Di tempat lain, jauh dari riuh bel istirahat sekolah, tujuh laki-laki tengah berkumpul di sebuah rumah besar yang sudah lama tak berpenghuni. Dindingnya kusam, cat-catnya mengelupas, namun bagi mereka tempat itu adalah “markas” yang nyaman—tempat di mana mereka bisa bebas dari aturan sekolah, guru, bahkan orang tua.
Sebuah meja bundar tua menjadi pusat dari semua aktivitas mereka sore itu. Di atasnya, sebuah botol kaca bekas minuman bersoda berputar dengan cepat. Gelas-gelas kecil berisi ramuan aneh berjejer di sisi meja—campuran asin, manis, pedas, dan entah apa lagi yang mereka racik secara asal.
Tawa meledak ketika botol berhenti tepat mengarah pada salah satu dari mereka.
“Truth or dare?” suara berat Darren, sang ketua geng, menggema.
Geng itu dikenal dengan nama Ravenclaw—nama yang mereka ciptakan sendiri, bukan meniru, melainkan menegaskan identitas mereka sebagai “raja-raja kecil” yang tak tersentuh aturan.
Darren, sang ketua, adalah figur karismatik dengan tatapan mata tajam dan aura dingin. Meski tak banyak bicara, setiap kata yang keluar darinya seakan punya bobot. Ia tak segan melindungi anggotanya, tapi juga tak segan memberi hukuman jika ada yang berkhianat.
Di sampingnya ada Aksa, wakil ketua. Tegas, setia, dan menjadi tangan kanan Darren. Jika Darren adalah otak dingin, Aksa adalah palu yang menghantam. Tak jarang ia menjadi penengah ketika anggota lain ribut.
Lalu ada Alvaro, si ahli taktik. Otaknya jalan, licin, dan selalu punya rencana matang sebelum mereka bergerak.
Julian, si playboy. Senyumannya bisa bikin gadis manapun klepek-klepek. Tapi di balik pesonanya, ia menyimpan kenakalan yang sering bikin geng kerepotan.
Kenzo dan Axel, walaupun bukan kembar, mereka selalu jadi pasangan yang sulit dipisahkan. Keduanya humoris, jahil, dan selalu jadi pencair suasana. Namun di balik candaan mereka, ada loyalitas yang tidak bisa digoyahkan.
Dan yang terakhir, duduk agak menjauh dengan tatapan kosong namun tajam—Rayven Aurelio Evander Mahendra.
Rayven berbeda. Ia jarang bicara, jarang tertawa, jarang benar-benar menunjukkan perasaan. Jika Darren adalah pemimpin, maka Rayven adalah bayangan yang tak bisa dipisahkan. Banyak yang bilang, kalau saja Rayven mau, ia bisa merebut posisi ketua kapan pun ia inginkan. Tapi Rayven tidak peduli.
“Gila, rasanya kayak racun, bro!” seru Julian setelah menenggak ramuan absurd itu. Wajahnya meringis, membuat yang lain terpingkal-pingkal.
Kenzo menepuk bahu Axel sambil terkekeh. “Besok-besok kita tambahin sambel cabai rawit, biar lidahnya kebakar sekalian.”
Tawa pecah. Semua larut, kecuali Rayven. Matanya hanya terpaku pada botol kaca yang kembali berputar di atas meja.
Ketika botol itu melambat, lalu berhenti tepat mengarah padanya, keheningan mendadak jatuh. Semua tahu, giliran Rayven bukan giliran biasa.
“Truth or dare, bro?” tanya Darren, nadanya setengah menantang.
Rayven mengangkat alis tipis, lalu tersenyum samar. “Dare.” Suaranya rendah, dingin, dan tak memberi ruang untuk keraguan.
Seketika udara seakan menegang. Semua sadar, Rayven bukan tipe yang suka omong kosong. Jika sudah memilih, ia akan melakukannya.
Aksa mencondongkan tubuh ke depan, menatap Darren seolah meminta kepastian. Darren hanya mengangguk pelan sebelum melontarkan tantangan yang akan jadi awal dari cerita besar mereka.
“Malam ini lo harus masuk club, dan minum tiga botol. Sendirian.”
Suasana meledak dengan sorakan. Julian bersiul panjang, Kenzo dan Axel saling tos dengan wajah puas, sementara Alvaro menggeleng pelan tapi tersenyum miring.
Semua menunggu respon Rayven. Namun pemuda itu hanya tersenyum tipis, tatapan matanya berkilat misterius.
“Deal.”
Sederhana. Padat. Tanpa ragu.
---
Siang itu matahari bersinar terik, membuat halaman sekolah terasa gerah meski angin sesekali berembus. Bel istirahat baru saja berbunyi, murid-murid mulai tumpah ruah keluar dari kelas masing-masing menuju kantin. Suara langkah kaki, tawa, dan obrolan riuh bersahutan di koridor panjang.
Di tengah kerumunan itu, Alendra berjalan pelan dengan membawa kotak bekalnya yang disimpan rapi di tas kain kecil. Sebenarnya, ia enggan ikut ke kantin. Bukan karena malu, melainkan karena sudah terbiasa makan bekal sendiri di kelas—lebih tenang, lebih sederhana, dan lebih sesuai dengan sifatnya yang pendiam.
Namun kali ini Selena tak membiarkannya. “Ayo lah, Len. Sesekali lo makan di kantin bareng kita. Masa tiap hari ngurung diri di kelas?” Selena, dengan gaya cerewet khasnya, menarik tangan Alendra tanpa memberi kesempatan untuk menolak.
“Aku udah bawa bekal,” sahut Alendra lirih.
“Bawa aja, siapa juga yang melarang? Tuh bawa, tapi tetep ikut gue.” Selena mengedipkan mata, setengah memaksa, setengah bercanda.
Nayla dan Elvira yang berjalan di belakang mereka hanya saling pandang lalu tertawa kecil. Mereka sudah hafal betul bagaimana Selena selalu berhasil memaksa Alendra ikut dalam kegiatan yang sebenarnya tak ia rencanakan.
Akhirnya, Alendra menyerah. Ia berjalan mengikuti langkah teman-temannya menuju kantin, sambil tetap menenteng kotak bekalnya sendiri.
Namun saat tiba di depan kantin, pemandangan yang mereka lihat cukup berbeda. Biasanya, kantin sekolah selalu penuh sesak, riuh, dan ramai dengan suara teriakan anak-anak yang berebut makanan atau sekadar bercanda. Tapi kali ini, suasananya justru sepi. Kursi-kursi panjang tertata rapi, hanya beberapa siswa yang duduk dan makan dengan tenang.
“Tumben kantin sepi?” gumam Selena sambil mengerutkan dahi.
“Emang biasanya rame?” tanya Alendra heran. Ia jarang sekali menginjakkan kaki ke kantin, bahkan dalam satu semester mungkin bisa dihitung dengan jari.
Selena langsung menoleh, ekspresinya dramatis. “Ya ampun, Len. Lo serius nanya gitu?”
“Kenapa emangnya?” Alendra menatap polos, membuat Nayla dan Elvira hampir ngakak.
Selena menepuk jidatnya sendiri. “Ya jelas lah! Biasanya kantin ricuh banget karena… the one and only, geng Ravenclaw!” serunya penuh gaya, seolah menyebut nama itu saja sudah cukup untuk mengguncang dunia.
Alendra mengerutkan kening. “Ravenclaw? Siapa itu? Baru denger.”
Reaksi Selena langsung seperti tersambar petir. “Astaga naga! Lo beneran gak tau geng Ravenclaw?” suaranya meninggi, membuat beberapa anak di kantin menoleh ke arah mereka.
Alendra refleks menunduk, pipinya memanas karena diperhatikan. “Nggak,” jawabnya jujur sambil menggeleng pelan.
Nayla akhirnya ikut angkat suara. “Wajar sih kalau Alendra nggak tau. Dia kan jarang banget keluar kelas, apalagi ke kantin. Kayaknya fokusnya cuma ke buku doang.”
“Makanya! Nih orang kebanyakan bertelur di kelas, kerjaannya baca atau nulis. Sampe nggak update sama dunia luar.” Selena menghela napas dramatis, lalu merapatkan kursinya lebih dekat ke Alendra. Dengan suara setengah berbisik tapi penuh semangat, ia mulai menjelaskan.
“Geng Ravenclaw itu… kelompok cowok paling terkenal, paling berpengaruh, dan—well—paling ditakuti di sekolah ini.”
Alendra spontan menoleh. “Ditakuti?”
“Ya jelas! Mereka itu… hmm, gimana ya,” Selena menimbang kata-katanya. “Ibaratnya, kalau mereka lagi nongol di kantin, semua orang langsung minggir. Bukan karena mereka tukang berantem doang, tapi karena aura mereka tuh… gede banget.”
Elvira yang sedari tadi diam, akhirnya menimpali. “Bener. Gue pernah lihat sendiri pas minggu lalu. Mereka duduk di meja tengah, ngobrol sambil main kartu. Nggak ada satu pun anak yang berani lewat depan mereka. Semua pada muter jauh.”
“Apalagi ketuanya,” tambah Nayla sambil menyuap bakso goreng ke mulutnya. “Darren namanya. Karismanya tuh… gila banget. Semua anak laki-laki segan sama dia, apalagi cewek-cewek—pada ngefans mati-matian.”
Selena mengangguk cepat. “Terus ada wakilnya, Aksa. Tegas banget, loyal abis. Terus ada Alvaro, si jenius yang pinter bikin rencana. Julian si playboy ganteng yang hobinya gonta-ganti gebetan. Kenzo dan Axel, duo badut kocak yang kerjanya bikin rame suasana. Nah… yang paling misterius—Rayven.”
Begitu nama terakhir disebut, Selena sengaja menurunkan suaranya, membuat atmosfer meja mereka tiba-tiba lebih serius.
“Rayven?” ulang Alendra.
“Iya, Rayven Aurelio Evander Mahendra. Orang paling dingin yang pernah lo liat. Dia jarang ngomong, jarang ketawa, tapi entah kenapa semua orang segan kalau dia udah lewat. Banyak yang bilang, andai Rayven mau, dia bisa ngerebut posisi ketua dari Darren kapan aja.”
Alendra terdiam. Nama itu memang asing, tapi cara Selena menceritakannya seakan membuat sosok itu begitu nyata, begitu menonjol dibanding yang lain.
“Eh, tapi jangan salah,” Elvira menyela. “Banyak cewek yang klepek-klepek sama dia juga. Justru karena misterius itu.”
“Ya, makin dingin, makin laku. Dasar cewek-cewek sekolah ini aneh semua.” Selena mendengus, lalu menatap Alendra yang masih kelihatan bingung. “Pokoknya, kalau lo ketemu geng Ravenclaw… hati-hati. Jangan cari gara-gara, jangan kepo, dan jangan sok kenal. Mereka tuh bukan level kita.”
Alendra hanya mengangguk pelan. Ia sebenarnya tidak terlalu peduli, tapi cerita itu berhasil membuatnya sedikit penasaran.
Mereka kembali menyantap makanan masing-masing. Kotak bekal Alendra kini terbuka, berisi nasi putih, sayur bening, dan ayam goreng sederhana buatan ibunya. Sementara teman-temannya asyik dengan makanan kantin.
Namun bahkan di tengah keheningan itu, nama geng Ravenclaw masih bergema di kepalanya. Entah mengapa, ada rasa tidak nyaman sekaligus rasa ingin tahu yang samar—seakan nama itu bukan sekadar cerita iseng dari Selena, melainkan sesuatu yang kelak akan bersinggungan langsung dengan hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments