Nekat ke Jakarta

Angkot tua itu berhenti di terminal kabupaten tepat pukul satu dini hari

"kamu mau kemana nak ?" kenapa kamu kabur dari rumah kamu ?" tanya sopir angkot itu begitu sampai di terminal

"Aku mau ke ibu kota pak ,aku kabur karena aku tidak mau dinikahkan paksa dengan lelaki yang sudah tua dan sudah mempunyai tiga istri ,untuk membayar hutang bapak tiriku ."

"Astaghfirullah,masih saja ada orang di jaman sekarang ini yang seperti itu ."

"Tapi sekarang masih terlalu pagi ,belum ada bis yang kekota ,nanti adanya jam 6 pagi ,kalau begitu kamu nunggu di warung langganan bapak saja ,biar kamu aman ." kemudian bapak sopir angkot itu mengantarkan Reva kewarung di terminal yang buka 24 jam dan menitipkan Reva disana ,kemudian Reva memberikan ongkos angkot ,namun tidak diterima semuanya ,hanya di terima sebagian saja untuk ganti bensin ,setelah itu sopir angkot pergi kembali kerumahnya .

Reva tidur sebentar di warung itu ,dia segera terbangun , Udara masih dingin, kabut tipis menyelimuti atap-atap bangunan, dan suara ayam berkokok terdengar dari kejauhan. Reva terbangun tubuhnya lelah, kakinya nyeri, tapi matanya bersinar—penuh tekad.

Setelah berpamitan dengan pemilik warung ,Reva segera bergegas menuju loket yang sudah buka .

Ia menoleh ke arah timur, tempat matahari perlahan muncul dari balik bukit. Di sana, di balik cahaya fajar, ia melihat harapan. Bukan kekayaan, bukan kemewahan, tapi kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri.

Dengan uang dau ratus lima puluh ribu di saku dan tas kecil di punggung, Reva membeli tiket bus jurusan Jakarta. Ia tak punya rencana pasti—hanya tahu bahwa di kota besar, orang tak saling mengenal, dan masa lalu bisa dikubur dalam diam.

Bus berangkat pukul enam. Reva duduk di kursi paling belakang, dekat jendela. Ia menatap pemandangan desa yang perlahan berganti menjadi sawah, lalu perbukitan, lalu jalan raya panjang yang tak berujung. Setiap kilometer yang dilalui membuatnya semakin jauh dari Pak Ringgo, dari ibunya yang tega, dari Dian yang sinis… dan dari takdir yang ingin dipaksakan padanya.

***

Jakarta menyambutnya dengan hiruk-pikuk yang asing. Suara klakson, asap kendaraan, gedung-gedung tinggi yang menjulang, dan lautan manusia yang berlalu-lalang tanpa peduli satu sama lain. Reva turun di terminal Kampung Rambutan, bingung, tak tahu harus ke mana.

Ia menghampiri seorang penjual nasi uduk di pinggir jalan. “Mbak, kalau cari kos murah, di mana ya?” tanyanya dengan suara pelan, masih gugup.

Penjual itu menatapnya sejenak, lalu tersenyum. “Kamu dari luar kota, ya? Coba ke daerah Cipayung atau Pondok Gede. Di sana banyak kos-kosan buat anak magang atau buruh pabrik. Seratus lima puluh ribu per minggu.”

Reva mengangguk. Ia membeli sebungkus nasi uduk, lalu berjalan kaki menyusuri trotoar yang penuh genangan. Kakinya lecet, tapi ia tak menyerah. Setelah berjalan hampir satu jam, ia menemukan sebuah kos kecil berdinding tembok retak, dengan papan tulis bertuliskan: **“Kos Putri – Rp150.000/minggu – Listrik + Air”**.

Pemiliknya seorang ibu paruh baya bernama Bu Siti. Matanya tajam, tapi suaranya lembut. “Kamu sendirian?” tanya Bu Siti sambil memeriksa tas Reva.

“Iya, Bu. Saya mau cari kerja di sini,” jawab Reva jujur.

Bu Siti menghela napas. “Anak seumuran kamu biasanya masih sekolah. Tapi… aku nggak akan tanya banyak. Asal kamu jujur, bayar tepat waktu, dan nggak bawa laki-laki masuk, silakan tinggal.”

Reva mengangguk cepat. “Terima kasih, Bu.”

Kamar yang ia dapat sempit—hanya cukup untuk kasur tipis, lemari kecil, dan sebuah meja. Tapi bagi Reva, ini istana. Ini miliknya. Tak ada yang bisa memaksanya di sini.

***

Hari-hari pertama di Jakarta berat. Reva melamar ke mana-mana: toko kelontong, warung makan, bahkan pabrik tekstil. Tapi tanpa ijazah resmi—karena ia belum sempat mengambil ijazah SMA—banyak yang menolaknya.

“Kamu lulusan mana?” tanya seorang pemilik warung.

“SMA, Bu. Tapi… ijazahnya belum saya ambil,” jawab Reva jujur.

Wanita itu menggeleng. “Maaf, sayang. Kami butuh yang bisa bikin laporan keuangan. Minimal punya ijazah.”

Reva pulang dengan hati hancur. Tapi malam itu, ia tak menangis. Ia menulis di buku kecil yang dibawanya:

*“Hari ke-3 di Jakarta. Belum dapat kerja. Tapi aku tidak boleh menyerah. Aku kabur bukan untuk kembali.”*

Pada hari keempat, nasib mulai berpihak. Di depan sebuah minimarket, ia melihat pengumuman: **“Dicari Kasir dan Packing Barang – Wanita, Jujur, Rajin – Gaji Rp2,5 juta/bulan.”**

Ia langsung masuk. Pemiliknya, seorang pria Tionghoa paruh baya bernama Pak Herman, menatapnya dengan alis terangkat. “Kamu masih muda. Kenapa nggak sekolah lanjut?”

“Saya sudah lulus, Pak. Tapi… ada alasan pribadi saya harus kerja sekarang,” jawab Reva, suaranya mantap.

Pak Herman diam sejenak, lalu tersenyum. “Aku lihat matamu. Kamu butuh kerja, bukan cuma cari uang. Baik. Coba kerja seminggu dulu. Kalau cocok, kamu saya ambil tetap.”

Reva hampir menangis karena lega. “Terima kasih, Pak!”

***

Pekerjaannya berat. Ia harus datang pukul tujuh pagi, pulang jam sembilan malam. Kadang ia packing barang sampai tangan lecet, kadang ia melayani pelanggan yang kasar. Tapi ia tak pernah mengeluh. Setiap rupiah yang ia dapat, ia simpan separuh—untuk biaya hidup, separuh lagi untuk masa depan.

Ia juga mulai mengikuti les malam di balai warga dekat kosnya. Guru-guru sukarela mengajar baca-tulis, dasar komputer, dan bahkan persiapan ujian kesetaraan. Reva mendaftar ujian Paket C—setara SMA—dan belajar setiap malam setelah pulang kerja.

Suatu malam, saat ia sedang belajar di teras kos, Bu Siti mendatanginya dengan secangkir teh hangat.

“Kamu beda dari anak kos lain,” kata Bu Siti pelan. “Mereka main HP, nongkrong, pacaran. Kamu malah belajar terus.”

Reva tersenyum. “Saya ingin punya masa depan, Bu. Bukan cuma bertahan hidup.”

Bu Siti mengangguk. “Kalau kamu butuh bantuan, bilang saja. Aku punya teman di kantor kelurahan. Mungkin bisa bantu urus surat-surat biar kamu bisa ambil ijazah asli nanti.”

Air mata Reva hampir jatuh. “Terima kasih, Bu…”

***

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.

Pada minggu kelima, saat Reva sedang melayani pelanggan di minimarket, seorang pria berpakaian rapi mendekat. Ia membawa foto—foto Reva saat masih di desa, sedang mengajar ngaji di masjid.

“Kamu Reva Maharani, kan?” tanya pria itu.

Jantung Reva berhenti sesaat. Ia mengenali pria itu—salah satu kaki tangan Pak Ringgo.

“Siapa kamu?” tanya Reva, berusaha tenang.

“Aku utusan Pak Ringgo. Dia tahu kamu kabur. Tapi dia nggak marah. Malah kasihan. Dia bilang, kalau kamu pulang, hutang bapakmu dilunasi, dan kamu tetap jadi istrinya dengan segala kemewahan.”

Reva menatap pria itu dengan dingin. “Sampaikan pada Pak Ringgo: aku lebih suka makan nasi uduk di emperan jalan daripada makan nasi kebuli di rumahnya sebagai istri keempat.”

Pria itu tersenyum sinis. “Kamu pikir kamu bisa lari selamanya? Desa kecil, Jakarta besar—tapi Pak Ringgo punya koneksi di mana-mana. Bahkan di sini.”

Reva tak gentar. “Kalau dia mau cari aku, silakan. Tapi aku nggak akan pernah kembali. Aku lebih baik mati daripada dijual oleh keluargaku sendiri.”

Pria itu terdiam, lalu pergi.

Tapi Reva tahu—ini belum berakhir.

***

Malam itu, ia tak bisa tidur. Ia takut Pak Ringgo benar-benar menemukannya. Tapi ia juga tak mau lari lagi. Ia sudah terlalu lelah kabur.

Keesokan harinya, ia menghadap Pak Herman. “Pak, saya mau minta tolong. Kalau ada orang tanya saya, tolong bilang saya sudah pindah kerja.”

Pak Herman mengangguk. “Aku nggak tahu urusanmu, tapi aku lihat kamu pekerja keras. Aku lindungi kamu selama kamu jujur.”

Reva menggenggam tangan Pak Herman. “Terima kasih, Pak.”

***

Hari demi hari berlalu. Tak ada lagi utusan Pak Ringgo. Mungkin ia menyerah. Atau mungkin sedang menunggu waktu yang tepat.

Tapi Reva tak peduli. Ia fokus pada hidup barunya. Ia lulus ujian Paket C dengan nilai memuaskan. Ia naik gaji jadi tiga juta. Ia bahkan mulai menabung untuk kuliah—meski hanya di kelas karyawan.

Suatu sore, saat ia berjalan pulang, seorang anak kecil menangis di pinggir jalan. Tas sekolahnya robek, buku-bukunya berceceran. Tanpa pikir panjang, Reva menghampiri, membantunya mengumpulkan buku, lalu memberinya uang untuk beli makan.

Anak itu menatapnya dengan mata berbinar. “Kakak baik banget…”

Reva tersenyum. “Dulu, aku juga pernah ditolong orang saat aku sendirian.”

Di saat itulah ia sadar: kebahagiaannya bukan datang dari uang, bukan dari pernikahan, tapi dari kebebasan memilih—dan dari kebaikan yang ia berikan pada dunia.

Ia mungkin bukan istri juragan tanah. Tapi ia adalah Reva Maharani—gadis desa yang berani melawan takdir, yang memilih jalan sendiri, dan yang percaya bahwa bahagia itu hak, bukan hadiah dari orang lain.

Dan di tengah hiruk-pikuk Jakarta yang kejam, ia akhirnya menemukan damai—dalam dirinya sendiri.

Terpopuler

Comments

kawaiko

kawaiko

Thor, tolong update secepatnya ya! Gak sabar nunggu!

2025-10-03

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!