Bu Marni

“Sudahlah, Andi! Ceraikan saja wanita seperti dia!” ucap Bu Marni dengan nada sinis, matanya melirik tajam ke arah Rani.

Andi mengepalkan tangan, wajahnya tegang.

“Dengar, Rani! Aku nggak mau tahu. Malam ini juga kamu harus kasih uang buat ibu! Jangan banyak alasan lagi!” bentaknya.

Rani terdiam. Tangisnya sudah habis, digantikan rasa perih yang menusuk hingga ke tulang. Ia tahu, membantah hanya akan membuat keadaan semakin buruk.

Perlahan, ia mengangguk.

“Baik, Mas… saya akan cari uangnya.”

Andi hanya mendengus, sementara Bu Marni menatapnya penuh ejekan.

“Huh! Dasar nggak tahu diri. Cepat, sebelum terlambat!”

---

Malam itu, Rani melangkah keluar rumah dengan langkah gontai. Angin malam menusuk kulitnya, namun hatinya jauh lebih beku. Ia memeluk tas kecilnya erat-erat, menelusuri jalanan menuju rumah tetangga yang sering ia mintai bantuan.

Ia mengetuk pelan pintu rumah seorang kenalan, Mbak Sari, tetangga yang bekerja sebagai pedagang kecil.

Pintu terbuka. Seorang wanita berusia tiga puluhan muncul dengan wajah heran.

“Rani? Malam-malam begini… ada apa, Mbak?”

Rani menunduk, suaranya bergetar.

“Mbak Sari… maaf mengganggu. Aku… aku butuh pinjaman uang. Besok akan aku ganti begitu gajiku cair lagi. Tolong, Mbak… ini penting.”

Mbak Sari menghela napas, raut wajahnya ragu.

“Ran, kamu sering banget minjam akhir-akhir ini. Uangku juga pas-pasan buat dagangan besok…”

Rani hampir menangis di tempat.

“Aku mohon, Mbak. Kalau tidak, aku bisa… aku bisa diusir dari rumah. Tolonglah…”

Hening sejenak. Mbak Sari akhirnya melangkah masuk, lalu kembali dengan beberapa lembar uang lusuh.

“Ini cuma ada segini. Aku nggak bisa kasih lebih. Jangan lupa balikin ya, Ran.”

Rani menerima uang itu dengan tangan gemetar.

“Terima kasih, Mbak… terima kasih banyak. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu.”

Ia berjalan pulang dengan hati yang kian hancur. Uang itu memang bisa meredakan amarah Andi dan ibunya untuk sementara, tapi Rani sadar—semakin lama ia bertahan, semakin dalam luka yang harus ia tanggung.

Dengan rasa lelah rani mulai berjalan perlahan menuju rumahnya.

Dengan tangan gemetar, Rani meletakkan beberapa lembar uang lusuh di atas meja. Wajahnya pucat, matanya sembab karena tangis yang ditahan sejak tadi.

“Ini, Mas… Bu. Uang yang kalian minta. Maaf kalau tidak banyak, tapi semoga cukup untuk kebutuhan sementara.” ucap Rani lirih.

Andi langsung meraih uang itu dengan kasar, menghitungnya cepat. Wajahnya berubah sinis.

“Segini doang? Rani, kamu pikir kebutuhan keluarga sebesar ini bisa cukup? Jangan main-main sama aku!”

Bu Marni menatap uang itu dengan tatapan jijik, lalu melirik Rani dari ujung kepala hingga kaki.

“Astaga… segini saja susah payah? Malu aku punya menantu kayak kamu, Ran. Ibarat kata, kamu itu cuma numpang hidup, tapi masih juga nggak bisa ngangkat derajat keluarga ini.”

Rani mencoba menahan air matanya, ia menunduk.

“Maaf, Bu… saya sudah berusaha. Besok saya akan lembur lagi, mungkin bisa dapat tambahan…”

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Andi membanting uang itu ke meja.

“Aku bosan dengan alasanmu, Rani! Kamu itu nggak becus jadi istri. Uangmu selalu habis, nggak pernah cukup. Kamu itu cuma beban!”

Kata-kata itu menusuk dada Rani lebih dalam daripada pukulan mana pun. Tubuhnya bergetar, tapi ia tetap berdiri, mencoba mempertahankan sisa harga dirinya.

“Mas… aku kerja siang malam, sampai tubuhku nyaris tumbang. Semua demi kamu, demi keluarga ini. Apa salahku kalau semua masih terasa kurang? Apa aku begitu tidak berarti di mata kalian?”

Bu Marni terkekeh sinis, suaranya tajam bagaikan pisau.

“Tidak berarti? Betul sekali! Kamu nggak bisa kasih anak, nggak bisa kasih kecukupan, cuma bisa nangis dan nyusahin. Kalau kamu punya malu, Rani, kamu harusnya pergi dari rumah ini!”

Andi menatap istrinya dengan dingin, tanpa sedikit pun empati.

“Kalau kamu nggak bisa berubah, Ran… jangan salahkan aku kalau aku benar-benar menuruti kata ibu.”

Rani terdiam. Dadanya sesak, matanya kosong. Tangannya mengepal di sisi tubuh, berusaha menahan gemuruh hatinya. Malam itu, ia benar-benar sadar… sekeras apa pun ia berkorban, tidak akan pernah cukup bagi mereka.

Setelah puas menerima uang lusuh dari tangan Rani, Andi dan Bu Marni saling bertukar pandang. Andi menyelipkan uang itu ke saku celananya tanpa sepatah kata pun.

“Sudah, Ndi. Ayo pulang. Malas aku berlama-lama di sini. Kalau terus sama dia, darahku bisa naik.” gerutu Bu Marni.

Andi hanya mengangguk, menatap istrinya sekilas tanpa rasa bersalah, lalu melangkah keluar bersama ibunya. Pintu menutup dengan bunyi keras, meninggalkan Rani seorang diri di ruang tamu yang hening.

Rani menatap pintu itu lama sekali. Wajahnya pucat, matanya kosong. Hatinya perih seolah teriris ribuan pisau. Tubuhnya begitu lelah, baik fisik maupun jiwa. Ia tahu, air matanya sudah tak berguna.

Perlahan, ia menyeret langkah masuk ke kamar. Lampu tetap padam, hanya cahaya redup dari luar yang menembus tirai tipis. Rani merebahkan tubuhnya di ranjang, menarik selimut tipis untuk menutupi tubuh yang menggigil. Perutnya keroncongan, tapi ia tak punya tenaga untuk memasak atau sekadar mencari makanan.

“Aku lapar… tapi biarlah. Mungkin tidur bisa mengusir rasa sakit ini…” bisiknya pada diri sendiri.

Mata Rani terpejam, meski hatinya terus terjaga oleh luka.

---

Pagi harinya, alarm ponsel tua berbunyi nyaring. Rani membuka mata dengan kantung mata membiru, tubuhnya masih terasa berat. Ia bangkit perlahan, menatap bayangan dirinya di kaca yang kusam. Wajah cantiknya tampak pucat, bibirnya kering.

Ia membuka lemari, memilih seragam kerjanya yang sudah mulai pudar warnanya. Setelah berganti pakaian, ia langsung mengambil tas usang yang sudah menemaninya bertahun-tahun bekerja di pabrik.

Tanpa sempat makan atau sekadar meneguk air hangat, Rani keluar rumah. Perutnya kosong, tapi waktu tak bisa ditawar. Pabrik menunggu, mesin-mesin menunggu, lembur panjang menunggu.

Di sepanjang jalan, langkahnya gontai. Sesekali ia merasakan pusing yang menusuk kepala. Namun di wajahnya, ia tetap berusaha memasang senyum tipis ketika berpapasan dengan tetangga. Ia tidak ingin ada yang tahu, bahwa di balik senyum itu, ia sedang menahan lapar… dan luka.

Dalam hatinya, Rani berbisik lirih,

“Semoga hari ini aku kuat. Aku harus kuat… meski untuk diriku sendiri tak ada yang peduli.”

Mesin-mesin pabrik berderu, suara logam beradu tak henti. Rani duduk sejenak di sudut ruang istirahat, mencoba meneguk air putih dari botol minumnya. Wajahnya masih pucat, tubuhnya lemas karena belum sarapan.

Tak lama kemudian, seorang wanita dengan rambut diikat tinggi dan wajah penuh ekspresi kesal menghampirinya. Dia adalah Nadia, sahabat dekat Rani yang sudah lama tahu lika-liku rumah tangganya.

“Ran, aku nggak habis pikir sama kamu!” suara Nadia terdengar tajam. “Kamu kerja banting tulang tiap hari, tapi uangmu habis buat suami dan keluarganya. Kamu ini sadar nggak sih, kamu cuma dijadiin mesin ATM, bukan istri!”

Rani menunduk, menatap jemarinya yang saling meremas.

“Nad… jangan bilang gitu. Bagaimanapun, mereka keluarga Mas Andi. Aku… aku hanya berusaha jadi istri yang baik.”

Nadia mendengus, meletakkan tangannya di pinggang.

“Istri baik? Istri baik itu bukan berarti ngorbanin diri sendiri sampai kelaparan, Ran! Lihat kamu sekarang, pucat, kurus, hampir roboh. Itu bukan pengorbanan, itu penyiksaan! Kamu sadar nggak, mereka nggak pernah mikirin kamu?”

Rani menghela napas panjang. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya memaksa tersenyum getir.

“Aku tahu, Nad… tapi aku masih mencintai Andi. Aku nggak mau rumah tangga ini hancur.”

Nadia menepuk meja kecil di hadapan mereka, emosinya meledak.

“Ran! Cinta itu nggak buta kayak gini. Kalau Andi benar cinta sama kamu, dia nggak bakal biarin kamu menderita sendirian. Dia nggak bakal nurutin ibunya terus sampai kamu diperas habis-habisan!”

Rani terdiam. Kata-kata Nadia menusuk hatinya, karena itulah yang sering ia tanyakan pada dirinya sendiri tiap malam.

Dengan suara serak, ia berbisik,

“Kalau aku pergi, Nad… aku takut. Aku nggak punya siapa-siapa. Aku… aku cuma punya Andi.”

Nadia menatapnya iba, meski wajahnya masih kesal.

“Ran… kamu salah. Kamu masih punya dirimu sendiri. Jangan sampai kamu kehilangan harga dirimu gara-gara orang yang nggak tahu berterima kasih. Suatu hari, kalau kamu terus begini, kamu bisa benar-benar hancur.”

Rani menunduk semakin dalam, air matanya jatuh diam-diam ke lantai. Ia tahu sahabatnya benar. Tapi hatinya… masih terikat pada cinta yang kian lama hanya memberinya luka.

Terpopuler

Comments

AlikaSyahrani

AlikaSyahrani

sadar rani sadar kamu itu cuma dimanfaatkat oleh kelurga suamimu

2025-10-16

0

Sulfia Nuriawati

Sulfia Nuriawati

jd cwek kok bodoh nya minta ampun, g nyadar cm jd ATM bkn cinta oon🐯🐯🐯

2025-10-16

0

Wanita Aries

Wanita Aries

Ihhh mmng sih kl udh dibutakan cinta ya gtu jd tolol

2025-10-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!