Amy terbangun di pagi hari –esoknya. Dunia masih sama, burung masih berkicau di pagi hari, matahari pun masih terbit dari Timur –bersinar cerah padahal kemarin seharian hujan turun membasahi bumi dan tanah pemakaman kedua orang tuanya.
Amy menghela napas, merasa dunia begitu kejam padanya. Kenapa semua tampak baik-baik saja kecuali hatinya yang saat ini remuk redam karena kepergian kedua orang tua yang sangat dia cinta.
Biasanya pagi-pagi seperti ini, Maman akan muncul dan menyapanya sambil menyanyikan lagu dari daerah asalnya lalu mengecup kening Amy. Tanpa terasa air mata kembali mengalir di pipi putih Amy.
“Maman,tu men manques…” Mama aku merindukanmu. Isaknya tertahan. Bahkan di kamar mewahnya ini, Amy merasa sendiri dan sepi.
Semalaman –karena tak bisa tidur, Amy memikirkan kata-kata Tante Siska. Dalam hati kecilnya, dia merasa bahwa ucapan Tante Siska ada benarnya. Akan lebih baik Amy pergi dulu –sejauh mungkin, mengobati luka hatinya, menghibur dirinya dengan suasana baru. Tapi hati kecilnya yang lain melarang, dia harus tetap di sini, menjaga warisan Papa.
Amy tau sekali seperti apa Tante Siska, karena dulu Maman sering bercerita pada Papa betapa serakah adik tirinya itu. Dia bahkan merebut perhatian Kakek, hingga Maman seperti anak angkat di rumahnya sendiri. Untunglah Maman bertemu Papa dan menikah dengan lelaki yang sangat mencintainya, walaupun banyak drama yang terjadi karena pernikahan mereka hingga Papa harus kehilangan hak di keluarganya yang masih menjunjung tinggi darah kebangsawanan mereka.
Amy menggigiti kuku jempolnya –sebuah kebiasaan yang sering dilakukan Amy ketika sedang berpikir keras. “Aku harus bagaimana? Agar harta Papa aman walaupun aku tidak berada di sini?” gumamnya.
“Om Jonathan!” Pekik Amy lirih.
Amy pun beranjak dari ranjang mewahnya, mencari ponselnya yang dia simpan di laci meja riasnya kemudian menelpon Om Jonathan –teman baik Papa dan merupakan pengacara.
“Halo, Amy?” suara Jonathan terdengar tak percaya karena Amy menelponnya, “ada apa? Kamu baik-baik saja, kan?” tanyanya khawatir.
“Aku baik saja Om. Ada yang ingin aku bicarakan dengan Om Jo, bisakah kita bertemu?” Tanya Amy dengan suara lirih, dia tak mau tante Siska mendengar.
“Tentu saja bisa, tapi jangan di rumahmu. Temui Om di Caffe a La Carte,” ucap Jonathan. Dia tau betul jika Amy pasti tau letak Cafe yang disebutkan tadi, karena itu adalah caffe favorit kedua orang tua Amy di masa lalu.
“Baik Om, kita bertemu pukul dua belas siang nanti ya? "À bientôt Om Jo!” Amy segera menutup panggilan ponselnya, tepat saat tante Siska masuk ke dalam kamarnya –tanpa mengetuk pintu.
“Sayang? Kamu sudah bangun? Tante kira kamu masih tidur?” ucap Tante Siska dengan keceriaan yang terlalu di buat-buat.
Amy tersenyum, “baru saja, kok, Tante.”
“Ayo sarapan? Tante sudah buatkan nasi goreng kesukaanmu,” ucap Tante Siska.
Amy pun mengangguk, lalu mengikuti Siska keluar dari kamarnya. Di ruang makan, sudah ada dua sepupu Amy, Mira dan Josef –anak Tante Siska. Mira seumuran dengan Amy sedangkan Josef berumur setahun lebih muda.
Kedua nya tampak makan sambil bertengkar. Sesekali Mira melemparkan sosis panggang pada Josef, dan Josef melemparkan sesendok nasi kea rah Mira. Ruang makan yang biasanya selalu bersih dan rapi, berubah menjadi kapal pecah –berantakan karena ulah dua anak nggak tau aturan itu.
Amy menghela nafas melihat kelakukan sepupunya yang benar-benar menyebalkan. MEreka ada di rumah Amy tapi seperti berada di rumah mereka sendiri –tak punya sopan santun!
Melihat raut wajah Amy yang berubah jengah, Siska langsung menghardik kedua anaknya. “Mira! Josef! Bisa tidak kalian sopan kalau di ruang makan! Di sini bukan trumah kita, kalian harus bertingkah sopan!” ucap Siska dengan nada melengking.
Lagi-lagi Amy menghela napas, Tante nya ini aneh sekali. Seharusnya dia mengajari anaknya sopan santun bukan hanya saat berada di rumah orang lain! Bersikap sopan itu bukan semata-mata untuk ditunjukkan ke orang lain, tapi adalah tabiat yang harus di biasakan di manapun berada! Walaupun itu di rumah sendiri atau di rumah orang lain!
Amy duduk di kursi yang ada di ujung meja makan lonjong itu. Kursi yang biasa diduduki Papanya sebagai kepala keluarga. Lalu dengan perlahan dia mulai menyuapkan nasi goreng yang disediakan untuknya. Rasanya tak seenak buatan Papa, tapi lumayan untuk mengobati rasa rindu pada sang Papa.
“kenapa sayang? Nggak enak?” Tanya Tante Siska sambil meletakkan segelas air putih di dekat Amy.
Amy menggeleng sambil tersenyum, “enak tante, terima kasih,” jawabnya tulus.
Siska tampak tersenyum puas, “makanlah yang banyak,” ucapnya sambil mengelus pucuk kepala Amy.
Mira tampak berdecak kesal dengan perhatian Ibunya pada Amy. Karena seumur-umur, dia belum pernah di sayang begitu rupa oleh Ibunya sendiri. Amy sudah merebut kasih sayang sang Ibu dan tentu saja membuat Mira kesal padanya.
“Manja banget, sih!” gumamnya sambil menatap tajam kearah Amy. Amy tau betul Mira tak menyukainya, tapi dia tak ambil pusing.
“Mama! Hari ini aku ingin belanja di mall!” ucap Mira –tiba-tiba saja. “Aku mau beli sepatu dan tas untuk hari pertama kuliah!”
“Boleh, pergilah dengan Amy. Buat Amy melupakan masa-masa sulit ini, ya?” Siska menoleh menatap keponakannya, dan Amy hanya tersenyum.
“Aku ingin di kamar saja, Tante. Kalau Tante mau pergi dengan Mira, nggak apa-apa, kok. AKu Cuma ingin tiduran di kamar,”
Siska tampak menghela napas, “baiklah kalau begitu, Tante akan belikan kamu sesuatu yang bagus nanti.”
Amy mengangguk seraya mengucapkan terima kasih.
Setelah selesai makan, Siska dan kedua anaknya langsung pergi jalan-jalan ke Mall. Amy tersenyum getir menatap kepergian mereka. Orang tuanya baru saja dimakamkan kemarin, bisa-bisanya mereka mengajak dirinya ke mall? Astaga!
“Non Amy…” Minah –asisten rumah tangga yang sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun di rumah Amy, mendekati Amy dengan wajah sedih.
“Bi Minah…” suara Amy bergetar dan air mata kembali mengalir di pipinya. Bi Minah langsung memeluk majikannya itu dan mengelus punggungnya dengan lembut.
“Yang sabar ya, Non… Bi Minah doakan Non Amy kuat dan bisa hidup dengan baik..” ucap Minah dengan tulus.
“Terima kasih Bi,” Amy melepaskan pelukan Minah. “Aku mau minta tolong Bi, nanti aku mau pergi sebentar, kalau sampai mereka pulang lebih dulu sebelum aku, bilang saja pada mereka aku sedang tidur di kamar, ya?”
“Non Amy mau ke mana?” Tanya Minah dengan nada khawatir.
“Aku harus menemui Om Jonathan, untuk mengurus banyak hal.”
Minah mengangguk, “Tuan Jonathan orang baik. Bibi percaya dia bisa membantu Non Amy! Tenang saja Non, Bibi akan melindungi non Amy dari lintah-lintah itu!”
Amy tersenyum sambil mengangguk, “Aku akan melindungi semua warisan Papa dan Maman, Bi. Doakan aku bisa melakukan semuanya dengan benar.”
“Pasti Non!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments