Sudah dua tahun sejak pernikahan sederhana itu.
Hidup Andin kini jauh lebih baik. Ia dan Raka tinggal di rumah kontrakan kecil, tapi setiap sudutnya dipenuhi tawa dan kehangatan.
Pagi-pagi, aroma kue dari dapur selalu menggoda hidung Raka.
“Andin, ini enak banget!” seru Raka sambil mencicipi kue bolu buatan istrinya.
“Kamu yakin nggak mau buka toko beneran? Ini bisa laku keras, lho.” Ujarnya lagi memberi saran.
Andin tersenyum sambil mengelap tangan yang penuh tepung. “Pelan-pelan aja, Rak. Aku pengin semuanya dari bawah, biar hasilnya berkah.”
Raka menatapnya dengan kagum. “Kamu itu luar biasa, Din. Aku bersyukur banget punya istri kayak kamu.”
Andin tersipu. “Duh, gombalnya pagi-pagi.”
Mereka tertawa bersama.
"Sini aku bantuin" tawar Raka yang langsung mendekat dan membantu pekerjaan istrinya.
Keduanya nampak begitu bahagia dan andin menatap suaminya, penuh harus sekaligus bahagia yang sulit ia jelaskan dengan kata-kata.
Beberapa minggu kemudian, Andin menatap dua garis merah di test pack-nya dengan mata berbinar. Sesuatu yang begitu ia tunggu akhirnya datang.
Tangannya gemetar saat ia menunjukkan hasil itu pada Raka.
“Raka… aku hamil.” ujarnya hampir berteriak girang.
Raka terpaku sesaat, lalu memeluk istrinya erat-erat. “Serius? Ya Tuhan, Din… ini kabar terbaik dalam hidupku!” Raka mengambil test pack itu dan dia sangat senang.
Andin tertawa sambil menangis haru. “Akhirnya, setelah menunggu begitu lama, kita punya keluarga kecil kita sendiri.”
"Itu karena doa-doamu, sayang." ucap Raka lembut.
"Selamat ya, jaga anak kita Baik-baik" lanjut Raka, mencium kening Andin dengan penuh kasih sayang.
Hari-hari berlalu penuh kebahagiaan.
Raka semakin rajin bekerja, Andin semakin sibuk membuat pesanan kue. Berkat ketekunan dan keuletannya, usahanya berkembang pesat.
Dari dapur kecil, kini Andin mampu menyewa kios dan menamainya “D’sweet Bakery.”
Tak lama kemudian, rezeki mengalir deras.
Tak hanya mendapat kabar tentang kehamilan Andin, kini Mereka berhasil membeli rumah kecil—rumah impian yang dulu hanya berani mereka bayangkan.
“Lihat, Rak…” Andin menatap halaman rumah barunya dengan mata berkaca-kaca sembari memegang perutnya yang semakin membesar.
“Akhirnya kita punya tempat sendiri.”
Raka mengusap kepala istrinya lembut. “Kamu pantas mendapatkan semua ini, Din. Kamu sudah bekerja keras selama ini. Maaf ya, karena aku belum bisa menjadi suami yang sempurna.” Ujar Raka dengan wajah memelas. Sadar, bahwa rumah ini adalah hasil jerih payah Andin dan bukan dirinya.
"Rumah ini adalah rumahmu juga. Aku bekerja, juga untuk keluarga kecil kita" jawab Andin lembut.
Keduanya saling memandang teduh. Berpelukan dan Andin merasa bahagia, walaupun suaminya tidak memiliki harta, setidaknya dia memilih suaminya yang sangat menyayanginya.
Andin tersenyum bahagia. Hidupnya terasa sempurna. Kini mereka hanya menunggu bayi mereka lahir dan hidupnya jauh lebih sempurna saat itu tiba.
Sampai sore itu tiba.
Hujan rintik turun saat suara ketukan terdengar di depan pintu.
Andin, yang sedang mengelap meja ruang tamu, berjalan untuk membuka pintu. Tapi langkahnya seketika terhenti. pandangannya terpaku.
Di depan rumahnya berdiri seorang wanita paruh baya, dengan wajah lelah dan pakaian lusuh.
Mata Andin membulat, napasnya tercekat.
“…Ibu?”
Wanita itu menatapnya dengan tatapan sendu.
“Andin… Nak, ini aku. Ibu.”
Andin mematung. Suara itu, wajah itu—ia tidak akan pernah lupa.
Ibunya.
Wanita yang dulu meninggalkannya begitu saja demi pria lain, meninggalkan luka yang tak pernah sembuh.
“Kenapa Ibu di sini?” suara Andin bergetar.
“Bukannya Ibu sudah lupa punya anak?”
Ratna menunduk, menangis lirih. “Ibu menyesal, Din. Ibu nggak punya siapa-siapa lagi. Rumah Ibu disita, uang habis… Ibu cuma pengin tempat berteduh. Boleh ya, Nak? Cuma sementara aja.”
Andin diam. Ada bagian hatinya yang marah, tapi juga iba.
Wajah ibunya terlihat benar-benar menderita. Saat itu Raka keluar dari dapur.
“Siapa, Din?”
Andin menoleh dengan bingung. Raka sempat terpaku melihat wanita paruh baya, cukup cantik dengan usianya yang sedang berdiri didepan.
“Ini… Ibuku, Rak.” Andin bersuara.
Raka menatap Ratna sopan. “Silakan masuk, Bu.”
Andin terdiam sesaat saat suaminya membawa ibunya masuk. Ia menatap suaminya—laki-laki itu terlalu baik untuk tahu seberapa dalam luka masa lalu mereka.
Ratna yang duduk di sofa ruang tamu menatap Andin lagi dengan mata memelas. “Kau masih marah sama Ibu, ya?”
Andin menarik napas panjang.
“Aku nggak tahu, Bu. Aku cuma… nggak siap.” jawab Andin. Matanya hampir berkaca-kaca.
Hening.
Ratna diam. Dia terlihat gelisah.
Andin menatap ibunya. Saat melihat tubuh ibunya yang menggigil kedinginan, Andin akhirnya luluh.
“Baiklah, Bu. Ibu boleh tinggal di sini. Tapi sementara saja.” Ucapnya kemudian. Tak tega melihat keadaan ibunya saat ini.
Air mata Ratna jatuh, Ia segera memeluk Andin.
“Terima kasih, Nak… Ibu janji nggak akan nyusahin kamu.”
Andin mengangguk pelan, tak tahu bahwa keputusan sederhana itu…
akan menjadi awal dari neraka dalam rumah tangganya sendiri.
.
.
.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Soraya
bunga pertama dr ku thor
2025-10-06
1