Malam pun tiba
Setelah mandi, Almaira duduk bersandar di kepala tempat tidurnya dan perlahan membaca obrolan grup alumni sekolah yang masuk.
Suasananya sangat antusias. Nostalgia masa lalu, cerita tentang percintaan, dan bahkan pertanyaan kekanak-kanakan tentang kapan menikah memenuhi ruang obrolan.
Mengetahui semua orang hanya berbicara dengan penuh semangat, senyum kecil muncul di bibir Almaira.
Setelah mempercantik diri sedikit, Almaira meletakkan hp nya dan berdiri di depan pintu, tangannya masih memegang gagang pintu, matanya terpejam.
Dia menghela napas beberapa kali sebelum melangkah keluar.
Ketika akhirnya dia membuka pintu, suasananya lebih tegang daripada malam sebelumnya.
Aira harus hati-hati, kalau tidak mungkin Aira akan terjatuh pada perangkapnya lagi.
Katanya dalam hati
Sambil menundukkan kepalanya dia menghentikan lamunannya dan mulai menuruni tangga.
Namun, saat Almaira menuruni tangga terakhir dan berjalan menuju ruang makan, dia berhenti. Ada orang lain duduk di meja makan.
Celana pendek kasual dan kaus oblong yang di pakainya sangat berbeda dari penampilannya yang biasanya rapi.
Poni rambutnya yang masih basah, menjuntai menutupi dahinya, seperti orang yang baru saja mencuci mukanya dengan air dingin.
Mungkin itu sebabnya, wajahnya tampak jauh lebih bercahaya dari biasanya. Dan itu menyegarkan.
Almaira melirik jam dinding.
21:30
Kapan ya, waktunya Kak Yaga masuk ke kamar dan tidur? Apa Kak Yaga tidak butuh istirahat?
Tenggelam dalam pikiran yang tak berujung, dia terkejut ketika Yaga yang masih duduk di meja marmer sambil menyeruput kopinya, bicara tanpa menoleh sedikit pun.
Sepertinya Almaira lupa makan malam ini adalah acara malam ulang tahunnya.
"Kamu sudah mandi?"
"Ya"
"Awalnya, aku khawatir kamu akan kesulitan melayani ku malam ini. Tapi kurasa aku tidak perlu khawatir."
"Hmm, sepertinya begitu."
"Tapi sekali lagi, kamu tidak akan keberatan kan? Tidur bersama di kamar ku mulai malam ini."
Komentar aneh itu muncul saat Yaga mendorong kursinya ke belakang dan berdiri. Sambil mengambil cangkir lain dari Bibik, dia melirik Almaira. Matanya yang tertutup poni basah, tampak sangat mengintimidasi.
"Ini minuman herbal hangat, kurasa kamu mungkin perlu merilekskan badan mu. Ayo di minum."
Yaga menunjuk dengan dagunya ke arah kursi di seberangnya. Setelah ragu sejenak, Almaira melangkah maju, dan duduk di tempat yang ditunjuknya.
Saat meraih cangkir dengan kedua tangannya, kehangatan langsung membelai di telapak tangan Almaira yang dingin.
"Tingkatkan staminamu, ya"
Saat Yaga duduk kembali dan mengangkat cangkirnya ke bibirnya, Almaira bergumam sendiri dalam hati.
Apa sih, stamina buat apa coba?
Itu pertanyaan singkat untuk dirinya sendiri, tapi entah kenapa tengkuk Almaira rasanya panas. Pun lantai yang di injaknya rasanya lebih dingin hingga menyebar ke betisnya.
Almaira secara naluriah menoleh ke arah Bibik yang tampak sibuk menyiapkan makan malam.
Merasa yakin dengan ingatannya yang terlupakan, dia kembali menghadap Yaga dan bicara dengan tenang.
"Yah, setidaknya Aira harus terjaga. Karena malam ini, Kak Yaga ulang tahun kan."
Suaranya melemah, dan Yaga tertawa pelan sambil memiringkan wajahnya. Almaira yang merasa pipinya memerah menundukkan kepalanya.
Yaga mendekatkan kembali cangkirnya ke bibirnya, matanya mengamati Almaira dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Apa dia kehilangan berat badan dalam seminggu?
Wajahnya yang kecil semakin mengecil hari ini. Kulitnya yang bening juga kelihatan pucat.
Pandangannya tertuju pada lekuk lehernya yang ramping, lalu turun pada garis tulang selangka yang terlihat jelas hingga ke bahunya.
Dia membiarkan matanya turun lebih rendah, menatap bulatan lembut didalam piyama kebesaran putihnya.
Haruskah aku membukanya?
Yaga menyeruput kopinya lagi, menikmati aroma biji kopi yang harum, lalu dia kembali menatap wajah Almaira
Pertama-tama matanya tertuju pada bibirnya lalu naik ke rambutnya.
Haruskah aku membelainya? Rambut berkilau itu. Haruskah ku ambil segenggam? Tapi...
Dia akan kelihatan lebih cantik saat aku menjambak rambutnya dan membiarkannya tersebar di bawahku.
Tanpa menyadari pikiran liar yang mengalir di kepalanya, Almaira dengan lembut membuka mulutnya
"Kak Yaga, terima kasih buat minuman herbalnya, ini hangat dan nyaman sekali rasanya" imbuhnya.
Dan entah bagaimana, ucapan terima kasih yang sederhana pun terasa seperti hal yang paling menggelitik dahaganya.
Dia mungkin mendengar kalimat itu puluhan kali sehari, tapi rasanya berbeda ketika diucapkan olehnya malam ini.
Sambil meletakkan cangkirnya dengan lembut, Yaga tiba-tiba melembutkan nada suaranya
"Tentang Ayahmu, makanan apa yang paling dia suka?”
"Ayahku? Tumben, kenapa tiba-tiba Kak Yaga menanyakan soal itu?"
"Rencananya, aku akan menemuinya di kampung mu beberapa hari lagi. Aku akan mentraktirnya sesuatu. Jadi, ceritakan padaku."
"Di kampung Aira? Apa itu boleh? Padahal, sudah tiga tahun lamanya Aira belum bertemu dengan Ayah."
"Hemm." Yaga tersenyum seolah-olah ide itu cuma berlaku padanya.
"Aku juga sempat berpikir untuk kita berkunjung besok pagi, tapi…" Dia melirik jam dinding dan menambahkan, "Aku berubah pikiran."
"Kenapa begitu?"
Saat Yaga mencondongkan tubuh dan menyilangkan lengannya, bahunya yang lebar tampak semakin mengesankan.
"Bagaimana kalau kita menelepon ayahmu lebih dulu?"
"Maksud Aira… apa itu mungkin Kak Yaga mau melakukannya? Meluluhkan hati Ayah Aira?"
Yaga yang sedari tadi memperhatikan mata Almaira yang berbinar, tersenyum tipis, mendorong kursinya ke belakang dan berdiri.
"Ya, mungkin iya, mungkin juga tidak. Begitu yang biasanya ku lakukan bukan, Almaira?"
"Jadi?"
Entah ini berkah atau kutukan, Almaira sama sekali tidak bodoh atau tidak tahu apa-apa.
Artinya, ketika orang lain mungkin sulit mengartikan lontaran teka-teki Yaga, dia langsung paham dengan maksud apa yang di sampaikan Yaga.
"Jika kamu ingin kita bertemu ayahmu, ikuti aku ke atas."
Apa? Sial.
Dari dulu dia memang begitu
Sekali Kak Yaga memperlakukan Aira dengan baik, Aira harus membayarnya berkali lipat kan.
Sebaliknya, sekali Aira membuat kesalahan, Aira harus menanggung sendiri akibatnya.
Hhh! Dasar laki-laki licik yang tidak tahu malu. Kekanakan sekali.
Yaga menaiki tangga dan berjalan di lorong. Selama melangkah dia tidak pernah sekalipun menoleh ke belakang.
Dia berhenti di depan ruang kerjanya, matanya menatap ke depan.
Sambil memegang gagang pintu, dia membuka pintu dan melangkah masuk, membiarkannya terbuka lebar seolah dia sudah tahu Almaira ada di belakang.
Almaira yang tadinya menjaga jarak, melangkah masuk ke ruangan.
Tatapan permusuhannya masih acuh tak acuh, cukup membuat bibir Yaga kembali tersungging.
"Ini sudah malam. Apa ada hal lain yang Kakak butuhkan dari Aira? Aira dan Kak Yaga bahkan belum makan malam kan?''
Almaira bertanya dengan ekspresi lembut. Menatap sorot matanya yang menjengkelkan, sesuatu terlintas dalam benak Yaga.
Sambil duduk di sofa dia bicara.
"Aku agak bosan. Bisa kamu ambilkan buku di lemari?"
"Oh, Kak Yaga mau buku yang mana?"
"Apa pun dari barisan paling atas."
Sial!
Ekor mata Almaira langsung tertuju pada rak buku di sebelahnya.
Rak buku itu tingginya nyaris memenuhi seluruh dinding ruangan. Karena langit-langitnya tinggi, bahkan orang jangkung pun membutuhkan tangga untuk mencapai barisan paling atas.
"Tentu saja, Aira akan ambilkan"
Dengan senyum palsu yang mengembang, Almaira mengambil tangga kayu di pojokan.
Merasa rambutnya yang tergerai tidak nyaman, dia mengikat rambutnya dengan ikat rambut yang dia pakai ditangannya.
Saat itu, leher mulusnya yang jenjang pun menarik perhatiannya lagi.
Tidak buruk.
Yaga menelusuri Almaira dari atas hingga kaki, badannya yang ramping, namun tetap anggun.
Entah karena piyama putih yang tipis kebesaran atau apa, lekuk tubuh bagian atasnya tampak tembus pandang.
Dan bukan hanya tubuh bagian atasnya, saat dia menaiki tangga, kulit pahanya yang mulus pun terlihat tanpa celah.
Tubuh bagian atasnya mengagumkan, dan… tubuh bagian bawahnya juga… sangat menggoda.
Hanya dengan melihatnya, Yaga bisa tahu bahwa gadis itu tumbuh dengan sempurna.
Mengamati gerak kakinya yang lentur setiap Almaira menaiki satu-satu anak tangga membuatnya merasa puas.
Mungkin itu naluri orang dewasa, sudut bibir Yaga sedikit melengkung.
"Menarik"
"Apa?"
Dia mengutarakan pikirannya lagi.
"Bukunya," Yaga tersenyum, melihat Almaira bereaksi pada gumaman yang tidak dia sengaja.
"Oh, kalau begitu, apa buku ini yang Kak Yaga butuhkan?" Almaira mengulurkan bukunya
"Apa itu?"
"Itu…"
"Katakan padaku, Almaira. Aku tidak bisa melihatnya dari sini."
Keraguan Almaira yang tidak biasa, bisa dimengerti. Apalagi setelah mengingat semua judul yang dia baca barusan. Buku-buku itu secara eksklusif adalah panduan yang ditujukan untuk laki-laki. Yang membuat Almaira tidak sudi menyentuhnya.
"Cara Menaklukan Istri ...."
"Apa? Bicara yang jelas Almaira"
Yaga melontarkannya dengan nada menggoda, mendesak Almaira. Seolah ingin tahu, reaksi seperti apa yang akan terjadi pada gadis itu.
Dalam keheningan berikutnya, dia bisa mendengar Almaira menelan ludah.
"Cara Menaklukan Istri Yang Nakal."
"????"
"Itu judulnya." Sambung Almaira, telinganya memerah meskipun dia masih membelakangi. Suara Almaira yang biasanya tenang sedikit bergetar.
Ah, apa Anita yang sengaja menyimpan itu disini? Tapi... ini tidak buruk.
Reaksi Almaira lucu sekali, membuatku ingin terus menggodanya.
Yaga menahan senyum.
"Bukan yang itu Almaira. Coba yang di sebelahnya."
"Apa bukunya mengacu pada yang ini Kak?"
"Apa itu?"
"Itu..…"
"Almaira, aku tidak bisa melihat dari sini!"
Semakin Almaira gelisah, Yaga semakin menggoda, gadis itu menarik napas pendek, menenangkan diri sebelum membaca judulnya.
"Seribu Malam Bersama Istri Penggoda, ini judulnya"
"Oh, aku sudah sering membaca yang itu. Apa 'Laki-laki Tanpa Tanya' ada di sana?"
"Tunggu sebentar."
Masih menghadap ke arah lain, Almaira meraba-raba buku dengan tangannya yang gemetar.
"Seharusnya ada di sebelah 'Hubungan Terlarang Dengan Adik Tiri' Kak, tapi... "
"Hm, Almaira... kedengarannya itu sangat menggoda. Bawa yang itu juga."
Yaga terus mengoceh dengan acuh tak acuh, rasanya kata-kata itu mengalir deras di belakang kepala Almaira
Apa sih? Kenapa Kak Yaga suka sekali membaca buku yang beginian. Dasar meseum.
Menumpukkan dua buku yang diminta, Almaira menuruni tangga, gerakannya sedikit tidak stabil.
Alih-alih segera berbalik, Almaira membeku, badannya masih menghadap rak.
"Apa yang kamu lakukan Almaira? Bawa bukunya ke sini."
Atas desakan Yaga, Almaira perlahan berbalik. Mata laki-laki itu menyipit berbahaya.
Ah, ku rasa, aku baru saja melihat sesuatu yang luar biasa.
Almaira biasanya selalu tenang, tapi sekarang, saat melihatnya yang malu-malu bercampur marah itu, sungguh menggemaskan.
"Hmm, sepertinya aku mengantuk."
Sambil berpura-pura menguap, Yaga menutup mulutnya dengan tangannya, sebagai tanda penarik perhatian Almaira.
"Ini buku yang Kak Yaga minta."
Memanfaatkan kesempatan itu, Almaira segera mendekati meja dan meletakkan bukunya. Kemudian dia berbalik badan, bergegas melangkahkan kakinya mau mengembalikan tangga kayu ke pojokan.
"Tubuhku kaku. Kurasa aku perlu mandi."
"...."
Almaira yang ingin segera kabur, terpaksa berhenti, mendengar provokasinya
Apalagi ini? Apa Aira juga harus memandikannya juga?
"Almaira," Gadis itu berbalik "Maukah kamu menyiapkannya? Kurasa aku akan membacanya di bak mandi."
"Oh, kalau itu yang Kak Yaga butuhkan, Aira akan menyiapkan air mandi." Sesudahnya Almaira segera bergegas sebelum Yaga bisa bicara apapun lagi.
"Ah, ini menyenangkan."
Yaga tersenyum melihat langkah cepat Almaira seolah melarikan diri.
***
Bak mandinya nyaman, cukup luas untuk satu orang. Namun, agak sempit jika digunakan untuk dua orang.
Yaga yang sedang berendam di air hangat, menghela napas panjang dan tersenyum malas. Mungkin karena Almaira yang cakap, suhu air mandi yang di siapkannya sempurna. Almaira bahkan meletakkan papan kayu sebagai tempat untuk membaca.
Dia menangani segala sesuatunya dengan sempurna walau keadaannya semrawut
Bercerai?
Cih! Dua puluh satu tahun lamanya aku menunggu momen ini Almaira.. Jangan bermimpi! Sampai matipun kamu tetap milikku.
Pasti sangat menyakitkan menahan amarah yang mengalir deras di matanya saat aku iseng menjahilinya.
Meski demikian, Yaga memuji ketenangannya yang luar biasa. Selain buku dan semua hal lainnya, begitu dia memasuki bak mandi, seluruh tubuhnya rileks.
Mandi adalah satu-satunya waktu yang dapat dia nikmati sepanjang perjalanan ini.
Terlebih lagi, Almaira adalah istri dalam pengawasnya. Itu adalah situasi yang tidak dapat dihindari selama Yaga tinggal di luar Negri.
Sampai akhirnya, Yaga bisa menikmati waktu sepenuhnya mulai dari sekarang. Menikmati hak nya sebagai suami yang sudah lama tertunda untuk melakukan aktivitas apapun yang dapat dia lakukan pada gadis itu sesuka hatinya.
Membayangkan saja, membuatku ingin...
Gelora yang hangat perlahan naik ke atas, membangunkan indranya yang telah lama tertidur. Riak-riak gairah pun rasanya menyebar ke seluruh tubuh.
Hhh
Helaan nafas panas keluar dari bibirnya. Dia mendorong rambutnya dengan tangan, saat pikirannya dikuasai oleh sesuatu yang tak terkendali.
Dia terlalu bodoh dan polos.
Haruskah aku melakukan strategi khusus buat menaklukkannya?
Lagipula, tidak ada salahnya kan? Dia istriku. Jika aku sedikit menggodanya, dia marah. Namun sepertinya, tetap dia tidak akan bisa melawan keinginan ku. Seolah aku cuma laki-laki terhormat yang harus di patuhi.
Cih, sungguh pikiran yang tidak masuk di akal. Dari dulu dia benar-benar konyol.
Tapi... Kalau cuma sebatas itu yang kamu pikirkan...
Aku tidak bisa diam.
"Almaira!"
"Ya?"
Sahutan jauh Almaira perlahan datang dari balik pintu yang tertutup.
"Bisa kamu bantu aku sebentar?"
"Bantu apa?"
"Ada masalah yang tidak bisa ku tangani sendiri Almaira."
"Apa?"
"Masuklah,"
Pintu kamar mandi terbuka, dan Almaira perlahan masuk dengan hati-hati.
Mari kita lihat, apa kamu menghindari pandangan begitu melihat tubuh ku? Atau sebaliknya, kamu menatap udara kosong.
Dia gugup.
Yaga tersenyum tipis
Untuk menghancurkan pertahanannya, dia membutuhkan strategi. Yaga mengangkat tangannya ke kebelakang, mengusap punggungnya.
Saat itu, otot perut dadanya yang putih mulus pun terlihat seksi nan mempesona.
"Almaira, bantu aku menggosok punggungku?"
"Gosok punggung?"
"Hmm, ini sulit. Jadi, lakukan sesuatu."
Mendengar hal itu, ekspresi Almaira langsung berubah pucat pasti.
Sial! Apa sih sebenarnya yang ada dalam pikiran Kak Yaga? Punggung mulus begitu, bagian mana yang harus ku bersihkan?
"Almaira! Kamu dengar?"
"Iya, Aira dengar kok, apa yang dibicarakan Kak Yaga."
"Lantas? Kenapa kamu masih berdiri sejauh itu?"
"Itu.... Kak Yaga kan sedang tidak pakai baju. Jadi tidak mungkin bagi Aira harus mendekat pada Kakak. Yang kabarnya alergi Aira sentuh. Apalagi tercium aroma tubuh Aira, belum apa-apa, hidung Kak Yaga bisa infeksi duluan nanti."
JGERR
Bagai pertir dia saing bolong. Begitu kata-kata itu keluar dari mulutnya, ekspresi Yaga yang sebelumnya lembut berubah menjadi sesuatu yang sedingin es.
Apa ini? Kenapa tiba-tiba udara di sekitar Aira rasanya aneh begini.
Dia secara naluriah mundur, melihat Yaga tiba-tiba berdiri lalu turun dari bak mandi. Melangkah dengan wajah yang masih tanpa ekspresi.
Almaira mengatur nafasnya saat Yaga melakukan kabedon padanya, kedua tangannya menempel di dinding. Tidak ada ruang Almaira untuk menyelinap pergi satu inci pun.
Bayangan gelap membayangi wajah Almaira, saat Yaga mencondongkan tubuhnya begitu dekat hingga wajah mereka hampir bersentuhan.
Ya Tuhan, apa sebenarnya yang diinginkan Kak Yaga dari Aira? Mendekat sampai batas ini. Dan dia... tidak pakai baju.
Glek, Almaira menelan ludah
"Apa yang membuatmu takut Almaira? Aku bahkan belum melakukan apa-apa padamu."
Yaga dengan lembut memegang pipi gadis itu dan mulai mengusap wajahnya dengan tangan yang basah. Tangan basah itu mengeluarkan aroma yang sangat menyenangkan aroma yang tidak dapat dia tolak.
"Kamu tahu apa yang lucu?" katanya Yaga
"Apa?"
"Beberapa saat yang lalu, suasana hatiku buruk. Tapi sekarang, aku merasa…"
Dia membungkuk dan menggigit lembut daun telinga Almaira dan berbisik.
"Sangat fantastis."
Sial. Ini tidak nyata kan? Almaira tersentak dengan perlakuannya yang tiba-tiba itu.
"Apa ibu tidak memberitahu mu?"
"Memberitahu soal apa?" Yaga menyeringai dingin
"Biar ku tunjukan pada mu."
Tanpa peringatan, Yaga menghantamkan mulutnya ke bibir Almaira, menciumnya lembut dan melahap bibirnya sekaligus. Dia dengan paksa membuka bibirnya dan memasukkan lidah ke dalamnya.
Bibir mereka saling melilit saat napas mereka terengah-engah. Aroma sabun yang kuat menempel di udara, membuat Almaira mengernyitkan dahi karena rasanya aneh.
Mm—mmph!
Tidak! Jauhkan bibirmu dasar Kak Yaga sialan. Kenapa malah mencium Aira begini? mencuri ciuman pertama... Hiks..
Begitu mulut mereka terpisah Yaga menyentuh bibir bawahnya Almaira dengan ibu jarinya, mengusapnya perlahan.
"Almaira, setiap kali kamu membuat wajah malu seperti ini. Aku... selalu ingin memeluk mu. Itu yang kau lakukan padaku setiap waktu. Kamu tahu? Itu tandanya kamu istimewa. Kamu istriku, milikku, cuma kamu satu-satunya istri yang berhak menyentuhku dimana saja. Pahamkan?"
Milikku Kak Yaga bilang? Ha..! Padahal, dulu Kakak sendiri yang meninggalkan Aira tanpa berpaling.
Almaira menggigit bibir nya.
"Ah, satu hal lagi, saranku, sebaiknya kamu jangan mudah percaya pada rumor yang tak berdasar seperti itu. Sebelum akhirnya kamu malu sendiri setelah tahu kebenarannya, Almaira."
"Apa itu maksudnya? Kenapa Kak Yaga mengatakan hal yang sama. Apa Kak Yaga menyembunyikan sesuatu dari Aira?"
"Menurutmu?" Bibirnya tersungging melihat Almaira berpikir dengan bingung "Lakukan sekarang."
"Melakukan apa?" Bingung
''Gosok punggung ku."
"Ah, baiklah."
Dengan polosnya, Almaira segera meraih spons mandi di sampingnya, saat melihat Yaga sudah kembali duduk di bak mandi.
"Kalau begitu, Aira permisi sebentar ya Kak.”
Almaira meremas tangannya di sela-sela spons basah yang berbusa, menggosok punggung Yaga dengan tekanan lembut.
"Almaira.. sepertinya kepalaku sakit sekali."
"Sakit? Kenapa tiba-tiba? Apa di sisi lain juga sama?"
"Mmm"
"Kalau begitu biar Aira yang memijatnya."
Bibir Yaga sedikit tersenyum. Almaira memijat kepalanya dengan tekun tanpa rasa canggung. Meski begitu, wajah malunya tidak bisa dia sembunyikan.
"Haruskah Aira melanjutkan di sini?"
"Ya, sedikit lebih di tekan"
"Di sini?"
Sentuhannya turun ke bawah, memijat urat di tengkuknya.
"Mmm, sedikit ke bawah"
"Sepertinya, bahu Kak Yaga juga tegang. Aira akan memijatnya. Jadi, beri tahu Aira jika itu sakit."
Memang, sentuhannya berbeda. Rasanya dia ingin menyerahkan seluruh tubuhnya ke tangan gadis itu.
"Juga dadaku."
"Hmm?"
"Dadaku sakit. Apa yang harus kulakukan Almaira?"
"...."
Almaira terdiam melihat jakunnya naik turun dalam waktu lama.
"Bahkan jika aku melewati batasku. Sepertinya... itu akan membuatku lebih nyaman Almaira."
Yaga sengaja menarik tangan Almaira agar menyentuh dadanya.
"Eh?"
Tanggapan Almaira yang menekan dadanya terkejut, dan segera menarik tangannya.
"Ah, Aira minta maaf"
"Tidak, aku suami mu. Seharusnya kamu jangan bilang itu."
Yaga mencondongkan wajah dan bibirnya menyentuh bibir bawah Almaira sekilas. Mata hitam pekat Almaira menatap tajam ke bibirnya yang lembab sebelum beralih ke otot perut dadanya yang basah itu.
"...."
Tersadar, beberapa detik kemudian Almaira memalingkan mukanya. Yaga yang menyadari rona malunya, tersenyum tipis.
"Almaira, kamu benar-benar ahli dalam memijat. Berkat mu, kepalaku jadi ringan."
"Oh, Aira senang mendengar Kak Yaga akhirnya merasa lebih baik."
Mungkin karena malu, Almaira memainkan leher piyamanya dengan gelisah, dan itu tampak menggemaskan
"Tapi yang lebih penting lagi, kaki ku rasanya tegang. Bisa kamu memijatnya untukku?"
"Kaki?"
"Hmm. Aku berendam terlalu lama, mungkin itu sebabnya. Jadi, lakukan sesuatu."
Permohonan laki-laki itu tulus. Almaira bingung apa yang harus dia lakukan.
"Kalau begitu, Aira akan turuti kemauan Kakak."
Almaira mendekat di kaki Yaga dan memasukan tangan ke bak mandi. Berusaha sebisa mungkin untuk meraba kaki Yaga. Dia
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments