Pil-pil Perusak
Agni menempelkan telepon genggamnya di telinga.
Tak lama terdengar suara yang sangat dirindunya di ujung telepon sana. “Halo Ma,” sapa Anggi lemah. “Anggi! Kamu kemana aja sih, Mama telepon kamu sejak semalam tapi kamu ga angkat … kamu lagi apa sih?” cerocos Agni, “Mama khawatir tau!” Anggi terbatuk pelan, lalu tertawa dan menjawab, “Iya Ma, maaf … semalam ga bisa angkat telepon … sibuk tugas orientasi soalnya.” Agni berdecak, “Sebenarnya yang kalian lakukan di orientasi itu ngapain sih? Mama telpon kamu di dini hari juga ga kamu jawab, apa sibuk sampai dini hari gitu Nggi?”
“Kalau itu, Anggi sudah tidur Ma,” ujar Anggi meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya baik dari bekas pukulan senapan maupun bekas peluru cat semalam, ia tidak mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, ia tak mau membuat mamanya khawatir. “Kamu sudah minum obat batuknya belum? Gimana kondisimu sekarang?” tanya Agni. “Sudah … Anggi baik-baik aja Ma,” jawab Anggi.
“Ma, besok jadi jemput Anggi ‘kan?”
“Oh iya tentu saja, Mama bawain selimut---“
“Selimutnya ga jadi Ma, taro di rumah aja.”
“Loh kenapa?”
“Ya besok ‘kan Anggi pulang.”
“Oiya … eh besok si kembar mau bawa makanan-makanan buat kamu tuh.”
“Hehehe … emang mereka tau gitu, Anggi suka apa.”
“Katanya sih tau … atau sok tau mereka ya? Hahaha,” tawa Agni, Anggi pun ikut tertawa meski sambil menahan nyeri di tubuhnya. “Orientasi terakhir hari ini, mau ngapain lagi Nggi?” tanya Agni. “Katanya hanya pesta perpisahan orientasi saja nanti malam Ma, ada api unggun, makan-makan, pesta kecil gitu lah,” jawab Anggi. “Oh syukurlah, bukan sesuatu yang berat ya,” sahut Agni. “Iya Ma, katanya ada bagi-bagi penghargaan juga untuk mahasiswi baru yang bisa bertahan di masa orientasi ini … aku salah satunya Ma,” urai Anggi.
“Waah … keren … anak Mama memang hebat!” puji Agni. Anggi tertawa, “Ma, Anggi mau tidur dulu bentar ya, semalam kurang tidur, besok telpon Anggi lagi ya Ma.” Agni menggeleng, “Ga, ga … maunya ntar malam Mama telepon kamu lagi, bukan besok … ntar malam, jam delapan atau jam sembilan, inget?” Anggi nyengir, “Oke, oke Ma … jam delapan atau jam sembilan ntar malam.”
“Ya sudah kalau mau tidur dulu Sayang … baik-baik ya Nggi ….”
“Ok Ma … love you Ma.”
“Love you Nggi.”
Agni mematikan teleponnya lalu memandang foto Anggi di profilnya. Agni tersenyum bangga. “Jadilah sarjana Nggi, untuk membanggakan Mama dan almarhum Papa. Mama dan Papa ingin kamu sukses dan bahagia, apa pun Mama akan perjuangkan buat kamu,” gumam Agni lalu mengecup foto putri sulungnya itu.
Sedang di tenda, Anggi memegangi tulang rusuk bawahnya, ia menjerit pelan ketika tulang rusuk itu ia tekan dan ia bisa merasakan perut atasnya seperti membengkak. Ia meminum obat pereda sakit yang didapatnya dari salah satu kating yang menyediakan obat-obatan. Lalu memejamkan matanya untuk beristirahat.
***
Api unggun di tengah lapangan itu telah menyala besar.
Semua mahasiswi baru telah berkumpul membentuk setengah lingkaran di depan api unggun sedang para kating mereka berdiri berseberangan di hadapan mereka. “Selamat malam para mahasiswi baru yang sudah ga lagi lemah! Selamat kalian telah berhasil melalui masa orientasi ini dengan baik!” cetus Boba pada mahasiswi baru yang masih tampak tegang. “Hey mana tepuk tangannya?” seru Ovi, setelah diingatkan maka para mahasiswi baru itu baru bertepuk tangan.
“Hahaha, kenapa kalian tegang? Kalian pikir kami masih akan menguji kalian ya? Tenang malam ini tidak ada lagi ujian, malam ini saatnya kita bersenang-senang!!” teriak Boba, setelah mendengar itu para mahasiswi baru itu bernafas lega dan berteriak gembira. “Akhirnya semua berakhir Nggi! Yeaay!” sorak Dina seraya merangkul Anggi. Anggi meringis sakit dalam rangkulan Dina.
“Tenang! Tenang! Dengar dulu … sebelum kita mulai acara senang-senangnya, kami dari kating kalian ingin mengucapkan, selamat datang di persaudaraan sesama saudari di satu jurusan! Kalian luar biasa!” teriak Boba diikuti tepuk tangan dari para kating. Para mahasiswi baru itu tersenyum bangga. “Dan seperti janji kami, malam ini kami akan memberikan penghargaan untuk kalian yang telah berhasil survive di permainan semalam. Pertama-tama kami panggil untuk maju ke depan sini, Anggita! Ayo maju,” panggil Boba. “Hah, beneran ada penghargaannya? Kirain becanda,” gumam Anggi terkejut namanya dipanggil. “Udah maju sana … buruan,” dorong Dina tertawa. Anggi melangkah maju diiringi tepuk tangan para kating juga rekan seangkatannya.
Boba, Ovi dan Evelyn menyambut Anggi, memeluknya. Anggi cukup kaget juga melihat perubahan perlakuan mereka yang sebelumnya begitu kasar, ia pun tersenyum. Evelyn memasangkan sebuah bros berbentuk mawar kecil di jaketnya sembari berkata, “Ga semuanya dapat bros ini … jadi lo harus bangga Nggi.” Anggi baru tersadar setelah melihat memang tidak semua kating memakai bros mawar ini. “Ini hanya untuk orang-orang tangguh … selamat ya!” rangkul Evelyn lalu menepu-nepuk bahu Anggi disusul Ovi dan Boba. “Ok, selanjutnya, gue panggil untuk maju ke depan … Dina!” teriak Boba. Dina tampak sumringah, dengan cepat ia sudah berada di depan dan bros mawar itu pun disematkan di dadanya. Dina terlihat bangga. Kemudian Boba memanggil tiga nama lainnya untuk menerima penghargaan tersebut.
“Baiklah, acara penghargaan telah selesai … sekarang waktunya party!! Keluarkan pestanya Gaes!” seru Boba pada rekan-rekannya. Maka para kating berjaket kuning biru itu mengeluarkan alat pemutar musik dengan kotak pengeras suaranya di atas meja. “Apakah itu diperbolehkan di tempat perkemahan seperti ini?” tanya Anggi pada Dina. “Hey Nggi, relax … masa orientasi udah lewat, yang penting sekarang kita having fun!” cetus Dina. Para kating itu pun mengeluarkan minuman-minuman soda berkaleng-kaleng beserta makanan ringannya.
“Pesta dimulai!!” teriak Boba disambut sorak-sorai semuanya.
Musik pun berdentam mengiringi pesta orientasi malam itu. Para mahasiswi baru itu menikmati pesta mereka dan berjoget-joget mengikuti irama mengelilingi api unggun yang menyala. “Ayo Nggi joget sama gue! Kita ke deket api unggun yuk! Gabung sama yang lain!” ajak Dina. Anggi menggeleng, “Lo aja gih … gue lagi ga bisa joget.” Dina tertawa, “Halah, tinggal joget aja ikutin musik … ga usah takut salah, ga akan ada yang nilai kok!”
Dina menarik tangan Anggi dan mulai bergoyang, “Kalau gitu kita joget di sini aja Nggi, ayo dong.” Anggi tertawa melihat Dina, ia pun mulai menggoyangkan badannya meski awalnya ragu karena sakit yang dirasakannya tapi untung saja ia telah meminum obat pereda rasa sakit sebelumnya tadi, sehingga rasa sakit itu tidak terlalu terasa. “Nah gitu, jangan malu-malu Nggi,” seru Dina lalu memutar tubuhnya. Mereka tertawa-tawa lepas berdua, bergoyang di pojok lapangan perkemahan.
Di kejauhan Evelyn memperhatikan mereka lalu mengeluarkan dari kantong jaketnya sebuah plastik kecil berisikan butiran-butiran pil berwarna kuning sebesar kuku kelingking.
“Apa itu Eve?” tanya Boba di sebelahnya.
“Bukan apa-apa, hanya vitamin penambah semarak pesta,” kilah Evelyn, “lo mau?” Boba menggeleng.
“Lo dapat dari mana?” tanya Boba lagi.
“Dari pergaulan yang luas hehehe,” sahut Evelyn asal lalu berjalan menuju tempat minuman-minuman kaleng disediakan.
“Apa yang mau lo lakukan dengan pil-pil itu Eve?” bisik Boba yang menyusul berjalan di sampingnya. “Tenang Ba, tidak akan ada yang terluka kok,” sahut Evelyn santai. “Tapi Eve, pil itu ilegal kalau dosen sampai tau kita bisa di D-O!” timpal Boba. Ovi merangkul Boba, “Ba, tenang … ga akan ada yang tahu, kalau kita ga ngomong … Eve hanya ingin membuat pesta malam ini jadi semakin meriah aja hahaha.”
Evelyn mengambil satu kaleng soda, membukanya lalu mengambil empat butir pil dan menggerusnya kemudian memasukkan empat butir pil yang telah hancur itu ke dalamnya serta mengocok-ngocoknya. “Eve! Gila lo … pil sebanyak itu kalau bercampur soda bisa bahaya!” cetus Boba mengingatkan. “Tenang Ba … lihat tuh, si Ovi udah nelen satu pake soda, ga apa-apa kok,” tunjuk Evelyn pada Ovi. “Ba … ini cuma pil pemberi hepi doang kali … santai Ba,” ujar Ovi menepuk-nepuk bahu Boba yang terlihat gelisah.
Evelyn kembali berjalan, kini ia menghampiri Anggi dan Dina yang sedang berjoget tertawa-tawa. “Halo Sistah … gimana? Menikmati pestanya?” tanya Evelyn bergabung dengan mereka berdua. Dina mengangguk cepat, “Iya Kak, pestanya seru!” Evelyn merangkul Anggi, “Kalau lo gimana Nggi? Senang?” Anggi tersenyum dan mengangguk. Evelyn menyodorkan kaleng minuman yang telah diisi pil itu pada Anggi. “Udah gue bukain kalengnya, ayo kita minum bareng,” cetus Evelyn. Anggi mengangguk menerima minuman kaleng tersebut. Sedang Boba menatap cemas. Ovi memberikan satu kaleng untuk Dina. Dan mereka semua mengangkat kaleng itu. “For our sisterhood!!” teriak Ovi diikuti yang lainnya.
Mereka pun meminum soda itu.
“Ayo habiskan dong minuman kalengnya! Gue udah capek-capek bawain dan bukain kalengnya buat kalian tadi,” bujuk Evelyn berpura-pura merajuk. Karena tak enak hati, maka Anggi dan Dina pun meminum soda kaleng itu hingga habis. Boba menghela nafasnya sembari menggeleng pelan. Evelyn dan Ovi saling tersenyum culas ketika melihat Anggi meminum habis soda kaleng itu.
Dari pemutar musik itu kini terdengar lagu “Celebrate The Good Times” yang popular, tak ayal, lagu ini pun disambut meriah oleh semua orang yang seketika serempak bergoyang. Begitu pun Anggi, Dina, Evelyn, Ovi dan Boba yang resah.
***
Sementara itu.
Agni sedang menelpon putri sulungnya tepat di jam 9 malam. Ia bertolak pinggang dengan wajah kesal. Teleponnya menyambung tetapi Anggi tidak mengangkatnya. “Hih anak ini … kebiasaan deh!” kesal Agni lalu menelpon lagi. Telepon itu menyambung tetapi sampai telepon itu putus sendiri tetap tidak diangkat oleh Anggi. Agni merasa kesal pada putri sulungnya itu, tapi sesungguhnya yang dirasakan olehnya adalah sebuah rasa kekhawatiran.
“Ma, ini ‘kan malam orientasi terakhir … mungkin Kak Anggi lagi ada acara sama teman-temannya, jadi ga sempat angkat teleponnya, tinggalin pesan aja,” saran Anindya melihat mamanya gelisah seperti itu.
Agni mendesah, lalu mencoba menelepon lagi.
***
Di pesta orientasi.
Pil-pil berwarna kuning itu bekerja cepat. Unsur kimiawi yang terkandung di dalam pil tersebut pecah di lambung Anggi. Dosis yang tinggi dan bercampur dengan soda merubahnya menjadi racun yang tersebar cepat bersama aliran darah ke seluruh tubuhnya. Anggi merasakan ada yang aneh dengan tubuhnya. Tiba-tiba ia merasakan jantungnya berdebar cepat, sepuluh kali lebih cepat dari yang ia biasa rasakan. Pandangan matanya seketika memburam, isi kepalanya mendadak seperti dibentur-benturkan ke dinding, rahangnya gemetar hebat hingga ia kesulitan bicara.
“Nggi, Nggi lo kenapa?” seru Dina terkejut melihat kondisi Anggi yang mendadak gagap dan sempoyongan tak terkendali. Anggi ingin meminta tolong tetapi tak bisa. Ia tidak kuat menahan gempuran racun di dalam tubuhnya itu hingga ia muntah. “Kak tolong!!” teriak Dina memeluk Anggi. Boba segera menghampiri untuk membantu tetapi Ovi memegangi tangannya, menggeleng cepat. Boba menepis tangan Ovi, menatap Ovi tajam dan berkata, “Vi … gue ga mau jadi bagian ini, gue ga ikut-ikutan, ini rencana kalian!” kemudian Boba berjalan pergi meninggalkan mereka.
Sedang Evelyn menarik Dina untuk menjauh dari Anggi, “Udah tenang Din, biarkan dia … dia lagi enjoy tuh.”
Dina mengerutkan kening, “Enjoy gimana sih Kak? Kondisinya mengkhawatirkan gitu! Kita harus cepat panggil ambulan!”
Dina mengeluarkan telepon genggamnya tapi dengan cepat Evelyn merebutnya. Dina terkejut. “Hey kalau lagi pesta, tidak boleh ada hape!” tegas Evelyn lalu mengantongi telepon genggam Dina.
“Jangan Kak … kembalikan hape saya Kak! Anggi butuh pertolongan cepat! Plis Kak!” mohon Dina.
Evelyn tidak mendengarkan, ia malah mentertawakan Anggi yang menunduk dan duduk bersimpuh lemah sembari memegangi dadanya. “Hey, lagi ngapain lo Nggi? Mengheningkan cipta? Hahaha,” ledek Evelyn.
Dalam kesakitan dan kekalutan semua organ tubuhnya, Anggi bisa merasakan nada getar dari telepon genggamnya yang disimpan di dalam kantong jaketnya. Ia tahu mamanya sedang menelponnya. Berkelebat wajah mamanya tetapi Anggi tidak bisa mengkoordinasikan tangannya untuk bisa mengambil telepon genggam itu dari kantong jaketnya. Tangannya mendadak kaku dan mati rasa. Kepalanya semakin berputar cepat, detak jantungnya tidak bisa ia kendalikan. Berkelebat bayang wajah mamanya lagi kini bersama adik kembarnya. Anggi hanya bisa menyebut nama mereka dalam hati, karena kini rahangnya mengatup hebat membuatnya tak bisa bicara sama sekali.
Airmata pun mengalir dari mata Anggi begitu saja.
Suara musik keras terus terdengar dari pengeras suara. Mengiringi tarian sukacita semua orang dalam gerakan lambat. Semua bersorak-sorak tenggelam dalam keriuhan pesta. Tidak ada seorang pun menyadari apa yang sedang terjadi di pojok lapangan yang minim penerangan itu. Seorang gadis sedang berjuang antara hidup dan matinya.
Tiba-tiba Dina mendekat dan merogohkan tangannya ke dalam kantong celana Evelyn untuk mengambil paksa telepon genggamnya. Evelyn terkejut marah, “Hey kurang ajar, berani-beraninya lo ya!” Dina terus merogoh kantong celana Evelyn, berteriak, “Kembalikan hape saya Kak! Kasian Anggi!” Evelyn menolak maka mereka berdua pun bergumul. Ovi datang membantu Evelyn. Dari belakang ia menjambak rambut Dina, terus membantingnya lalu dengan cepat Ovi mencengkeram kerah jaket Dina, menyeretnya ke pojok gelap di bawah pepohonan. “Udah lo diem di sini! Jangan macem-macem! Anggi lagi hepi, jangan ganggu dia!” tandas Ovi.
“Kak … wajahnya pucat dan dia muntah … tubuhnya juga sempoyongan, itu bukan hepi namanya,” tukas Dina. Ovi mencekik leher Dina, bicara dekat di depan wajah Dina, “Sok tau … jangan ngajarin gue!” Dalam jarak sedekat itu, Dina bisa melihat mata Ovi yang sayu dengan pupil matanya yang mengecil. “Apa pun yang Kakak pake itu, pasti kalian masukkan juga ke dalam minuman kalengnya Anggi bukan?” tanya Dina curiga.
Plak!
“Aduh!” pekik Dina memegangi pipinya. “Jangan ikut campur! Atau gue gampar lagi!” ancam Ovi. Dina mengangguk gemetar. “Vi! Sini! Bantuin gue! Cepet!” panggil Evelyn panik. Ovi menoleh dan terkejut melihat Anggi kejang-kejang hebat di tanah.
“Ya Tuhan … Anggi …” desis Dina sedih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments