Gisva tersenyum dan mengangguk. “Makasih ya kak.”
Naresh ikut tersenyum. "Sama-sama, Gis. Sekarang, apa rencanamu?”
Gisva menghela napas. "Aku juga gak tau. Mungkin aku akan resign dari butik. Aku butuh suasana baru, tempat baru, dan pekerjaan baru. Mungkin aku akan pergi merantau saja kak."
Naresh mengangguk mengerti. "Aku paham Gis, tapi kemana kamu akan pergi?."
Gisva menggeleng. “Belum tau.”
“Kenapa gak tinggal disini aja?”
Dahi Gisva mengernyit.
“M-mm.. Maksudnya, kamu bisa tinggal di apartemen ini. Na-nanti a-aku, aku tinggal dirumah papah.” Jawab Naresh gugup.
Gisva menghela nafas panjang. “Maaf kak, aku gak mau ngerepotin kakak lagi. Aku akan keluar kota saja, cari suasana baru. Atau mungkin jadi TKW ke luar negeri.”
“Jangan!”
Gisva menatap Naresh bingung.
“Maksudnya, kamu gak usah keluar negeri Gis, di Indonesia masih banyak kok tempat-tempat yang nyaman.” jawab Naresh gugup.
Gisva mengangguk. “Iya kak. Gimana nanti aja.”
Naresh menatap Gisva dengan tatapan serius. "Gis aku mau ngomong sesuatu, aku tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi aku harus mengatakannya sekarang.”
“A-aku... aku sudah lama menyukaimu, sejak kita SMA dulu."
Gisva terkejut mendengar pengakuan Naresh. Ia tidak menyangka bahwa Naresh, kakak kelas yang dulu ia kagumi, ternyata menyimpan perasaan padanya.
"Kak... a-aku..." Gisva kehilangan kata-kata.
Naresh mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Gisva. "Aku gak mengharapkan jawaban apa pun sekarang, Gis. Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku. Dan aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi."
Gisva menatap Naresh dengan tatapan haru. Ia merasa tersentuh dengan ketulusan Naresh.
"Makasih, kak. Tapi…" ucap Gisva lirih.
Naresh tersenyum. "Sudah, jangan dipikirkan. Sekarang, lebih baik pikirkan bagaimana caranya agar kamu bisa bahagia kembali.”
Lalu Naresh berpikir sejenak. "Gis, gini aja. Untuk sementara, kamu tinggal di apartemenku aja. Aku yang akan pindah ke rumah orang tuaku, biar kamu lebih leluasa dan nyaman."
Dahi Gisva mengernyit. "Kak... aku gak mau ngerepotin kakak. Aku bisa cari kos-kosan atau kontrakan kecil kok."
Naresh menggeleng. "Gak ada ngerepotin sama sekali, Gis. Aku seneng kok bisa bantu kamu. Lagian biar lebih aman, pengamanan disini cukup ketat, mengingat mantan kamu bukan orang sembarangan Gis."
Gisva terdiam, menimbang-nimbang tawaran Naresh. Ia merasa tidak enak terus merepotkan Naresh, tapi di sisi lain, apa yang Naresh katakan memang benar. Bukan masalah besar untuk Pandu cepat menemukan keberadaannya nanti.
"Tapi, kak..." ucap Gisva ragu.
Naresh tersenyum meyakinkan. "Udah, gak usah tapi-tapian. Aku janji, aku gak akan ganggu kamu. Kamu bisa anggap apartemen ini seperti rumah sendiri. Kalau kamu butuh apa-apa, jangan sungkan bilang ya."
Gisva menatap Naresh dengan tatapan haru. Ia merasa tersentuh dengan kebaikan dan ketulusan pria itu.
"Makasih, kak." ucap Gisva lirih. "Aku gak tahu harus membalas kebaikan kakak dengan cara apa.”
“Nikah aja gimana?” celetuk Naresh.
“Hah? Ma-maksudnya kak?”
“Heheh. Nggak kok, bercanda Gis.” Jawab Naresh. Pria itu meraih ponselnya dari meja, ada panggilan masuk dari seseorang.
“Bentar ya Gis, aku angkat telpon dulu.” Pamitnya menuju ruang tengah.
Gisva mengangguk dan terdiam menatap langkah Naresh yang menjauh. Jantungnya terus berdegup kencang mendengar celetukan Naresh barusan, ia tidak tahu apakah Naresh serius atau hanya bercanda.
Naresh berjalan menjauh untuk menerima telepon. Gisva memperhatikan gerak-gerik pria itu, Naresh berbicara dengan serius, sesekali mengerutkan kening dan mengangguk. Gisva merasa penasaran dengan siapa Naresh berbicara.
Setelah beberapa menit, Naresh kembali menghampiri Gisva. Ia memasang wajah tak enak.
"Gis, maaf ya. Aku harus pergi sekarang." ucap Naresh.
"Pergi? Kemana kak?" tanya Gisva.
"Ada urusan kerja, cukup mendesak." jawab Naresh. "Kamu gak apa-apa kan aku tinggal sendiri di sini?"
Gisva mengangguk. "Gak apa-apa kak. Hati-hati ya."
Naresh tersenyum. "Iya Gis. Kalau ada orang yang datang gak usah buka pintu, biarkan saja. Terus kalau kamu mau keluar, jangan lupa kunci pintu ya. Langsung hubungi aku kalau ada apa-apa."
"Iya, kak." jawab Gisva.
Naresh mengacak rambut Gisva pelan. "Kamu istirahat aja ya. Jangan terlalu dipikirin masalah kemarin. Aku yakin, kamu pasti bisa melewati semuanya." Naresh bergegas pergi meninggalkan apartemen.
...****************...
Setelah Naresh pergi, Gisva merasa sedikit canggung berada di apartemen mewah itu sendirian. Ia berjalan menuju jendela dan menatap pemandangan kota yang ramai.
Gisva menghela napas panjang, mencoba menenangkan jantungnya yang masih berdebar-debar. Ia memalingkan wajah dari jendela, lalu berjalan menuju sofa.
Ucapan Naresh tadi masih terngiang jelas di telinganya, ditambah celetukannya yang begitu ringan diucapkan.
Gisva tak menyangka kalau Naresh, kakak kelas yang dulu ia kagumi, ternyata menyukainya sejak lama. Ia merasa tersanjung dan terharu. Entah kenapa di balik candaan itu, Gisva merasa ada sesuatu yang serius.
Hingga hampir seharian ini Gisva memikirkan langkah untuk selanjutnya. Gisva gak mau untuk terus merepotkan orang, apalagi kalau harus bergantung hidup.
...****************...
Sore hari, Naresh masih belum pulang. Gisva benar-benar sendirian di apartemen itu. “Ini Kak Naresh bercanda kan. Masa iya aku tinggal sendiri disini, agak horor juga.”
Gadis cantik berambut panjang itu berjalan mondar-mandir di ruang tamu, merasa gelisah dan tak nyaman.
"Apa aku pergi aja dari sini, ya?" gumamnya pada diri sendiri. "Tapi, aku mau kemana? Aku gak punya siapa-siapa."
Gisva merasa tidak pantas untuk tinggal di tempat seperti ini. Ia merasa seperti orang asing yang tersesat di dunia yang bukan miliknya.
"Tapi aku harus bisa mandiri." gumamnya lagi. "Aku harus cari kerjaan baru dan tempat tinggal sendiri. Aku gak bisa terus bergantung pada orang lain.”
Gisva menatap ke arah dapur, perutnya terasa lapar. Gisva baru ingat, kalau hari ini dia hanya sarapan tadi pagi saja.
"Apa aku masak aja, ya. Aku yakin malam ini kak Naresh bakal pulang ke apartemen ini kok."
Dengan langkah gontai, Gisva berjalan menuju dapur. Ia membuka kulkas dan menemukan berbagai bahan makanan segar yang tertata rapi. Ada beberapa potong ayam, daging sapi, ikan, sayuran, dan buah.
Sebuah ide muncul di benak Gisva,
"Oke, aku akan masak ayam goreng mentega." gumamnya. "Sayurnya capcay aja deh."
Gisva mulai menyiapkan bahan-bahan dan peralatan masak. Ia mencuci sayuran, mencuci ayam, dan menyiapkan bumbu-bumbu.
Aroma harum mulai memenuhi dapur saat Gisva menumis bumbu, Gisva berdiri di depan kompor dengan rambut yang dicepol asal. Pakaian rumahan membuatnya semakin terlihat cantik dan bersahaja. Pikirannya melayang, membayangkan nanti Naresh akan menikmati masakannya, sebagai ungkapan rasa terima kasih.
Dan semua itu tak lepas dari pandangan Naresh, pria itu datang hampir sepuluh menit yang lalu. awalnya dia lupa kalau ada orang lain di apartemennya, Naresh terpaku di ambang pintu dapur mengamati Gisva yang sibuk dengan wajan.
Gisva berbalik badan, hendak mengambil bawang daun di kulkas. Matanya membulat sempurna menatap seorang pria yang tengah memperhatikannya.
"Kak Naresh! Ya ampun, Kakak sudah pulang? Sejak kapan di situ?" tanya Gisva sedikit gugup.
Naresh tersenyum, berjalan menghampiri Gisva yang masih terpaku. “Belum lama kok.”
“Kak, maaf ya.”
Bersambung..
Happy reading😍😍. Komentar dan sarannya ditunggu yah.. 😉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments