CH 1

Setelah memutuskan cukup dengan memancingnya hari itu, Shen Hao memungut ember kecil berisi ikan tangkapannya dan berjalan menyusuri jalan setapak yang menembus hutan.

Langkahnya santai, sesekali menendang dedaunan kering atau batu kecil di jalurnya.

Cahaya senja menembus celah pepohonan, membentuk pola keemasan di tanah.

Kabut spiritual tipis melayang di antara akar dan batang pohon, memantulkan warna ungu pucat seperti bintang yang terjebak di dalam kabut.

Dunia ini… terlalu indah untuk dipercaya sepenuhnya.

Shen Hao menatap pemandangan itu sambil menguap kecil.

“Di Bumi, udara begini pasti langsung dijual mahal. Sekarang malah tiap hari bisa kuhirup gratis…” gumamnya, separuh kagum, separuh malas.

Rumahnya — pondok kayu sederhana di tengah hutan — akhirnya terlihat.

Dindingnya ditumbuhi lumut halus, atapnya sedikit miring, tapi di halaman kecilnya ada taman liar yang ia tanam sendiri: tumbuhan aneh bercahaya, jamur spiritual yang lembut berkilau, dan beberapa batu giok kecil yang ia temukan di tepi sungai.

Begitu masuk, Shen Hao langsung meletakkan embernya, menyalakan api, dan mulai membersihkan ikan.

Gerakannya tenang dan otomatis, seolah tubuhnya sudah hafal setiap langkahnya.

“Kalau dipikir-pikir…” ujarnya pelan sambil menatap ikan di tangannya, “dua tahun di sini, dan aku belum juga punya niat jadi kultivator. Orang lain mungkin sudah terbang di langit atau ngeluarin api dari tangan…”

Ia tertawa kecil sendiri.

“Tapi aku? Masih sibuk masak ikan.”

Setelah makan malam sederhana, ia duduk di depan rumah sambil memandangi langit malam.

Bintang-bintang di dunia Tianxu lebih dekat, dan beberapa berputar perlahan seperti sedang menari.

Suara serangga dan angin lembut jadi musik alami malam itu.

Shen Hao menarik napas panjang.

“Dulu aku pikir, mati karena truk itu akhir segalanya. Tapi ternyata malah dikasih dunia baru, udara segar, dan makanan gratis. Yah… kalau tak ada Wi-Fi dan listrik, paling tidak masih ada ketenangan.”

Ia tersenyum kecil, menatap tangannya sendiri.

Telapak tangan itu kini kasar, tanda kerja kerasnya bertahan hidup.

Bukan tangan seorang pemuda biasa lagi — tapi seseorang yang perlahan beradaptasi dengan dunia asing.

Namun di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang mulai ia rasakan akhir-akhir ini.

Setiap kali ia duduk diam, tubuhnya terasa hangat.

Udara di sekitar rumahnya seolah bergetar halus, dan terkadang—ia melihat partikel cahaya kecil yang perlahan terserap ke dalam tubuhnya.

Awalnya ia kira hanya halusinasinya karena sering kelaparan, tapi semakin lama, fenomena itu makin sering muncul.

Malam itu pun sama.

Saat ia memejamkan mata untuk beristirahat, sebuah aliran lembut seperti arus air hangat merambat di bawah kulitnya, menimbulkan rasa nyaman sekaligus aneh.

“…Apa ini yang disebut energi spiritual?” bisiknya pelan.

Ia tertawa kecil. “Kalau iya, aku harap nggak meledak tiba-tiba waktu tidur.”

Namun tanpa ia sadari, di bawah pondok kecil itu, kabut spiritual menebal perlahan — berputar lembut mengelilingi batu giok kecil yang ia tanam di taman.

Dan dari kejauhan, seekor burung hitam berukuran besar terbang di atas hutan Muqing, menatap ke arah rumah Shen Hao dengan mata berkilau samar…

Malam semakin larut.

Kabut spiritual mulai menebal, bergulir lembut di antara pepohonan dan menembus celah dinding rumah kayu itu.

Di dalam, Shen Hao duduk bersila di atas tikar jerami, wajahnya tenang tapi matanya sedikit ragu.

“Baiklah…” ia menghela napas. “Kali ini cuma coba sebentar. Kalau masih muntah darah, aku anggap tubuhku memang alergi sama hal-hal spiritual.”

Ia menutup mata, mengatur napas pelan seperti yang pernah ia lihat dari para kultivator di Muqing.

Udara di sekitar tubuhnya terasa dingin, lalu hangat… lalu berputar.

Partikel kecil berwarna ungu keperakan mulai muncul di udara, berkumpul di sekitarnya.

Perlahan, energi itu terserap masuk melalui kulitnya.

Ada sensasi seperti digelitik dari dalam, lalu berubah jadi rasa hangat yang menyebar ke seluruh tubuh.

Untuk sesaat, semuanya terasa tenang dan nyaman.

Namun beberapa detik kemudian—

“Ugh…!”

Dadanya terasa seperti terbakar.

Rasa panas itu menjalar dari dada ke tenggorokan, lalu—

Pfftt!

Setetes darah segar keluar dari mulutnya, memercik ke lantai kayu.

Shen Hao terbatuk keras, wajahnya pucat.

Ia mengusap bibirnya, melihat noda merah itu, lalu menggeleng lemah.

“Haaah… sudah kuduga. Aku memang bukan bahan jadi kultivator.”

Ia menjatuhkan diri ke belakang, berbaring menatap atap rumah yang tua.

Napasnya berat tapi stabil, seperti seseorang yang sudah terbiasa dengan kegagalan.

“Coba pikir, berapa kali aku sudah muntah darah? Enam? Tujuh? Entahlah… yang jelas, kalau ini di Bumi, aku pasti sudah dirawat di rumah sakit dengan infus vitamin.”

Ia tertawa kecil, getir tapi tulus.

Bagi orang lain, kegagalan kultivasi bisa jadi bencana besar — tapi bagi Shen Hao, itu sudah jadi rutinitas bulanan.

Setiap kali ia mencoba, tubuhnya bereaksi berlebihan: panas, dingin, pusing, lalu… batuk darah.

Namun malam ini berbeda.

Setelah darah itu keluar, dadanya terasa ringan, pikirannya jernih, dan napasnya mengalir lembut — seolah tubuhnya akhirnya seimbang.

Tapi ia tidak menyadarinya.

Sementara ia berbaring dengan malas dan memejamkan mata, di dalam tubuhnya, energi spiritual berputar lembut membentuk inti kecil bercahaya di dantian-nya.

Kabut spiritual di sekitar rumahnya ikut bergerak, perlahan terserap ke dalam tubuhnya melalui pori-pori.

Dan di luar sana, burung hitam yang tadi mengawasinya kembali mengeluarkan suara rendah—suara yang hanya bisa didengar oleh makhluk spiritual tingkat tinggi.

Sayapnya mengepak pelan, lalu ia menghilang di balik langit malam.

Di dunia Tianxu, setiap kelahiran kultivator baru biasanya disertai tanda alam.

Namun kali ini, tanda itu begitu samar — nyaris tak terdeteksi siapa pun.

Mungkin karena dunia pun tahu: pria itu belum siap menyadari betapa besar langkah yang baru ia ambil.

Di pondok kecil di tengah hutan itu, Shen Hao tanpa sadar telah menembus tahap awal Foundation Establishment, sesuatu yang bahkan sebagian besar penduduk Muqing hanya bisa impikan selama bertahun-tahun.

Sementara itu, ia sudah tertidur pulas dengan selimut setengah terlepas, wajahnya damai — tanpa tahu kalau tubuhnya baru saja berubah selamanya.

Fajar Tianxu selalu datang dengan kabut tipis yang menari di antara pepohonan.

Burung-burung kecil bersuara nyaring di kejauhan, dan sinar matahari menembus perlahan, menciptakan warna keemasan di tanah lembap.

Shen Hao menggeliat pelan di atas tikar jeraminya, menguap panjang, lalu menatap atap rumah yang mulai lapuk.

“Masih utuh… syukurlah,” gumamnya. “Aku kira semalam roboh gara-gara kelelawar spiritual itu.”

Ia bangkit, meregangkan tubuh, dan tanpa sadar otot-ototnya terasa lebih ringan dari biasanya.

Bahkan, untuk pertama kalinya sejak lama, ia tidak merasa pegal atau lelah.

“Hm? Aku tidur nyenyak banget, ya?” katanya sambil memiringkan kepala, lalu tertawa kecil.

“Bisa jadi karena akhirnya aku menyerah jadi kultivator, tubuhku malah ikut lega.”

Setelah cuci muka dengan air dari kendi bambu, Shen Hao keluar rumah.

Udara pagi terasa sejuk, bahkan sedikit hangat — padahal biasanya dingin menusuk.

Ia menatap danau kecil di sisi rumah, memantulkan langit lembut Tianxu yang mulai cerah.

“Baiklah, saatnya memancing… demi sarapan yang layak.”

Dengan langkah santai, ia berjalan ke batu besar tempat biasanya ia duduk.

Sekali lempar, tali pancingnya langsung menegak — sesuatu yang jarang sekali terjadi.

Tak sampai semenit, ujung pancingnya sudah bergetar kuat.

“Huh? Cepat banget…”

Ia menariknya spontan, dan seekor ikan besar berkilau keluar dari air, menggeliat hebat sebelum akhirnya jatuh ke tanah.

Shen Hao menatap hasil tangkapannya, terdiam sejenak, lalu tertawa lepas.

“Kalau begini terus, aku bisa buka warung ikan bakar di Muqing!”

Ia melanjutkan rutinitasnya dengan riang — menebang beberapa pohon kecil di sekitar rumah untuk memperluas halaman, lalu menyirami tanaman-tanaman aneh yang tumbuh liar di dekat pondok.

Tumbuhan itu sebagian bercahaya lembut di bawah sinar matahari, sebagian lain mengeluarkan aroma seperti madu bercampur embun.

Sambil bekerja, Shen Hao bersenandung kecil.

Kadang ia berhenti, menatap langit atau memperhatikan kupu-kupu bercahaya yang lewat.

Sudah menjadi kebiasaannya hidup begini — sederhana, damai, dan jauh dari urusan besar dunia kultivator yang katanya penuh bahaya dan perebutan.

Namun ada satu hal yang selalu ia syukuri: rumah ini.

Rumah yang dulu ia kira cuma pondok tua biasa, ternyata menyelamatkannya berkali-kali.

Beberapa bulan lalu, misalnya, seekor serigala spiritual dengan tanduk hitam mengejarnya.

Ia berlari sekencang mungkin ke arah rumah, lalu begitu masuk, makhluk itu berhenti di tepi halaman — menggeram, tapi tidak berani mendekat.

Shen Hao sempat berpikir makhluk itu bodoh, tapi setelah kejadian yang sama berulang lagi dengan monster lain, ia mulai sadar sesuatu.

Rumah ini…

Entah karena kutukan atau perlindungan, tapi semua makhluk buas selalu enggan mendekat.

Mereka hanya menatap dari jauh, lalu pergi seolah kehilangan minat.

“Kadang aku merasa rumah ini lebih hebat dari semua kultivator di desa,” katanya sambil tertawa kecil, meletakkan ember penuh air di samping tanaman.

“Kalau bisa, aku kasih nama tempat ini… Rumah Anti-Maut Shen Hao.”

Ia tertawa lagi, tapi di balik candanya itu, ada sedikit rasa penasaran yang tak bisa ia hilangkan.

Kenapa rumah ini begitu berbeda?

Dan kenapa setiap malam kabut spiritual selalu lebih pekat di sekitarnya?

Namun bagi Shen Hao, rasa penasaran itu tidak cukup kuat untuk mengubah rutinitasnya.

Baginya, selama rumah ini aman, makanan cukup, dan hari-harinya tenang—itu sudah lebih dari cukup.

Ia tidak tahu bahwa pada saat ia mengangkat ember itu, setiap ototnya kini mengandung kekuatan yang bahkan bisa menumbangkan serigala spiritual dengan satu pukulan.

Ia juga tidak tahu, setiap napasnya kini menyerap energi spiritual dengan stabil — sesuatu yang tak bisa dilakukan oleh kebanyakan pemula.

Dan dunia di sekitarnya pun, perlahan mulai memperhatikannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!