“Anindira! Kamu belum selesai setrika? Dasar pemalas!!!”
Suara ibu tirinya menggema seperti cambuk yang menghantam dada. Anin menunduk, tangan kecilnya gemetar saat menggenggam gagang setrika. Peluh membasahi pelipisnya, tetapi dirinya tidak berani berhenti.
“Sengaja kamu bikin anak saya telat karena nunggu seragamnya di setrika?” tanya Siti—ibu tirinya.
Anin tidak menjawab, ia tengah merapikan lipatan terakhir. Tiba-tiba Siti menarik tangannya dan menekan setrika panas itu ke kulitnya.
Ssssssshhhh!
“Akhhh!!” Jeritan pecah, tubuh Anin mendadak lunglai.
Siti memandang Anin dengan wajah datar. “Sakit, kan? Itu pelajaran buat kamu supaya nggak kurang ajar!!”
Siti berbalik, beranjak pergi. Anin menggigit bibirnya, menahan perih di tangan yang melepuh. Ia tertatih menuju kamar mandi, menuang air dingin dengan tergesa.
Brakkk.
Pintu kamar mandi terbuka, adik tirinya—Delima—langsung menarik lengan Anin yang terluka, dan menyeretnya keluar kamar mandi.
“Seragamku mana? Kau belum selesai nyetrika? Dasar bego!!” hardik Delima.
“Maaf, tadi tanganku ke bakar jadi aku basuh dulu ....” tutur Anin lirih.
PLAK!
Tamparan keras mendarat di pipinya.
“Mau cari perhatian? Dasar pembawa sial!!” pekik Siti kembali menghampiri.
Siti langsung mendorong tubuh Anin hingga membentur meja kayu. Bunyi hantaman menggema. Tubuh kecil itu tergeletak seperti boneka rusak.
Siti dan Delima pun pergi, meninggalkan Anin sendiri. Di lantai, Anin meringkuk. Luka di tangannya masih basah, tetapi luka baru kembali muncul. Air matanya jatuh, menyatu dengan luka dan lantai yang dingin.
**
Pada malam hari, Anin membawa secangkir kopi hitam ke ruang tengah, tempat ayahnya duduk dan membaca koran. Kopi diletakkan dengan hati-hati di atas meja, tetapi ayahnya tak menoleh sedikit pun.
Anin berdiri di samping kursi, menatap ayah dengan harap yang nyaris padam. “Ayah, aku mau daftar SMP tapi aku daftar di mana ya?” tanyanya.
“Kamu nggak usah sekolah. Nggak ada gunanya,” jawab ayah tanpa meliriknya.
Anin tertegun, wajahnya mendadak pucat. “Tapi ... Kenapa? Aku masih punya impian. Aku mau belajar hingga ke Perguruan tinggi dan jadi guru.”
“Kubur impianmu! Kamu lahir dengan mengambil nyawa ibumu jadi kamu tak pantas bahagia. Anggap saja kamu menukar nyawa ibumu dengan nggak bahagia seumur hidup,” tukas ayah.
Anin tercengang, jantungnya seperti diremas, dan matanya mendadak panas.
“Kenapa ayah selalu salahin aku? Aku juga nggak mau kehilangan ibu, bahkan kalau bisa pilih, aku lebih baik nggak lahir daripada hidup seperti ini. Tanpa cinta, tanpa suara yang menyebut namaku dengan kasih.”
Tidak ada jawaban. Ayahnya hanya terpaku, seperti patung marmer yang kehilangan jiwa. Anin langsung berbalik, dan berlari keluar rumah.
...**...
Angin malam mengembus dingin. Anin berdiri di atas jembatan, menatap arus sungai yang mengalir kelam di bawah.
“Kalau hidup cuma untuk disakiti, apa gunanya aku bertahan?” gumamnya, air matanya mengalir semakin deras. “Aku cuma ingin dicintai, tapi yang aku dapatkan hanya luka.”
Dia mengangkat satu kakinya ke pagar jembatan. Tangannya menggenggam erat. “Lebih baik mati daripada jalani hidup tanpa kebahagiaan terus.”
Anin memejamkan mata, bersiap melompat. Tiba-tiba sebuah tangan menarik lengannya dari belakang. Anin terjatuh, dan menimpa seseorang.
“Aduh!!” jerit seseorang di belakangnya.
Anin langsung berdiri, menatap pria yang tertindih olehnya.
“Siapa kamu?” tanyanya.
“Gila ya? Ngapain malam-malam di tempat sepi? Mau loncat dari jembatan lagi,” cibir pria itu.
“Iya, aku memang gila. Aku mau mati,” jawab Anin.
Pria itu memelototinya. “Mau mati, mau mati, kayak banyak aja amal ibadahnya,” celetuknya.
“Kamu nggak tahu apa-apa jadi jangan ikut campur!” seru Anin.
“Saya emang nggak tahu apa-apa tapi jangan menyelesaikan masalah dengan cara seperti itu,” ujarnya.
Anin tercekat. Pandangannya jatuh pada bayangannya sendiri di atas aspal.
Pria itu memandang Anin. “Selesaikan masalah dengan cara yang bijak. Bunuh diri bukan solusi segalanya.”
Anin membisu, matanya berkaca-kaca. Dia membalikkan tubuh dan berjalan menjauh tanpa sepatah kata pun.
“Nggak tahu terima kasih! Udah ditolong malah pergi gitu aja,” cibirnya.
Pria itu menghela napas panjang, menepuk-nepuk bajunya yang kotor, lalu berjalan ke arah mobil yang terparkir di pinggir jembatan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments