Pagi-pagi sekali, selepas Amira mandi dan berganti pakaian, ia terperanjat dan buru-buru ke ruang tamu saat mendengar suara seseorang mengetuk pintu rumahnya. Entah siapa yang sudah bertamu sepagi ini. Namun dari balik jendela, nampak siluet seseorang tengah berdiri tegap membelakangi pintu.
Amira perlahan membuka memutar kenop pintu dan membukanya. Saat itu juga, sang tamu berbalik dengan membawa senyum yang membuat dada Amira masih belum siap menerima kejutan sepagi ini. "Ma-Mas Satria."
Pria itu melambaikan tangan. Wajahnya terbingkai dengan rambut yang setengah acak namun rapi. Balutan kaus berlengan panjang yang pas ditubuhnya memberi kesan kasual namun tetap elegan. Posturnya tegap tapi tidak kaku, memancarkan rasa percaya diri yang alami. Dan aroma parfum itu—aroma parfum yang sama yang selalu mengingatkan pada kehangatan dan ketenangan—mengikuti setiap gerakannya. Harumnya lembut namun memikat, seolah menempel di udara tanpa berlebihan, membuat siapa pun yang berada di dekatnya merasa hangat dan nyaman.
Dan kini dihadapannya, bukan lagi seseorang yang asing. Bukan lagi malaikat penolong yang hanya hadir dalam ingatan atau mimpi. Sosok dengan senyum yang familiar dan aura yang selalu menjadi bayangan akhir-akhir ini telah menjadi bagian yang terpatri apik dalam ingatan Amira. Tidak ada lagi rasa canggung yang selalu menjadi penghalang di antara mereka. Percakapan mengalir begitu saja, ringan dan hangat, seolah semua jarak yang pernah ada telah menguap.
"Aku mau ngajak kamu pergi ke suatu tempat." Kata Satria. "Ini hari libur kamu juga, bukan?"
Amira mengangguk. "Kalau begitu, aku ganti baju dulu ya, Mas."
Satria menahan lengan Amira. Ia menatap wanita itu dari atas kepala hingga ujung kaki. "Tetap dengan gaun ini." Ungkapnya.
Satria tak ingin Amira mengganti penampilan yang menurutnya sudah sempurna. Gaun itu membuat Amira terlihat anggun tanpa berlebihan, memancarkan kesan elegan sekaligus santai. Sederhana dan apa adanya.
"Tapi, Mas ... Ini bukan gaun."
Satria melempar senyuman. "Tampil apa adanya lebih istimewa. Pakaian manapun yang kamu kenakan, sama saja cantiknya. Jadi tidak perlu berlebihan."
Amira tertunduk menahan malu atas pujian itu. Senyum tipisnya muncul. Sedangkan, Satria terus memandangnya dengan tatapan hangat yang sulit diabaikan. "Mas Satria, jangan bicara seperti itu."
Satria mendesis, suaranya rendah namun penuh antusias, "Kita pergi sekarang?"
"Aku harus mengunci pintu dulu. Ijinkan aku mengambil tas di dalam." Angguk Amira.
Satria tersenyum dengan anggukkan. Tanpa menunggu lebih lama, ia mengulurkan tangannya ketika Amira kembali keluar sambil mengunci pintu rumahnya. Gerakannya lembut namun meyakinkan, seolah ingin memastikan wanita itu merasa aman dan nyaman saat bersamanya. Amira menatap tangan yang terulur itu sejenak, lalu menggenggamnya perlahan, membiarkan Satria menuntunnya keluar menuju mobil yang siap membawa mereka ke suatu tempat yang belum diketahui, tapi terasa penuh janji.
****
Jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, dua jam perjalanan terasa begitu cepat karena percakapan ringan dan tawa yang sesekali pecah di antara mereka. Kini, mobil Satria melesat di jalan yang berkelok di antara hamparan perkebunan teh yang hijau menjulang, seakan melambai-lambai di bawah sinar matahari pagi.
Dari balik jendela, Amira menatap dengan mata berbinar, kagum oleh pemandangan yang menenangkan. Daun-daun teh yang rapi seperti permadani hijau terbentang sejauh mata memandang, sesekali diterpa angin hingga menimbulkan gelombang lembut di permukaannya. Udara sejuk yang masuk dari jendela terbuka membuat pipinya merona, dan senyum tipis tak bisa disembunyikan.
"Ayahku memiliki sebuah vila dan perkebunan teh sekitar sini." Kata Satria sambil tetap memandang lurus ke jalanan yang lenggang kendaraan. "Dulu, kami sering mengunjungi tempat ini. Menginap di vila hanya beberapa hari saja, bukan hanya untuk menyegarkan pikiran dari aktivitas yang rutin dan membosankan. Tapi juga tugas Ayah untuk mengontrol perkebunan miliknya itu."
Amira mengangguk pelan, bibirnya membulat membentuk vokal “O” kecil, menandakan rasa kagum yang sulit disembunyikan. Ia tak menyangka bahwa pria yang kini menjadi kekasihnya itu memang orang berada, dengan sikap dan wibawa yang secara halus menandakan kelasnya. Perasaan campur aduk muncul—kagum, terpesona, sekaligus sedikit malu.
Satria kemudian membanting setir mobilnya, meninggalkan jalan utama. Ia mulai memasuki jalanan kecil dan berbatu. Suara gemerincing kerikil terdengar di bawah ban, sementara mobil berguncang perlahan mengikuti tikungan dan kontur jalan. Pepohonan di sisi jalan tampak lebih rapat, menciptakan terowongan hijau yang sejuk dan teduh. Dari balik jendela, Amira menahan napas sedikit, setengah terkejut, setengah terpesona oleh perubahan suasana yang tiba-tiba—dari rapi dan luasnya perkebunan menjadi jalan sempit yang terasa lebih pribadi dan misterius.
Mobil akhirnya terparkir di bahu jalan. Satria lebih dulu keluar, menutup pintu dengan lembut, lalu menuju pintu sisi Amira dan membukakannya dengan senyum hangat. “Ayo,” Katanya, sambil mengulurkan tangan ke arah wanita itu.
Amira menatap tangan Satria sejenak, ragu tapi tak lama. Perlahan, ia meraih tangan itu, membiarkan Satria membimbingnya keluar dari mobil. Udara pagi yang sejuk langsung menyambutnya, membawa aroma tanah basah dan dedaunan segar yang menenangkan. Jalan kecil di sekeliling mereka tampak sunyi dan intim, dengan pepohonan yang menjulang di kanan-kiri, sementara sinar matahari menembus celah daun, menebarkan cahaya hangat di antara mereka.
"Kenapa kamu diam saja?" Ucap Satria.
Amira masih belum menjawab. Ia seolah masih belum bisa mengolah perasaannya saat ini—antara kagum, antusias, dan sedikit gugup. Namun satu hal yang menggantung di hati kecilnya. Pantaskah ia untuk Satria?
Lima belas menit perjalanan dari mobil yang terparkir, Satria akhirnya berhasil membawa Amira ke sebuah tempat yang terbuka—lapangan hijau yang teduh. Di tengah lapangan itu, sebuah bangku kayu sederhana berdiri, dikelilingi pepohonan yang menjulang dan dedaunan yang meneduhkan. Cahaya matahari pagi menembus celah-celah daun, menebarkan kilau lembut di atas rumput yang masih basah oleh embun.
“Kita duduk di sini,” Ajak Satria sambil mulai terduduk santai di bangku kayu. Ia menatap Amira dengan senyum hangat, matanya bersinar lembut, seakan mengundang wanita itu untuk duduk di sampingnya. Sedangkan, Amira perlahan menempatkan dirinya di samping Satria, merasakan ketenangan yang aneh tapi menyenangkan.
“Di sana,” ucap Satria lagi, kali ini lengannya terulur, menunjuk ke arah sebuah bangunan yang terlihat cukup jauh, namun jelas dari posisi mereka. Bangunan itu berarsitektur kayu, dengan atap yang sederhana namun rapi, seolah menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Warna cokelat hangat kayu berpadu dengan hijau pepohonan, memberi kesan alami dan menenangkan. "Itu adalah vila milik keluargaku."
Amira tersenyum dan menunduk sesaat sebelum akhirnya ia menatap penuh wajah kekasihnya. "Mas," Lirihnya. "A-Apa aku pantas untuk mendapatkan kamu? Apa aku layak untuk berada di sisi kamu? Sementara, aku ini hanya wanita barista yang ... yang tidak memiliki siapapun bahkan," Amira mendesis. Akhirnya kalimat itu terucap setelah ia memendamnya cukup lama. "Ada banyak wanita di luar sana yang lebih pantas untuk bisa mendampingi kamu. Lebih sepadan dengan kamu, yang cantik dan berkelas."
Suara itu bergetar pelan, menambah kedalaman perasaan yang disampaikan. Satria tersenyum lembut, menatap Amira dengan mata yang hangat.
"Ini layak seperti mimpi panjang untuk bisa mendapatkan kamu, Mas." Lanjut Amira. "Aku bahkan..."
Sepotong kalimat Amira terputus, ketika Satria meraih jemarinya dan menangkupnya hangat dari hawa dingin embun yang masih menyelimuti udara.
"Aku tidak melihatmu sebagai wanita yang harus cantik dan berkelas. Kamu memiliki hal yang tidak semua wanita miliki, Amira." Kata Satria dengan lembut namun terdengar tegas. "Yaitu ketulusan."
Bulat bola mata Amira memancarkan kehangatan yang tak bisa disembunyikan. Pandangannya menatap Satria dengan campuran kagum, haru, dan perasaan yang mulai sulit ia kendalikan.
"Kesederhanaan kamu yang membuat kamu lebih istimewa." Lanjut Satria. Sejenak, ia berpaling menatap ke depan tanpa melepaskan genggaman itu. "Aku juga bukan pria yang kamu pandang sempurna dan layak mendapatkan wanita yang sepadan."
Sorot mata Satria berbaur memandang ke depan, seakan kejujuran dan ketulusannya tersaji dihadapannya. "Apa yang aku miliki itu semua bukan benar-benar milikku. Bukan hasil dari keringat dan jerih payahku sendiri. Aku sama sepertimu. Sama-sama berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang layak di masa depan nanti."
Satria menoleh menatap Amira yang sedari tadi mengunci geraknya. "Dan, kini aku mau memperjuangkan masa depanku bersama kamu, Amira."
"Mas ..."
"Aku tidak akan memperkenalkan kamu kepada keluargaku sebelum aku sukses," Ucapnya tegas, matanya menatap Amira penuh tekad. Suaranya tenang namun berisi, mencerminkan janji yang tulus sekaligus tekad yang kuat untuk bekerja keras. "Semua keinginan yang aku raih dapatkan, aku akan membawa kamu datang menemui mereka. Kita akan menikah. Dan memiliki kehidupan yang kita harapkan sekarang ini."
Amira menunduk sebentar, merasakan campuran kagum dan haru, menyadari betapa besar kesungguhan Satria—bukan sekadar kata-kata, tapi komitmen yang tulus untuk masa depan mereka bersama. Matanya kini berbinar, memantulkan cahaya harapan dan rasa hangat yang memenuhi hatinya. Senyum tipis perlahan muncul di bibirnya, seolah tak mampu menahan kebahagiaan yang mengalir dari ketulusan Satria. "Makasih, Mas." Lirihnya, nyaris tanpa suara.
"Tunggu aku, Amira. Tunggu aku untuk mendapatkanmu."
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments