Babak Pertama Dimulai

Khalil membuka pintu ruang kesehatan, ia tersentak saat melihat Merah sudah berada di luar pintu "Merah? Lo disini?" tanyanya sambil menetralkan detak jantung akibat terkejut.

"Oh? Ya. Gue lagi mau nemuin Arsya sama Dion" Sahutan Merah membuat Khalil mengernyitkan dahi bingung, juga Farhan yang berada di belakang Khalil.

"Arsya? Dion? Kenapa mereka berdua?" Belum sempat dijawab, gadis itu beranjak masuk ke ruang kesehatan. 

Merah menghembuskan nafasnya "Yuna dan temannya mendorong Arsya kedalam kolam sebagai ucapan ulang tahun, lalu Dion menyelamatkan nya" Merah menyahut lantas melangkah lagi untuk melihat ke ranjang yang lain.

"Astaga, mereka lagi mereka lagi” Khalil menarik nafasnya dalam-dalam. Kalau bicara soal Yuna, yang menurut sebagian temannya menyukai Dion. Memang tidak ada bedanya dengan Hagian. Sikap sarkas dan selalu ingin menang sendiri. Mungkin bentuk perlakuan karena dia cemburu Dion lebih sering bersama Arsya, daripada bersamanya.

"Arsya, lo nggak papa?" Dion berujar, membantu Arsya duduk.

Tepat saat Khalil, Merah, dan Farhan memilih untuk menghentikan tubuh mereka dibelakang tirai. Mendengar percakapan dua softspoken itu.

"Gue nggak papa, tenang aja”  Sahut Arsya "Dion, lo kok masih basah sih? Aturannya lo ganti baju”

"Gue nunggu lo bangun, Sya” Sahutan Dion membuat mereka saling bertatapan sebelum sama-sama mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Ah! Lo nggak tahu gue khawatir banget sama lo"

Dion menghembuskan nafasnya pelan. Lantas berujar sambil menatap Arsya kembali.

"Gue kira lo bakal ninggalin gue” Ujarnya pelan.

Arsya terdiam sesaat, wajah sempat memanas saat mendengar suara lembut Dion, namun pandangannya justru tak sengaja melihat ke arah tangan pria itu yang gemetar.

"Apa ini?"

"Bukan apa-apa," Sahut Dion.

Arsya dan Dion saling pandang dalam diam, membiarkan telapak tangan mereka saling bertemu. Sebelum pandangan mereka teralih pada beberapa orang yang berada di belakang tirai.

"Aduh! Sial! Kenapa dorong gue sih!?" Khalil berujar kesal, lantas menampilkan senyum canggung saat Arsya dan Dion menatap ke arah mereka. Bersamaan dengan Arsya dan Dion yang melepaskan tautan tangan satu sama lain.

"Astaga! Sorry! Gue nggak maksud ganggu waktu kalian berdua!"

"H-Hah? Kita nggak—" Mereka berdua saling mengelak. Sementara Khalil terkekeh mendapati wajah mereka yang memerah karena menahan malu.

Lantas Yuna dan teman-temannya dengan mudahnya datang ke ruang kesehatan, mengajukan diri untuk meminta maaf kepada Arsya.

“Lo baik banget sih maafin mereka?” Bisikan Khalil sempat membuat Arsya mendongak. Walaupun tidak begitu keras, namun tetap bisa didengar oleh semua orang yang ada di ruangan ini.

“Udah nggak papa, gue udah maafin kalian kok” ujarnya tetap tenang.

Disaat semua orang kesal dengan Yuna and the geng, Arsya justru dengan tegas melapangkan dadanya. Memberi kesempatan kembali walau bisa dikatakan semua yang mereka lakukan, cukup berlebihan.

“Gue cuman bercanda kok, Sya”

Khalil mendengus, “bercanda mulu kalian, kayak ini tuh panggung stand up aja”

Arsya meraih lengan Khalil, mengisyaratkan agar pria itu segera menghentikan ucapannya.

“Nggak papa”

“Serius? Makasih ya, Sya”

Arsya mengangguk. Membiarkan Yuna dan teman-temannya meninggalkan tempat.

“Lo mau balik ke kamar nggak, Sya?” Tanya Merah yang dibalas anggukan kecil.

Dengan bantuan Dion dan Merah, menopang tubuh Arsya meninggalkan ruang kesehatan. Sementara Khalil dan Farhan mengikuti dari belakang. Cukup peduli dengan kedatangan Agil dan Sinta.

“Dion, gimana ya? Kita tiba-tiba nggak bisa hubungin mereka, terus nggak ada sinyal juga” ujar Agil pelan.

 "Dia bener, apa yang bakal kita lakuin sekarang?" Sinta ikut berujar.

Dion menghembuskan nafasnya, "Nggak ada yang bisa kita lakuin sekarang, selain nunggu Pak Cipto balik. Gue bakal periksa besok"

Tidak ada yang membantah. Mereka mengangguk, mengiyakan ujaran Dion. Lantas pergi menuju lorong penginapan. Sebagian murid masih sibuk dengan kegiatan mereka, karena tidak ada pengawasan dari guru.

"Hei! Kalian kembalilah ke dalam kamar dan tidurlah, berhenti membuang waktu”

"Benar. Kalian tidur, gue sama Dion bakal periksa lagi besok” Timpal Yuna.

"Lihat! Dia pura-pura baik sama lo, supaya lo mau maafin dia” bisik Khalil tepat saat mereka saling berjalan berdampingan.

"Yang dibilang Khalil bener" Timpal Merah.

"Aish, gue yang kesel sama dia”

“Udahlah, lagipula gue nggak papa” ujar Arsya dengan pelan sambil berjalan disebelah Dion.

“Brengsek! Lo pada udah janji bakal main semalaman!” Suara teriakan Bima terdengar cukup keras, mengalihkan atensi mereka.

“Astaga lo masih mau main setelah apa yang udah terjadi?” Tanya Endru yang sudah ingin segera beranjak ke ranjang.

"Udahlah, tidur aja” timpal Ditto pelan pada Bima. Sementara Bima berusaha mengendalikan dirinya untuk tidak lagi berdebat dengan kedua temannya itu.

Suara bel berbunyi seperti sebelumnya. Mengisi setiap sudut ruangan sebagai alihan pandangan dari murid-murid yang ada.

Satu Menit Lagi Untuk Memilih.

"Bima mafianya!" Sinta berseru, membalas Bima yang sempat menyebutnya sebagai Mafia, dalam permainan yang sedang mereka lakukan.

"Enggak, lo yang mafia!" Balas Bima sedikit merutuk. Membuat mereka saling menunjuk satu sama lain karena tidak terima.

"Udahlah!" Endru menyela, dengan tangan terulur disela-sela pertengkaran teman-temannya, "Jadi, Warga yang nggak bersalah udah Mati dan Mafia yang menang"

"Tapi siapa Mafianya!?" Sinta bertanya dengan suara keras dan tentu dengan kebingungan karena belum kunjung menemukan siapa dalang dibalik permainan yang mereka lekukan.

"Ya jelas, itu lo!" Ujar Bima sontak, membuat mereka tertawa bersama dibelakang dengan suara yang sedikit mengganggu yang lain.

"Bukan gue! Ayo kita main ulang!" Sinta mendengus kesal saat Bima menuduh dirinya lagi. Lantas mereka serempak setuju untuk mengulang permainannya.

"Cih, berisik banget sih!" Hagian berdecak kesal. Harusnya perjalanan menuju karyawisata siang ini bisa dia nikmati dengan damai di alam mimpi, tapi mereka justru menganggu tidur siangnya.

Jihan beranjak dan memukul kedua orang yang duduk di depannya. Lantas berbalik pada Wira yang terduduk di bangku belakangnya, "Lo bisa pukul mereka biar diam nggak sih!?"

Wira berdecih, lalu memukul kursi nya, "Brengsek! Tutup mulut kalian atau gue pukul satu-satu!" Wira berteriak mengancam, membuat sekelompok murid yang menguasai kursi belakang bus dengan permainan mafia mereka, terdiam.

Bicara soal Hagian, Jihan, dan Wira. Mereka itu satu geng alias brandalan di kelas yang suka sekali berkuasa. Jadi tak heran kalau semua siswa di kelas malas berurusan dengan mereka. Yang notabennya suka sekali menggunakan kekerasan, jika keinginan bosnya (Hagian) tidak di turuti.

"Huh! Sok berkuasa banget sih!" Melanie berdecak, lantas memilih bermain dengan ponselnya.

Khalil mengerjab tepat saat notifikasi di ponsel mereka berbunyi. Sebuah layar yang menampilkan trimer yang berjalan mundur, dari 60 detik pertama.

Saat semua orang kebingungan dengan segala sesuatu yang terjadi, Khalil masih tetap ada di posisinya. Menatap layar ponsel tanpa bergeming sedikitpun.

“Khal, lo udah milih?”

Mendapati seseorang datang dan berada di sampingnya membuat Khalil menoleh, tepat saat Agil mengintip layar ponselnya.

“Hah? Udah tadi, lo gimana?”

Agil terkekeh karena kejutnya membuat Khalil sempat tersentak, “udah”

“Lo milih siapa?”

“Gue milih Bima”

“Bukannya emang dia mafianya?”

“Pas kita main di bus dia mafianya dan pinter banget sembunyi dari kita”

Suara bisikan yang terdengar sempat membuat Khalil berpikir sekali lagi bahwa ini hanyalah permainan biasa. Yang di ciptakan Bima, pria yang juga sedang kebingungan disini.

"Kalau Bima yang nyiptain game ini, kenapa dia kaya orang nggak tahu apa apa?"

Pemungutan Suara Telah Berakhir.

"Ah! Gue yakin dia dapet suara terbanyak!" Sinta berujar, jari telunjuknya menunjuk ke arah Bima, "Lagipula lo yang buat ini, kan?" Lanjutnya.

"Apa maksud lo?” Bima balik bertanya, “Kalian juga kenapa milih gue? Jangan bikin ini jadi membosankan”

Bima Dengan Suara Terbanyak, 24 Suara Akan Dieksekusi.

"Udah gue duga!”

"Dia mendapat suara terbanyak?"

"Selamat tinggal”

"Ini bukan cuman permainan"

Bima meremas rambutnya dengan kasar bersama rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Sementara murid yang lain hanya terdiam melihat perlakuan Bima, berusaha memahami apa yang sedang terjadi saat Sinta, dan temannya yang lain justru tertawa.

"Ck, Ck. Dia mulai lagi” Ujar Sinta.

“Eh, kalo dia bercanda kenapa keliatan banget kesakitan?!” Agil menarik lengan Khalil saat pria itu hendak menghampiri Bima.

“Kalo dia bercanda, ya udah kan?” Agil hanya berusaha untuk tidak memperkeruh keadaan. Lagian benar juga kata Sinta kalau pria itu handal soal menipu teman-temannya saat bermain.

Sementara Khalil, dia masih cukup belum yakin bahwa sebuah kebercandaan itu terlihat semenegangkan ini. Bima semakin melukai dirinya sendiri dengan tenaga yang tersisa. Seruan dari mulut Bima pun membuat semua orang yang ada di lorong mulai mundur selangkah karena ketakutan.

“Gil, kayaknya sakit beneran deh” Agil kembali menahan tubuh Khalil. Menatap bagaimana kacaunya Bima.

Endru menjulurkan tangannya untuk membantu Bima berdiri, “nggak ada yang peduli lo akting, jadi hentikan” namun dengan kasar, Bima menepisnya. Beranjak membenturkan tubuhnya pada dinding terdekat.

“Bima?!”

“Eh woi?! Kenapa tuh anak!”

“Bim, lo kenapa?!”

Khalil mematung saat seisi lorong mulai khawatir dengan perlakuan Bima pada dirinya sendiri.

“Bima, udah!” Ditto berusaha mendekatkan diri, menenangkan Bima yang belum kunjung menghentikan kegiatannya.

“Ditto, jangan!”

Pria itu menoleh ke arah Khalil. Menatap keseriusan yang tampak tegang di mimik wajah Khalil. Bersama gelengan kecil dari Arsya yang berdiri tak jauh darinya.

“Dia gila?”

“Takut banget”

“Dia kenapa sih?!”

Tepat saat tubuh Bima tersungkur ke lantai. Gerakan kecil mengejutkan semua orang. Saat wajah remuk penuh darah itu menampilkan ekspresi datar dengan tatapan kosong putih legam.

Yang lebih mengejutkan ketika posisi berlutut jadi pusat yang paling menegangkan. Dengan kedua tangan yang berada di lantai. Bima menghantam kepalanya sendiri ke lantai.

“Bima?!”

“Khal, bahaya?!” Agil lagi dan lagi menarik tubuh Khalil yang terus memaksakan diri untuk menyelamatkan Bima.

"ASTAGA!"

"HEY APA YANG DIA LAKUKAN?"

"HENTIKAN DIA!"

Suara teriakan histeris terdengar dari seluruh murid kelas.

Khalil mematung melihat apa yang dilakukan oleh Bima, terdiam dan tidak berkutik sedikitpun. Bahkan setelah berusaha membunuh dirinya sendiri, Bima masih saja melancarkan aksinya dengan menghantam tubuhnya ke pintu kaca.

“Hentikan!” Endru memecah ketegangan. Namun perlawanan justru terasa dua kali lipat dari biasanya. Sebelum akhirnya, tubuh lemah itu beranjak, tertatih melewati lorong. Bersama ketakutan ketakutan teman-temannya.

“Bima? Mau kemana?!”

Bima berlari, sekali lagi menghantam pada jendela kaca yang jadi pelindung pada bangunan ini.

Brughhh…

“Sialan!” Pekik Khalil tepat saat keringat terjatuh membasahi pelipisnya. Dia bahkan tidak bisa bernapas dengan normal saat mendapati hal yang dilakukan Bima itu bukan suatu yang normal.

Lantas suara dari alat suara mulai berbunyi, membuat mereka mengalihkan perhatian mereka pada suara itu.

Bima adalah Warga.

"ASTAGA!"

"Kaki gue— lemas banget, kayak mati rasa"

"Kenapa ini bisa terjadi?"

"Apa yang barusan terjadi?"

"Gue bakal—" Ujaran Khalil terhenti, saat suara alunan musik terdengar di telinga mereka. Semuanya menjadi gelap dan terasa berat sebelum semua murid tersungkur ke lantai.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!