Menemukan harapan baru

Tiara menyeret kopernya di tengah keramaian kota yang mulai padat. Suara klakson bersahut-sahutan, aroma aspal basah bercampur dengan bau kopi dari warung pinggir jalan. Semua tampak sibuk dengan urusannya masing-masing, tak ada yang peduli pada wanita berwajah pucat dengan mata bengkak dan langkah gontai itu.

Helaan napas panjang keluar dari bibirnya, membentuk uap tipis di udara dingin sore itu. Ia tak tahu ke mana harus pergi. Hanya langkah dan nasib yang menuntunnya.

Setiap tarikan koper di trotoar seperti gema yang mengiringi kesepiannya. Ia sempat berhenti di depan etalase toko bayi. Tatapannya kosong saat melihat pakaian-pakaian mungil tergantung rapi di sana. Ada satu baju biru muda yang membuatnya tertegun , mirip dengan yang pernah ia beli untuk bayinya dulu. Matanya mulai basah lagi. Ia menatap pantulan wajahnya di kaca toko: kusut, lelah, dan kehilangan arah.

Seketika Tiara teringat, ia langsung memutar kopernya dan berjalan menuju tempat putranya dimakamkan. Tiara semakin cepat, meski tubuhnya terasa lemah. Jalanan yang licin sisa hujan tak ia pedulikan. Air matanya terus mengalir, bercampur dengan rintik kecil yang masih turun dari langit mendung sore itu.

Koper yang ia tarik kini hanya menjadi beban tanpa arti. Hatinya jauh lebih berat daripada benda itu.

Sesampainya di pemakaman kecil di pinggiran kota, suasana sunyi menyambutnya. Hanya suara serangga dan gesekan dedaunan yang tertiup angin. Tiara menatap hamparan nisan di hadapannya hingga pandangannya berhenti pada satu nama yang membuat lututnya lemas.

Arvan Denis Putra. Nama yang selalu ia bisikkan dalam doa setiap malam. Tiara menjatuhkan koper di samping kakinya, lalu perlahan berlutut di depan makam kecil itu. Tangannya menyentuh batu nisan yang dingin, sementara bibirnya bergetar menahan tangis.

"Maafkan Mama, Nak… Mama gagal menjaga kamu. Dan sekarang… bahkan Ayahmu pun meninggalkan Mama." ucapnya lirih dan terisak.

Ia menggenggam tanah di depan nisan, erat sekali, seolah ingin menggantikan pelukan yang tak sempat ia berikan.

"Dulu Mama pikir… selama ada cinta, semuanya akan baik-baik saja. Tapi ternyata, cinta juga bisa mati, Nak… seperti yang Ayahmu bilang." ia tersenyum pahit.

Tiara menunduk, mencium tanah di depan makam anaknya. Air matanya jatuh membasahi tanah itu, menyatu dengan butiran hujan yang masih tersisa.

"Apa Mama masih pantas hidup, Van? Tanpa kamu, tanpa rumah, tanpa cinta… apa yang tersisa dari Mama sekarang?" suaranya nyaris tak terdengar.

Hening sejenak. Hanya angin yang berembus, menyapu helai rambut Tiara yang menempel di wajahnya. Tapi entah kenapa, di sela kesunyiannya, ada desir lembut yang membuat hatinya sedikit tenang, seolah anaknya menjawab dari tempat yang jauh.

Tiara terus saja memeluk makam putranya hingga seseorang membangunkannya.

"Nak, Nak. Bangunlah! Hari mulai gelap. Kau akan terus tidur di sini?" ucap wanita paruh baya itu.

Perlahan Tiara bangkit dan menatapnya. Ia mengusap wajahnya yang kusut. Matanya yang mulai bengkak menjawab semua keingintahuan wanita itu.

"Jangan terus meratapinya , Nak! Kau harus bangkit. Masih ada seseorang yang menunggumu di rumah, bukan?" ucap wanita itu lagi.

Tiba-tiba Tiara terisak yang membuat wanita itupun ikut duduk di sampingnya, lalu tanpa bertanya apa yang membuatnya menangis ia langsung menarik kepala Tiara ke pelukannya. Membelai rambutnya dengan lembut hingga membuat Tiara merasa hangat.

"Sabarlah! Tuhan pasti punya rencana lain." ucapnya lagi sambil menatap papan nama yang ada di atas makam itu.

"Arvan, dia putra mu?" sambungnya.

Tiara menarik tubuhnya lalu mengangguk pelan. Namun wanita itu mengangkat dagunya lalu mengusap sisa air mata yang masih membekas di pipi Tiara. Namun tatapannya beralih pada dada Tiara yang mulai basah entah karena air mata atau hal lain.

"Bajumu basah? Apakah kau sudah semalam di sini?" tanya nya lagi.

Tiara masih saja diam,bibirnya bergetar. Wanita itu menatap koper yang ada di samping Tiara. Kini ia memahami sesuatu. Gadis itu sendirian.

"Ayo bangkitlah Nak! Ikutlah bersamaku. Aku akan mengantarmu!" katanya lagi.

"Tidak Bu! Aku sudah tidak punya tempat lagi. Aku sudah tidak berharga!" katanya lirih.

Wanita itu mengernyit, hatinya langsung tersayat mendengar jawaban Tiara. Ia mendekat, menggenggam kedua tangan Tiara yang dingin dan gemetar. Tatapannya lembut namun tegas, seperti seorang ibu yang menegur anaknya sendiri.

"Jangan pernah bilang begitu lagi, Nak. Tak ada manusia yang tidak berharga. Tuhan tidak menciptakanmu untuk dibuang begitu saja." balasnya lirih

"Tapi… aku sudah kehilangan segalanya. Anakku… suamiku… rumahku…"suaranya parau, nyaris tak terdengar.

Wanita itu mengusap bahu Tiara dengan lembut.

"Kehilangan memang menyakitkan. Aku saja kehilangan putriku. Dunia rasanya gelap, kosong. Tapi, Nak… hidup ini bukan hanya tentang yang hilang. Hidup juga tentang yang masih bisa kau perjuangkan."

Kali ini Tiara terdiam. Ia sadar bahwa dirinya harus bangkit. Penolakan dan ketidakadilan yang ia terima harus ia buktikan bahwa ia bisa berdiri diatas kakinya sendiri.

Namun saat ia hendak bangkit. Dadanya berdenyut. Air susu yang biasa ia pompa setiap hari itu pun mulai memenuhi payudaranya. Rasa sakit itu membuat Tiara berdesis.

"Ssstt..."

Deritan itu pun langsung menarik perhatian wanita paru baya itu. Hingga ia tahu apa yang membuat baju Tiara basah.

"Kau harus membuang air susumu itu. Atau kau akan terus kesakitan." katanya.

Tiara memejamkan mata, menahan perih yang menjalar di dadanya. Ia menggigit bibir, menahan isak yang kembali pecah.

"Aku biasanya… memompanya setiap pagi," ucapnya pelan, suaranya nyaris tenggelam di antara desiran angin sore.

"Tapi sejak Arvan… pergi… aku tak sanggup lagi melakukannya."

Wanita itu menatapnya penuh iba. Ia lalu berdiri, menepuk lembut bahu Tiara. Lalu terbesit didalam benaknya. Cucunya yang baru saja dilahirkan tentu saja membutuhkan ASI hingga wanita itu memiliki ide untuk membawa Tiara ke rumahnya.

"Nak, apakah kau tidak memiliki tujuan kemana kau akan pergi?" tanyanya perlahan.

"Tidak, Bu. Aku tidak memiliki siapa pun di dunia ini. Aku yatim piatu."

Hati wanita tua itupun semakin terisak. Ia tak menyangka wanita selembut dan secantik Tiara hidup sebatang kara. Lalu apa yang membuat dirinya berakhir disini? Wanita tua itu pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.

"Lalu di mana suamimu?"

Tiara menunduk, menatap tanah di bawah kakinya. Bibirnya gemetar, tapi ia tak sanggup menatap mata wanita tua itu lebih lama.

"Denis… dia… menceraikan ku. Katanya aku sudah tidak bisa memberinya keturunan lagi," suaranya lirih, nyaris terdesak oleh isak yang menahan diri.

Wanita tua itu mengerutkan keningnya, merasa pedih mendengar cerita Tiara. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum melanjutkan.

"Nak… orang-orang kadang buta oleh ego dan keinginan mereka sendiri. Tapi itu bukan akhir dunia. Kau masih punya hidup untuk dijalani. Dan kau… kau masih berharga, Tiara."

Terpopuler

Comments

Lisa

Lisa

Ceritanya sedih..

2025-10-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!