusia.
Hari ini, ia bukan sekadar seorang presiden. Ia adalah simbol harapan terakhir umat manusia.
Dan di ujung lorong itu, menantinya sosok yang bukan berasal dari dunia ini — The Ancient One, raja segala makhluk mitologi.
Di reruntuhan bekas markas PBB yang kini tinggal bayang-bayang kejayaannya, dua peradaban yang telah saling menghancurkan akan duduk berhadapan. Bukan untuk berperang, tapi untuk menentukan apakah perdamaian masih mungkin ada.
Proyek Helios, mimpi besar manusia untuk menaklukkan energi tak terbatas, telah menorehkan luka pada jagat raya. Tabir yang memisahkan dunia manusia dan dunia mitologi robek hingga membuka jalan bagi kekacauan.
Bagi kaum mitologi, itu adalah penyerangan ke tanah suci mereka. Bagi manusia, kedatangan mereka adalah invasi tanpa peringatan. Kedua pihak merasa menjadi korban.
Maka di sinilah pria berambut pirang itu berdiri. Rambutnya disisir rapi meski abu dan debu menempel di jasnya. Wajahnya menua oleh beban dunia, namun matanya masih menyala dengan tekad yang sama seperti dulu saat ia berjanji melindungi bangsanya.
Beberapa menit ia melangkah dalam diam, sampai akhirnya dari balik kabut puing dan cahaya redup obor, muncul sosok besar menjulang. Seekor Minotaur. Setengah manusia, setengah lembu, tubuhnya berotot dan berlumur debu pertempuran. Kapak raksasa di tangannya masih meneteskan darah kering, dan setiap langkahnya mengguncang lantai beton yang retak.
Kedua pengawal presiden langsung menegakkan senjata, bersiap menembak jika makhluk itu menyerang. Tapi sang presiden hanya mengangkat tangan. Sebuah isyarat singkat yang tegas, namun penuh keyakinan.
“Turunkan senjata,” ujarnya datar. Nada suaranya tenang, tapi mengandung wibawa yang tak bisa dibantah.
Minotaur itu menatapnya lama, seolah menilai apakah manusia ini layak dipercaya. Lalu, perlahan, ia menundukkan kepala dan memutar tubuhnya, memberi jalan.
Presiden melangkah melewatinya tanpa gentar. Di depan sana, di balik pintu besar dari batu yang retak, cahaya ungu samar memancar. Tempat di mana The Ancient One menunggu, dan nasib dua dunia akan ditentukan.
Pintu batu itu terbuka perlahan, mengeluarkan derit berat yang bergema di seluruh ruangan. Cahaya ungu lembut menembus celahnya, menyinari wajah Presiden yang kini berdiri di ambang sejarah. Ia melangkah masuk, langkah kakinya bergema di aula besar bekas markas PBB. Tempat di mana dahulu manusia menegakkan perdamaian, kini menjadi medan diplomasi antara dua dunia yang saling menyalahkan.
Bendera-bendera negara tergantung lusuh, robek, dan berdebu. Lantai marmer penuh retakan seperti luka bumi yang belum sembuh. Di tengah ruangan itu, berdiri singgasana batu hitam, berukir lambang-lambang kuno yang berdenyut samar.
Dan di atasnya, The Ancient One.
Makhluk itu menjelma seperti penjelmaan mitologi sendiri. Bertubuh manusia yang tegap dan berotot, namun berkepala elang raksasa dengan paruh tajam keemasan yang berkilau di bawah cahaya ungu. Sepasang sayap lebar menjulur dari punggungnya, setiap helai bulunya berwarna seperti cahaya fajar. Campuran emas, perak, dan merah darah. Di dadanya terpasang zirah emas berukir simbol matahari dan kilat, berpendar lembut seolah menahan kekuatan yang tak terukur.
Kedua tangannya berujung cakar burung garuda, tajam dan berkilau, dan dari jari-jarinya memancar percikan cahaya biru seperti petir yang tidur. Kakinya pun sama. Cakar perkasa yang setiap hentakannya membuat batu di bawahnya retak. Aura yang terpancar darinya bukan hanya kekuatan, melainkan kebesaran ilahi yang seolah setiap bulu di tubuhnya membawa serpihan hukum alam.
Matanya, dua bola api keemasan, menatap lurus ke arah Presiden, seolah menembus seluruh lapisan jiwa dan sejarah manusia di balik pandangan itu.
Di bawah kakinya berdiri para makhluk mitologi. Puluhan elf bersenjata panah dan tombak, naga kecil yang melingkar di tiang-tiang batu, dan makhluk bersayap kelelawar yang melayang seperti kabut malam. Semua hening, menunggu pemimpin mereka berbicara.
Presiden melangkah maju, napasnya perlahan tapi mantap. Jasnya berdebu, wajahnya letih, namun sorot matanya tak kehilangan wibawa.
“Yang Mulia The Ancient One,” ujarnya, suaranya menggema di aula itu, “aku datang bukan membawa senjata, bukan membawa dendam. Aku datang membawa harapan. Satu-satunya yang tersisa untuk kita semua.”
The Ancient One menatapnya lama. Lalu suaranya terdengar dalam, berat, dan bergema seperti petir yang berbisik dari langit purba.
“Harapan?” katanya, paruhnya bergerak perlahan. “Kata itu indah di mulut manusia. Namun setiap kali kalian mengucapkannya, bumi kami berlumur darah.”
Presiden tetap tegak. “Jika harapan adalah dosa, maka izinkan aku berdosa demi menyelamatkan umatku.”
Senyum samar, hampir seperti ejekan, terbit di wajah salah seorang Elf yang terlihat seperti pemimpin pasukan. “Berani... seperti biasanya manusia. Tapi katakanlah, apa yang kalian tawarkan pada dunia yang telah kalian robek sebelumnya?”
Presiden menatap lurus, suaranya mengeras namun tak kehilangan tenangnya.
“Kesempatan. Untuk menebus. Proyek Helios adalah kesalahan kami, tapi juga bukti bahwa manusia mampu menciptakan keajaiban. Kami bisa memperbaiki apa yang kami rusak, tapi kami tak bisa melakukannya sendiri.”
Mata Elf itu berpendar. “Dan jika kami menolak?”
Presiden menjawab tanpa ragu.
“Maka biarlah kekuatan menentukan siapa yang pantas bertahan. Tapi jika Engkau percaya bahwa setiap kehidupan. Manusia, naga, atau roh, berhak berada di bawah langit yang sama, maka mari kita buktikan tanpa memusnahkan satu sama lain.”
Keheningan menelan ruangan. Asap, debu, dan angin mengitari keduanya seperti waktu menahan diri.
Lalu, perlahan, The Ancient One mengangkat salah satu tangannya yang bercakar, dan dari udara muncul lingkaran cahaya raksasa. Berisi simbol-simbol kuno yang berputar dan memancarkan sinar emas.
“Aku berpikir untuk mengadakan pertarungan yang akan menentukan nasib masa depan umat manusia. Tapi satu pertarungan tidaklah cukup karena aku tahu bahwa kamilah pasti pemenangnya. Jadi aku akan memberikan kalian umat manusia, 12 kali kesempatan. Dua belas kali pertarungan,” suaranya bergema, mengguncang udara. “Dua belas juara dari masing-masing dunia. Sihir melawan teknologi. Jiwa melawan baja.”
Matanya menyala terang.
“Dan biarlah langit yang retak menjadi saksi siapa yang layak mewarisi dunia ini.”
Presiden menatapnya dalam diam, lalu perlahan mengangguk.
“Dua belas pertarungan… dua belas nasib. Maka demikianlah.”
Ia menatap lurus ke mata sang makhluk bersayap garuda itu.
“Semoga Tuhan dan para dewa yang masih peduli, mengampuni kita semua.”
Ledakan cahaya memancar. Lingkaran emas itu terangkat ke langit, membelah awan yang berwarna ungu, menandai dimulainya Era Dua Dunia.
Langit bergemuruh.
Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, manusia dan legenda bersiap bertarung, bukan untuk membunuh, tapi untuk menentukan siapa yang berhak menulis masa depan dunia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Ceyra ༼Heelshire͠࿐
serius mereka semua tunduk ama presiden /Left Bah!/
2025-10-14
2
Mizuki
Emdash sebanyak ini pasti perkara dirimu langsung maksa di proofreading ama gpt.
Jangan dipaksa, manual aja, suruh dia koreksi/nyari typo, habis tuh benerin sendiri manual, kelihatan entar kemampuanmu yang asli ama kagak
2025-10-26
2
xiang ma'ling sheng
emdashnya over bgt han 🗿
2025-10-13
0