Bab 5

Di ruangan yang gelap, Rara berbaring meringkuk di sofa. Gadis itu menangis, memikirkan masa depan yang entah seperti apa. Sungguh tak pernah terbayangkan sebelumnya jika dirinya di posisi sekarang.

"Kenapa ... kenapa nasibku begitu miris." terisak dalam diam hampir tak terdengar.

"Ayah ..., Ibu ..., Rara harus bagaimana? Rara sudah tak tau harus mencari uang kemana lagi, untuk biaya sekolah Nina dan Dino. Satu bulan lagi, harus bisa lunasi agar mereka bisa ikut ujian. Tapi Rara sama sekali belum punya uang itu."

"Bu, Rara Rindu ..., Rara sudah menghancurkan hubungan orang lain. Rara harus apa?"

Tanpa di ketahui olehnya Athur ternyata dia sejak tadi berada di samping istrinya. Mendengarkan semua keluh kesah yang dia luapkan sendiri. Baru tahu jika beban istrinya begitu berat padahal usianya baru 17 tahun. Hati Athur seakan di remas, mengepalkan kedua tanganya sedikit menitikan air mata.

Dalam pikirannya saat ini dia berjanji akan menjadi pelindung untuk keluarganya. Tanggung jawab Rara juga tanggung jawabnya saat ini. Tetapi yang membuatnya lebih sakit lagi bukan masalah uang. Akan tetapi tangisan gadis yang tidak bersalah sama sekali justru menyalahkan dirinya sendiri. Memang tidak mudah untuk menerima takdir yang tak di inginkan.

"Ayah ...," lirih Rara yang masih menangis.

Hampir satu jam Athur diam duduk di samping Rara. Dirasa tak ada lagi suara dan pergerakan dari sang istri. Athur memberanikan diri mendekati tubuh kecil mungilnya. Tanganya terulur mengusap lembut pucuk kepala Rara dan mengecup kening gadis itu. Entah sadar atau tidak yang di lakukannya, atau hanya rasa kasihan. Dia sendiripun belum tahu pasti apa yang di rasakannya saat ini.

"Maaf sudah membawamu masuk dalam kehidupanku." tubuh Rara menggeliat, membuat Athur sangat berhati-hati agar tidak membangungkan gadis itu.

"Kedepannya kamu harus berbagi jangan pendam sendiri, jangan sok kuat. Ada aku suamimu." bisik Athur yang tak terdengar sama sekali oleh Rara. Gadis itu sudah terlelap dalam alam mimpi indahnya.

***

Rara mengerjapkan matanya, suara gaduh di luar membangunkannya. Perlahan membuka mata, betapa terkejutnya dia ketika tahu dirinya saat ini berada di dalam kamarnya sendiri.

"Ya ampun, kenapa aku bisa ada di sini?" gumamnya bingung, dia ingat betul semalam dirinya berada di ruang tamu. Bagaimana bisa dia berada di sana, berusaha mengingatnya namun tetap saja sama sekali tidak ingat.

"Terus Mas Athur tidur di mana?" dalam hati Rara bertanya lalu beranjak bangun dan mencari suaminya.

"Kakak. Ko kak Rara tidur di kamar itu?" ucap Nina penasaran.

"Jangan-jangan ..., Ka ...,"

"Emmm ...," Nina membungkam mulut Dino kuat-kuat .

"Auww,"

"Sakit tau," Nina menjitak kepala adiknya. Reflek karena Dino menggigit telapak tanganya.

"Ya lagian, aku nggak bisa nafas kak?"

Bukan Dino namanya jika tidak usil dan nakal. Remaja berusia 13 tahun itu selalu saja banyak tingkah. Akan tetapi justru membuat suasana rumah ramai. Ternyata suara gaduh yang membangungkan Rara adalah kedua adiknya.

"Sepagi ini kalian udah ribut ...," ujar Rara sedikit melebarkan mata menatap tajak keduanya yang sedang berebut makanan.

"Apa pagi," sahut kedua kakak beradi itu saling pandang.

"Kak ini sudah pukul 8.30 menit tau?"jelas Dino menunjuk ke arah jam dinding di atas Rara.

''Astaghfirullah," Rara menoleh arah jarum jam, begitu terkejut. Tidak biasanya dia bangun siang seperti saat ini. "Kenapa nggak ada yang bangunin Kakak?"

"Ya mana kita tahu, Kakak tidur disana. Pikir kita kakak malah pergi." jelas Dino.

Rara menghela nafas panjang, dirinya baru sadar jika kedua adiknya sedang makan snack. Dirinya ingat betul tidak pernah membelikan itu. Karena uang yang dia miliki sudah buat beli sayur dan lauk kemarin. Lalu dari mana mereka membeli cemilan itu.

"Kalian dapet dari mana cemilan itu? Tidak mungkin kan kamu beli dengan uang jajan yang kakak beri?" tanya Rara penasaran berjalan mendekat.

Seperti biasa Dino dengan santainya menjawab. "Didapur," terus menguyah tanpa henti. Mereka jarang sekali makan snack seperti itu.

Mengetahui ekpresi Rara, Nina bangun dan meletakan snack diatas meja. Lalu berjalan ke arah dapur dan menunjukan pada sang Kakak. Bukan hanya snack tapi juga ada sayur, susu, ayam, telor dan juga ice cream.

Rara semakin di buat terkejut melihat isi kulkas penuh dengan berbagai sayur dan lauk. Entah dari mana asal semua makanan itu. Nina seakan faham dengan keterkejutan sang kakak, lalu memberikannya sebuah amplop yang ada di sebelah kulkas tadi pagi.

"Ini kak, tadi Nina menemukan ini." sodornya sebuah surat dan bingkisan tertulis di sana untuk Rara.

"Dari siapa?" tanya Rara semakin heran namun Nina justru mengangkat bahunya menandakan tidak tahu. Rara membuka surat itu lalu membacanya.

"Maaf aku tidak berpanitan langsung. Aku tidak tega membangunkan tidurmu yang begitu nyenyak tadi. Aku membeli sedikit barang untuk beberapa hari kedepan. Ada sedikit rejeki buatmu, gunakan untuk kebutuhan selama aku tidak di rumah."

Deg!

Jantung Rara seketika seakan berhenti, saat membaca. Pikiranya langsung tertuju pada Athur, lalu kembali membacanya.

"Aku pergi ke rumah orang tuaku beberapa hari. Tolong jaga dirimu dengan baik. selama aku tinggal di situ kamu selalu makan sedikit, makanlah yang banyak hidup di dunia yang kejam butuh tenaga tuk menghadapinya. Dan ada satu lagi bingkisan itu untukmu, jangan lupa langsung chat aku jika sudah membuka isinya. Maaf aku pergi bukan untuk lari, aku pasti kembali."

Isi surat itu membuat Rara sedikit tenang, karena Athur menekankan kata kembali. Kemudia mengambil bingkisan berwarna coklat lalu membuka. Rara membelalak kaget, isinya ternyata Handpone dan juga beberapa lembar uang. Air matanya jatuh, menangis haru.

Kesulitan yang sedang di hadapinya seakan tuhan mendengar doanya semalam. Dengan uang itu Rara bisa membayar sekolah kedua adiknya merek bisa mengikuti ujian

"Terima kasih Mas." ucapnya dalam hati.

***

Ditempat lain perempuan berambut pendek sebahu, sedang sibuk kesana kemari memberikan arahan pada asisten rumah tangganya. Merapihkan meja makan dan menata semua sesuai keinginannya semua harus sempurna.

Dia adalah Vina Zhatifah, gadis berusia 23 tahun, tunangan Athur. Hubungan keduanya pasangan itu sudah di pastikan sangat romantis. Selama seminggu Athur juga masih kirim kabar pada Vita agar tidak kwatir. Pria itu beralasa jika dirinya sedang ada pekerjaan di luar kota.

Ting

Bunyi pesan, Athur dengan cepat membuka layar Handpone namun wajahnya sedikit kecewa ketika membaca isi pesan masuk.

"Malam nanti kamu harus pulang. Aku kangen, ini hari spesialku kamu harus datang sayang."

Athur malas untuk membalas, pria itu mengabaikan pesan itu begitu saja.

"Apa kamu belum bangun? Atau kamu belum menemukan bingkisan itu?" gumam Athur memikirkan seseorang yang selama seminggu mengisi hari-harinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!