BAB. 5

Terlalu terbuai dengan pemikirannya, membuat Ali tanpa sadar menyeruput kopinya yang masih mengepul.

Ali menyemburkan kopinya dengan wajah merah padam.

"Huh panas, panas! Asatagaaa kamu sengaja buat kopi panas kaya gini, Mar? Kamu mau bakar bibir aku?" gerutu Ali dengan penuh emosi.

Mariam menggeleng gak habis pikir, "Udah tau itu kopi panas, bang! Kenapa juga langsung diminum?" serunya dengan suara yang lemah lembut.

"Banyak alasan kamu, Mar! Aku tau nih! Pasti kamu kan yang ajarin Ratih bohong sama aku?" tuduh Ali.

Mariam mengerutkan keningnya gak percaya, "Astagfirullah, bang! Mariam ngajarin Ratih bohong apa sama abang?"

Tin.

Suara klakson mobil bak berwarna hitam baru aja berhenti di depan pekarangan rumah Ali, menarik perhatian ke duanya.

"Pak, saya disuruh ambil tanaman bu Hesti!" seru seorang pria muda yang baru aja turun dari mobil.

"Iya pak! Udah saya siapin semua tanamannya! Tinggal di angkut ke mobil!" seru Ali, seakan gak terjadi apa-apa.

"Lu urus tuh anak lu yang benar! Jangan sampe gua dapat malu gara-gara kelakuan anak lu!" herdik Ali penuh penekanan, lalu mengembalikan secangkir kopi pada Mariam sebelum menghampiri sang supir.

"Lah pan Ratih anak lu juga, bang!" gerutu Mariam, melangkah masuk ke dalam rumah.

Ali tidak memperdulikan ucapan istrinya. Dia segera menghampiri orang yang baru saja turun dari mobil itu.

"Ini semua tanaman yang di beli bu Hesti, pak?" tanya supir, menatap semua tanaman yang ditunjukkan Ali dengan tatapan gak percaya.

"Iya benar ini semuanya." timpal Ali.

"Gimana cara mindahinnya ke mobil, pak? Ini tanaman sebanyak gini?" tanya supir itu bingung.

"Nanti saya bantu masukin ke mobil, dibuka aja dulu itu pintu mobilnya!" celetuk Ali, langsung meraih tanaman yang ada di pot terlebih dahulu untuk ia masukkan ke dalam mobil bak.

"Boleh deh, pak!" ucap supir, langsung membuka pintu mobil.

Jaka yang baru pulang sekolah, berbinar senang. Melihat ada mobil bak berhenti di depan pekarangannya.

‘Wah ada sumber dana buat nabung nih! Bantuin ah!’ batin Jaka.

"Saya liatin aja ya, pak! Kalo saya bantuin bapak, takut nya saya malah ngerusak tanaman yang udah di beli bu Hesti!”"celetuk supir dengan menyilangkan kedua tanganya di depan dada. Seakan tengah memandori kerjaan Ali. Terlihat sekali dia pemalas, bukan karena takut tanaman itu rusak.

"Iya!"jawab Ali singkat, dengan segala kekurangan fisiknya. Tanpa lelah, tanpa mengeluh, ia berhasil memindahkan beberapa tanaman yang sudah dibeli ke bibir mobil bak yang nantinya akan ia susun.

"Beh! Biar Jaka bantu ya! Jaka yang tata di atas mobil ya, beh!" kata Jaka, putra ke dua Ali dan Mariam, menwarkan bantuan pada ayahnya.

"Bagus dah kalo lu punya pikiran buat bantu babeh, tong!" kata Ali, tanpa perlu menaiki mobil bak untuk menata semua tanamannya.

"Gak ganti seragam dulu kamu, tong?" tanya supir, melihat Jaka yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, hanya meletakkan tas ranselnya bersandar pada roda ban bakang mobil bak.

Dengan semangat 45, Jaka mulai menata semua tanaman yang sudah dipindahkan sang ayah ke bibir pintu mobil bak.

"Gak, bang! Buang waktu yang ada!" kilah Jaka tanpa menghentikan aktivitasnya.

Sementara di dalam rumah kediaman Ali.

"Kamu ngomong apa sama babeh, Tih? Apa benar kamu ditemani Damar ke rumah nenek Somaya?" tanya Mariam dengan penuh hati-hati. Dia hanya ingin kejujuran dari putrinya.

Suratih yang duduk di tepian tempat tidur, hanya bisa mencengkram kain sprai yang ia duduki. Dia juga tidak ingin berbohong sebenarnya. Tapi pasti ayahnya akan sangat marah padanya kalau tahu dia sengaja janjian dengan Damar.

"Kita ketemu gak sengaja, bu! Bang Damar na- nawarin diri buat anter Ratih! Ratih udah nolak. Tapi bang Damar maksa!" dusta Suratih dengan gugup.

Mariam yang mengenal anaknya, merasa apa yang dikatakan anaknya itu tidak sepenuhnya benar. Mungkin memang semuanya tidak benar malah. Namun dengan tenang, Mariam berkata,

"Ibu tau kamu lagi berbohong, Tih! Kamu bisa jujur kan sama ibu? Ibu gak akan marah kalo kamu jujur, Tih!” desak Mariam dengan nada meyakinkan. Dia benar-benar ingin anaknya jujur padanya.

Suratih menelan salivanya dengan sulit, tapi kalau dia jujur, ibunya mungkin akan mengatakan pada ayahnya. Dia takut ayahnya marah.

"Ratih jujur sama ibu, bang Damar temenin Ratih ke rumah nenek. Kita gak ngapa-ngapain kok bu! Ibu bisa tanya nenek, cing Nimah, kalo ibu gak percaya Ratih!" dia berusaha untuk meyakinkan ibunya.

‘Maafin Ratih ya Bu, Setidaknya untuk saat ini, bu! Tapi maaf setelah ini mungkin Ratih dan bang Damar akan mengecewakan kalian para orang tua, ini semua karena ego kalian sebagai orang tua! Kalian tega mau misahin Ratih dan bang Damar yang saling cinta!’ batin Suratih dengan tatapan yang sulit di artikan.

Suratih merasa orang tuanya egois, padahal orang tuanya juga berpikir seperti itu demi kebaikannya.

Mariam mengelus puncak kepala Suratih penuh kasih sayang.

"Kalian udah gak ada hubungan apa apa kan, Tih? Ingat loh, Tih! Babeh dan bu Sumi menentang keras hubungan kalian berdua! Tolong jangan kecewakan ibu dan babeh ya, Tih! Kamu harus jadi anak baik, Tih! Patuhi apa kata orang ya, Tih! Ini semua juga demi kebaikan kamu juga,Tih! Masa depan kamu!" nasehat Mariam pada Ratih.

Wanita patuh baya itu hanya ingin yang terbaik untuk anaknya. Menjadi menantu yang tidak diinginkan oleh ibu mertuanya. Juga akan sangat sulit bagi anaknya nanti.

Dan ketika keduanya sedang sama-sama berpikir diam. Seseorang memberi salam.

"Assalamualaikum!"

***

Bersambung…

Terpopuler

Comments

Dewitri

Dewitri

di tunggu bab berikut nyaa

2025-09-30

1

Alex

Alex

semangat🔛🔥 ya kak untuk upgrade

2025-09-29

1

Kartika

Kartika

semangat

2025-09-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!