“Maafkan saya bah, karena kelalaian saya anak Abah harus menderita, dia harus kehilangan suaminya, padahal mereka baru saja menikah.”
Pria yang di panggil Abah itu tersenyum getir. “Nggak apa-apa nak Revan, semua sudah takdir, itu juga bukan kesalahan nak Revan sepenuhnya. Kecelakaan itu terjadi karena sudah kehendak ilahi, tapi apa nak Revan benar-benar tidak bisa menjadikan anak saya sebagai bagian dari hidup nak Revan.”
Revan terkejut, ia tak menyangka laki-laki ini juga sedikit mendesak, meminta pertanggungjawaban menjadikan Dewi sebagai istri kedua.
“Oh…maaf kalau nak Revan tidak bersedia juga nggak apa-apa, dengan mencukupi kebutuhan kami, kami sudah berterima kasih.”
Seorang wanita paruh baya keluar dengan amarah yang meledak-ledak. “Tidak bisa begitu bah, bagaimanapun juga laki-laki ini sudah menghilangkan nyawa menantu kita. Dia harus bertanggung jawab atas Dewi dan bayi yang dikandungnya. Toh laki-laki orang kaya, pasti bisa menghidupi istri-istrinya.” Ucap perempuan itu memandang sinis pada Revan.
“Ambu, jangan begitu bagaimanapun juga nak Revan sudah memiliki istri dan anak, itu sama aja merusak rumah tangga wanita lain. Kecuali dari pihak nak Revan dan istrinya setuju itu tidak jadi masalah.”
Dewi muncul dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh. “Silahkan a’ diminum, apa yang dikatakan Ambu benar a’ aku butuh a’ sejak aa Andra meninggal karena kecelakaan itu.”
“Maaf Dewi aku nggak bisa, aku sangat mencintai istriku, aku tidak mungkin menduakannya, dulu istriku sering terluka karena aku, dan sekarang aku harus membuatnya menderita lagi,” Revan menggeleng pelan. “Kalau Abah dan Ambu ingin memenjarakan aku, silahkan asal jangan menyuruh saya menikahi Dewi, itu tidak mungkin aku lakukan. Lebih baik aku dipenjara seumur hidup dari pada aku harus mengkhianati istriku.”
Dewi meremas ujung roknya kesal, matanya nyalang penuh dendam.
“Sehebat dan secantik apa sih isterinya, sampai aa Revan begitu sangat mencintainya, aku penasaran, katanya aa Revan punya anak lima, pasti istrinya gendut, kusam, perutnya bergelambir, lemak dimana-mana. Di bandingkan sama aku kalah jauh, umurku baru 21 tahun masih seger-segernya,” ucapnya dalam hati, terbersit rencana licik di kepalanya.
Wanita itu memandang Revan obsesif, rasa ingin memiliki pria itu begitu menggebu-gebu. “Pokoknya aku nggak mau tahu aa Revan harus jadi suamiku, aku nggak peduli mau di cap pelakor, aku juga nggak peduli dia punya istri, aku sudah terlanjur jatuh cinta padanya, aku bisa gila kalau aku nggak bisa memilikinya."
“Bah, saya tidak bisa lama-lama disini, saya harus pulang ke Jakarta.”
Dewi menarik tangan Revan. “Lho aa katanya dua hari di sini, aku lagi butuh aa perutku dari kemarin kram, apa aa tega biarin aku menahannya sendiri. Aku nggak ada tempat berbagi keluh kesah itu semua karena aa, aa yang bikin suamiku meninggal.”
“Tapi kecelakaan itu murni bukan kesalahanku, Wi,” Revan berkata pelan, suaranya serak menahan beban kata-kata yang terus menghujam.
Dewi melepaskan tawa kecil yang berubah menjadi teriakan penuh kemarahan, wajahnya merah padam, napas terengah-engah. “Tetap aja aa penyebabnya! Coba kalau mobil aa nggak lewat situ, dan aa sendiri nggak nyetir ugal-ugalan, suamiku pasti masih hidup sampai sekarang!” suaranya membumbung tinggi, mencoba menjatuhkan Revan di hadapan semua orang.
Revan menunduk, menarik napas panjang, mencoba tetap tenang. “Baiklah, aku akan berada di sini sampai besok.”
Senyum dingin terukir di bibir Dewi. “Tapi aa menginap di sini kan?” tanya Dewi sambil melirik penuh arti.
Revan menggeleng cepat, menatap tajam ke arahnya. “Nggak bisa, Wi. Kita bukan mahram. Bisa timbul fitnah, bahkan bisa saja kita digrebek.”
Dewi mengangkat alis dan tersenyum licik, matanya berbinar penuh rencana. “Bagiku sih nggak masalah. Aku malah seneng, dengan begitu kita bisa secepatnya dinikahkan.”
Revan menggigit bibir, menahan kemarahan yang menumpuk. Dalam hati, dia mencibir, *Wanita ini sungguh menyebalkan. Kalau bukan karena bayi yang dikandungnya, sudah kubawa dia ke kantor polisi dengan pasal pemerasan dan pengancaman.* Tangan Revan mengepal pelan di pinggir tubuh, berjuang menjaga kesabaran yang hampir pecah.
Revan juga benci pada dirinya sendiri, tidak bisa bersikap tegas, apalagi pada perempuan, dan perempuan itu menderita karena kesalahannya.
“Maaf aku sayang, untuk sementara aku belum bisa menjelaskannya.”
***
Sandra duduk di kursi sambil matanya terus tertuju pada Melati yang terdiam di sofa. Cucu-cucu mereka Ayana, Nakula dan Sadewa, berlari-lari dan tertawa riang di atas karpet bulu, saling berebut mainan tanpa ada yang mau mengalah.
Melati seharusnya ikut mengawasi, tapi wajahnya kosong, seperti terbangun dari lamunan yang dalam. Sandra menarik napas pelan, lalu meletakkan tangan hangatnya di bahu menantunya.
“Mel, kamu kenapa, sayang? Mama perhatiin dari tadi kamu melamun aja,” ucapnya lembut.
Melati kaget, cepat-cepat menyunggingkan senyum tipis, “Oh, nggak apa-apa, Ma.”
Tapi sorot matanya menghindar, dan Sandra tahu itu bukan jawaban yang sebenarnya. “Apa gara-gara Revan sering keluar kota?” tanyanya penuh harap.
Melati menggeleng, menutup rapat-rapat sesuatu yang bergejolak di hatinya. Sebenarnya, bukan hanya tentang kepergian Revan, tapi ada rahasia yang makin menumpuk, mengganggu pikirannya belakangan ini.
“Mama juga heran nggak seperti biasanya dia dering keluar kota, padahal dia ninggalin kamu barang sejam aja udah kelimpungan, lha ini sudah seharian nggak pulang. Emang ada urusan apa sih ke Bandung?”
“Katanya soal kerjaan ma, perusahaan cabang Bandung lagi banyak masalah.”
Dahi Sandra mengernyit. “Masa sih, kok papa kamu anteng-anteng aja, biasanya dia paling heboh jika salah satu perusahaan sedang ada masalah.”
Melati menarik nafas panjang. “Apa mungkin mas Revan mulai bermain api ya ma, penyakitnya kambuh lagi.”
Sandra menggeleng cepat. “Enggak mungkin, Revan cinta mati sama kamu Mel, kamu masih ingat kan penjuangan anak mama buat dapetin kamu?”
“Ya kali aja Mas Revan mulai bosan lalu mencari suasana yang baru, tentunya yang lebih seger ma, mama liat kan Melati udah melahirkan 4 anak bagi mas Revan mungkin aku udah nggak layak .”
Sandra mencubit lengan menantunya. “Kata siapa, justru kamu makin cantik, makin seksi, meski umur kamu udah 30 tahun tapi kamu seperti gadis 23 tahun.”
Melati tertawa kecil. “Kebalik mama 32 tahun kali.”
“Enggak sumpah, wajah kamu awet muda, kayak nggak ada yang berubah saat mama pertama kali liat kamu di rumah sakit saat nenangin Alice nangis, apa imbas tiap malam Revan sering ngerjain kamu?” gurau Sandra.
"Mama apaan sih."
Sandra tersenyum lebar. "Mama juga pernah muda seperti kalian."
Melati tersipu malu, wajahnya memerah bak kepiting rebus. Memang diakuinya, dirinya dan Revan tak melewatkan satu malam pun. Akhir-akhir ini aja ia menolak ajakan Revan, akibat dari temuan struk pembelian susu ibu hamil dan kemarin ia juga menemukan struk pembelian beberapa potong daster yang cukup mahal, ia kira itu daster untuknya. Tapi setelah 2 hari menunggu daster itu tak sampai ke tangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
siti maesaroh
kenapa g km bicarakan sm melati van biar ada solusinya gitu ke kn km g terlalu pusing buat nanganin msalh ini, aku takutnya dewi itu segala cara dilakukan dan keknya dewi itu mentalnya g kenapa" lo alasan dia aja mau meras
2025-10-02
0
NH..8537
ada kala..nya kita hrs tegas menyikapi suatu masalah..jgn smp masalah itu jd bumerang bg kita sdri🥹 lanjuttt kak raina👍👍👍
2025-10-03
1
siti maesaroh
oo jdi bgitu peristiwa sbnrnya, aku rasa km g perlu menikahi dewi van ,cukup bertanggung jawab sbgaimna mestinya g lebih,
2025-10-02
0