Koridor kantor yang biasanya ramai kini mulai sepi. Rapat besar baru saja berakhir, tapi amarah di dada Naya belum reda. Langkah stiletto-nya menghentak lantai dengan ritme cepat, seperti irama dari jantungnya yang bergemuruh karena kesal.
“Perempuan itu sudah gila,” desis Naya, menghentak pintu ruang kerja Andrian begitu keras hingga beberapa map di meja bergetar. Wajahnya merah, napasnya berat. “Kau lihat tadi, kan? Dia duduk di depan seolah-olah dia pemilik tempat ini!”
Andrian, yang sedang membuka kancing atas kemejanya dengan santai, hanya tersenyum miring.
Ia menyandarkan tubuh di kursi kulitnya, memutar pena di antara jarinya seolah sedang menikmati tontonan.
“Tenanglah, Sayang,” ucapnya dengan nada malas tapi penuh percaya diri. “Kau terlalu mudah terpancing.”
Naya berbalik cepat, matanya menyala. “Kau pikir aku bisa tenang? Selama ini aku yang mengatur dia! Aku yang buat dia nurut! Sekarang lihat—dia berani menatapku seperti aku ini orang asing!” Andrian tertawa kecil. Tawa rendah yang dingin dan menimbulkan rasa tidak nyaman.
“Aruna…” gumamnya, seolah menyebut nama itu seperti sebuah lelucon. “Kau tahu bagaimana dia, Naya. Gadis itu tidak pernah benar-benar berubah. Dia hanya mencoba berperan. Sedikit sandiwara agar terlihat kuat.”
“Dia bukan Aruna yang dulu,” Naya menggertakkan giginya,
“Dia sudah terlalu percaya diri. Tadi, bahkan di depan semua orang, dia menatapku seolah aku bukan siapa-siapa.” lanjut nya,
Andrian berdiri perlahan, mendekat. Aura dominan dari tubuhnya membuat udara di ruangan terasa menekan. Ia menatap wajah Naya dalam jarak yang terlalu dekat, lalu berkata dengan nada datar tapi tajam,
“Percayalah padaku. Aruna tidak akan bertahan lama dengan perannya itu. Ia hanya caper—ingin menarik perhatianku.”
Naya menatapnya dengan ragu. “Kau yakin?”
Andrian tersenyum sinis. “Dia gadis yang hidupnya berputar di sekelilingku. Kau tahu itu, aku tahu itu. Aruna tergila-gila padaku, Naya. Sedikit aku menoleh padanya, sedikit aku bicara lembut—dia akan jatuh lagi ke pelukanku tanpa sadar.”
Ia menunduk, suaranya menjadi lebih rendah, nyaris berbisik. “Perempuan seperti Aruna tidak pernah belajar. Cintanya buta, dan itu senjataku.”
Wajah Naya mulai melunak. Amarahnya perlahan berganti dengan senyum miring penuh keangkuhan. Ia melangkah mendekat, menelusuri dada Andrian dengan ujung jarinya. “Kau benar… dia memang bodoh. Terlalu mudah percaya.”
Andrian mengangkat dagu Naya dengan ujung jarinya, menatap dalam mata wanita itu dengan tatapan penuh superioritas.
“Tentu saja aku benar. Aku selalu benar.”
Senyum liciknya mengembang. “Biarkan dia bermain peran. Biarkan dia merasa berkuasa sebentar. Semakin tinggi dia naik, semakin keras dia jatuh.”
Tangan Naya terangkat, membingkai wajah pria itu. “Dan kita yang akan membuatnya jatuh?”
Andrian menunduk, suaranya nyaris seperti bisikan di telinganya. “Kita yang akan menginjaknya sampai dia tidak punya tempat untuk berdiri.”
Kata-kata itu membuat sesuatu bergetar di dada Naya—antara kekaguman dan hasrat. Ia tertawa kecil, lalu menarik kerah Andrian, mempertemukan bibir mereka dalam ciuman yang dalam dan sarat nafsu.
Di antara desah napas mereka, Naya berbisik dengan suara getir,“Dia pantas hancur… karena berani menatap kita seolah dia lebih tinggi.”
Andrian hanya menjawab dengan tawa rendah, tangannya menelusuri punggung Naya sambil berkata sinis,
“Dia boleh mencoba berubah, tapi dia akan selalu sama. Aruna hanya boneka kecil yang jatuh cinta pada tuannya.”
Mereka tertawa bersama, tawa yang bergema di ruang kerja yang kini hanya diterangi cahaya senja. Dua pengkhianat, dua kekasih yang terikat oleh keserakahan dan obsesi.
Dan tanpa mereka sadari—di luar sana, permainan baru Aruna sudah dimulai. Kali ini, bukan ia yang akan jatuh.
...----------------...
Cahaya senja memantul di dinding kaca tinggi kantor, memandikan ruangan Aruna dengan semburat jingga keemasan. Ia berdiri di dekat jendela besar, memandangi kota yang perlahan tenggelam dalam keramaian dan lampu-lampu yang mulai menyala satu per satu. Dari ketinggian itu, segalanya tampak kecil—mobil, orang, bahkan rasa sakit masa lalu, namun hatinya belum benar-benar tenang.
Ia menatap bayangan dirinya di kaca: postur tegap, wajah tanpa senyum, mata yang dulu selalu lembut kini berisi ketegasan yang bahkan membuatnya asing pada dirinya sendiri.
“Satu langkah selesai…” gumamnya pelan. “Tinggal menunggu langkah berikutnya.” aruna tersenyum kecil,berbagai rencana sudah ia susun, tinggal tunggu tanggal main nya.
Suara pintu berderit pelan memecah kesunyian.
Aruna menoleh, sedikit heran. Hampir semua karyawan sudah pulang.
“Masih di sini rupanya.” Suara itu dalam, hangat—namun di telinganya kini terdengar seperti racun yang dibungkus madu.
Andrian berdiri di ambang pintu dengan kemeja yang sedikit terbuka di bagian leher, dasinya longgar, senyum menawannya seolah tak pernah pudar.
“Sudah sore, Ru,” ucapnya lembut, seperti dulu. “Kau tak takut pulang sendirian?”
Aruna terdiam beberapa detik. Dalam diam itu, kenangan lama berkelebat di kepalanya—suara tawa mereka, malam-malam lembur, bahkan sentuhan kecil yang dulu membuat jantungnya berdebar. Tapi kini, semua itu terasa hambar. Ia tahu di balik senyum itu, ada niat lain yang tidak lagi bisa ia abaikan.
“Aku bisa pulang sendiri,” jawab Aruna singkat, sambil merapikan berkas di meja. Tapi baru saja ia melangkah, tangan Andrian lebih cepat menahan pergelangan tangannya.
“Jangan begitu, Ru,” katanya lembut, menatapnya dengan sorot mata yang dibuat-buat. “Kau terlihat lelah. Aku hanya ingin memastikan kau sampai rumah dengan selamat.”
Aruna menatap tangan yang menggenggamnya erat, lalu mengangkat pandangan pada wajah pria itu.
Dulu, ia akan tersipu, luluh, lalu mengangguk tanpa berpikir.
Kini ia hanya melihat permainan, namun ia tidak menepisnya.
“Oh begitu?” katanya pelan, menatap balik dengan senyum samar. “Kau masih sebaik itu padaku rupanya.”
Andrian tersenyum kecil, merasa kemenangannya sudah di depan mata. “Tentu. Aku masih peduli padamu, Ru.”
Kalimat itu hampir membuat Aruna tertawa—kalimat yang sama yang dulu ia yakini, kalimat yang ia pakai untuk menenangkan hatinya setiap kali pria itu mengabaikannya.
Tapi kali ini ia biarkan. Ia ingin melihat sampai di mana Andrian akan memainkan perannya.
“Baiklah,” putus aruna akhirnya. “Kalau begitu, antar aku pulang.”
Andrian tampak sedikit terkejut, tapi senyumnya segera kembali. “Itu lebih baik.” Ia melepaskan genggamannya perlahan, tapi tetap berdiri terlalu dekat. “Kau masih seperti dulu… sulit ditebak.”
Aruna hanya tersenyum samar. “Kau juga… masih pandai berpura-pura.”
Andrian tertawa kecil, menganggapnya sekadar candaan. Ia berbalik, memberi isyarat agar Aruna ikut berjalan. “Ayo. Aku sudah parkir di basement.”
Sepanjang perjalanan menuju lift, mereka berjalan beriringan tanpa banyak bicara. Aruna menatap lantai marmer yang berkilau, mendengarkan langkah mereka bergema bersamaan—seperti dua pemain dalam panggung sandiwara yang sama-sama hafal perannya.
Begitu pintu lift terbuka, Aruna melangkah masuk. Andrian mengikuti, menekan tombol ke basement. Cahaya kuning lembut menyinari ruang sempit itu. Andrian menatap pantulan mereka di dinding logam, lalu berbicara lagi, nadanya lembut tapi mengandung kontrol halus.
“Kau tampak berbeda, Ru. Lebih… dingin, lebih berani. Tapi aku tahu, jauh di dalam sana, kau masih sama.”
Aruna berpaling menatapnya. “Sama bagaimana?”
Andrian tersenyum. “Sama seperti dulu—masih mencintaiku.”
Aruna menahan tawa kecil, menunduk seolah malu, padahal di dalam kepalanya hanya ada satu kalimat: Kau benar-benar tak berubah, Andrian. Namun ia tidak membantah, ia biarkan
pria itu merasa menang.Ia biarkan permainan terus berjalan.
Lift terbuka, udara basement yang lembab menyambut mereka. Di kejauhan, mobil hitam Andrian sudah menunggu.
Ia berjalan ke sisi pintu penumpang, membukakan pintu dengan sopan.
“Silakan,” katanya dengan senyum ramah yang dulu membuatnya terlihat seperti pahlawan dalam hidup Aruna.
Aruna masuk, duduk tenang. Aroma parfum Andrian memenuhi kabin mobil—aroma yang dulu membuatnya merasa aman, kini hanya membuat dadanya sesak.
Mobil melaju perlahan meninggalkan gedung. Senja sudah benar-benar tenggelam, menggantikan langit jingga dengan biru gelap dan kilau lampu kota. Andrian sesekali melirik Aruna, senyum kecil di bibirnya tak pernah lepas.
“Kau diam saja,” ujarnya santai. “Masih marah padaku?”
Aruna menoleh, menatapnya dalam-dalam. “Untuk apa aku marah? Aku sudah lupa semuanya.”
Andrian tertawa pelan, menganggap itu alasan kosong.
“Tentu saja kau belum lupa. Aku tahu matamu, Ru. Kau masih menyimpan semuanya.”
Aruna tersenyum samar. “Kau terlalu percaya diri.”
“Tentu saja,” jawab Andrian dengan nada ringan tapi penuh ego. “Aku tahu betul bagaimana caraku meninggalkan jejak di hati seseorang.”
Aruna menatap jalan di depan. Mobil melaju menembus lampu-lampu kota, dan di kejauhan, pantulan cahaya menari di matanya. Ia tampak tenang, tapi di balik itu, pikirannya dingin dan tajam.
Baiklah, Andrian. Jika ini permainan yang kau mulai, aku akan bermain lebih lama dari yang kau sangka.
Sementara itu, di gedung tinggi yang mulai gelap, seseorang berdiri di dekat jendela lantai sembilan—Naya.
Matanya mengikuti pendar lampu mobil hitam yang menjauh di kejauhan, bibirnya menekan dengan keras. Ia tahu ke mana mobil itu pergi. Dan dalam suaranya yang nyaris berbisik, keluar kata-kata yang dingin:
“Aruna… kau pikir aku akan membiarkanmu mengambilnya kembali?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments