Bab 2 – Bayangan dari 669

Seminggu sudah Nayla berada di rumah almarhum neneknya. Seminggu itu pula ia mencoba merajut kembali kepingan hatinya yang hancur. Aroma tanah basah dan suara jangkrik di malam hari perlahan menyembuhkan, tetapi tidak sepenuhnya. Luka pengkhianatan dari Arga dan Tania masih terasa perih, mengendap di dasar hatinya.

Belum sembuh luka hatinya, kini ia dihadapkan pada sebuah rutinitas baru. Sejak penemuan kalung hijau zamrud itu, Nayla tidak bisa tidur dengan nyenyak. Setiap malam, mimpi-mimpi aneh itu datang, makin jelas, makin terasa nyata. Ia tidak lagi menjadi penonton. Dalam mimpi itu, Nayla merasakan seolah ia adalah seorang gadis bernama Puspa. Ia merasakan kehangatan terik matahari di kulitnya, hembusan angin yang membawa aroma hutan, dan detak jantung yang berdebar kencang. Ia bukan sekadar melihat, ia merasakan.

Malam itu, Nayla kembali terlelap, kalung hijau zamrud masih tergeletak di meja samping tempat tidur. Seperti magnet, ia menarik Nayla ke dalam masa lalu.

Dalam mimpi, Nayla menemukan dirinya berdiri di tengah hutan lebat. Udara terasa lembap, dan bau tanah basah bercampur dengan aroma herbal yang kuat. Ia memakai kemben putih yang sederhana, rambut hitamnya terurai dikepang longgar. Di tangannya, sekeranjang penuh rempah-rempah yang baru dipetik. Jantungnya berdebar, bukan karena takut, melainkan karena kebahagiaan yang aneh.

Di hadapannya, seorang pria tampan duduk bersandar di pohon. Rambutnya diikat rapi, wajahnya bersih dan berwibawa. Matanya menatap lurus ke arahnya. Pria itu bernama Wira.

Dia mendekat, lalu duduk di sebelahnya. "Kakimu sudah tidak sakit?" tanya Nayla, suaranya terasa begitu lembut, begitu berbeda dari suaranya sendiri di dunia nyata.

Pria itu tersenyum. "Sudah jauh lebih baik, berkat ramuan yang ibumu berikan."

Beberapa hari sebelumnya, Wira sedang berburu seorang diri. Ia mengejar seekor rusa, tetapi kakinya terjerat perangkap yang dibuat penduduk sekitar. Ia berjalan tertatih, tapi kakinya terluka parah. Di tengah keputusasaan, seorang wanita tua dan anak gadisnya menemukannya. Mereka membantu Wira melepaskan diri dari jerat, dan membawanya ke pondok mereka.

Puspa adalah anak seorang tabib hebat, dan nyatanya Puspa mewarisi bakat ibunya. Mereka dengan telaten menolong Wira tanpa tahu bahwa Wira adalah seorang pangeran. Wira juga tidak menyebutkan identitasnya, takut Puspa menjauhinya.

Selama hampir seminggu di sana, Wira merasa seperti menemukan jati diri. Ia tidak perlu berpura-pura menjadi seseorang yang bukan dirinya, seperti saat berada di kedaton. Ia membantu Puspa dan ibunya memanen sayur, membelah kayu bakar, dan mencari ramuan di hutan. Hal-hal yang belum pernah ia lakukan seumur hidupnya.

"Aku akan kembali ke desa sebelah besok," kata Wira, memecah keheningan. "Aku harus segera kembali, karena jika satu purnama aku tidak kembali dari berburu, maka pasti..." Ia menghentikan kalimatnya, teringat pada prajurit setia yang nanti akan dipenggal ayahandanya karena membiarkan Wira berburu sendirian.

Puspa menyeringai jahil, menyenggol lengannya. "Tentu... kau harus cepat kembali setelah pulih. Karena kau harus membayar jasa kami, kau ingat? Tanaman yang kami buat untuk lukamu jika kami tukar dengan singkong bisa untuk makan satu bulan."

Wira tertawa, suaranya dalam dan menenangkan. Tawa itu tulus, membuat matanya berkerut di sudut. "Baiklah... akan ku bayar sesuai maumu. Asal kau tahu, aku tidak pernah bekerja sekeras ini seumur hidupku."

Puspa menggeleng, senyumnya meluruh menjadi kelembutan. "Kalau begitu, kau harus sering-sering ke sini agar terbiasa. Memanen sayur, membelah kayu... hal itu membuat tubuhmu kuat."

"Aku setuju. Tapi aku tidak yakin prajuritku akan senang jika mereka melihatku sedang membelah kayu," balas Wira, suaranya mengandung nada geli.

"Prajuritmu?" Puspa menatapnya dengan bingung.

Wira menggeleng cepat, nyaris tak sadar. Ia takut rahasianya terbongkar. "Kau tidak ingin mengenalku lebih jauh?" selidiknya, suaranya berubah serius, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Puspa mengangkat bahu, berpura-pura santai. "Kau? Dilihat dari pakaian yang kau kenakan, kau pasti keluarga saudagar atau salah satu lurah di kerajaan Galuh ini. Iya kan?"

Wira tertawa lepas, membayangkan dirinya yang adalah pangeran mahkota dari Kerajaan Galuh dianggap sebagai anak lurah. Dia tersenyum geli. "Kau benar-benar yaa.....sudahlah lupakan..."

"Kapan kau berangkat? Akan ku siapkan bekal perjalanan," kata Puspa, suaranya kembali lembut.

"Aku lebih senang jika ada kamu di perjalananku..." goda Wira, dan Nayla merasakan pipi Puspa merona.

Puspa menunduk, jantungnya berdebar. Wira meraih tangan Puspa, Hangat, lembut, dan penuh kasih. "Jangan sedih. Aku akan kembali."

Puspa mendongak, matanya bertemu dengan mata Wira. "Janji?"

Wira tersenyum. "Janji."

Puspa membalas senyuman Wira. Senyuman itu tulus, tanpa keraguan. Namun, Nayla, yang merasakan setiap emosi di mimpi itu, tahu bahwa senyuman itu tidak akan bertahan lama. Di balik senyuman itu, ada ketakutan, ada kekhawatiran yang hanya bisa ia pahami sekarang.

Tiba-tiba, mimpi itu berakhir. Nayla terbangun, napasnya tersengal-sengal, kilasan mimpi itu masih terasa nyata, bahkan setelah Nayla membuka matanya. Ia merasakan perasaan Puspa, juga kerinduannya pada Wira.

"Itu... bukan mimpi," gumam Nayla. "Itu... kenangan..."

Kalung hijau zamrud di meja samping tempat tidurnya berkilau, seolah membenarkan ucapannya. Nayla meraihnya, menggenggamnya erat-erat.

"Puspa... Wira... siapa kalian?"

Rasa penasaran mengalahkan kepedihan hatinya. Nayla memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang kalung itu. Ia mencoba mencari di internet tentang kerajaan Galuh. Ada beberapa artikel sejarah tentang kerajaan kuno di Jawa Barat itu. Namun, ketika ia mencoba mencari nama Wira atau Puspa, tidak ada hasil yang relevan. Seolah-olah mereka tidak pernah ada, seolah-olah kisah mereka sengaja dihapus dari sejarah.

Lelah dan frustrasi, Nayla mengeluarkan buku hariannya. Ia mulai menulis, mencatat semua mimpinya, semua perasaannya. Ia menulis tentang Wira yang tampan, tentang Puspa yang ceria. Ia menulis, berharap bisa menemukan jawaban di antara kata-kata, berharap bisa menemukan petunjuk yang bisa membawanya lebih dekat pada kebenaran. Ia tak peduli lagi apakah ini kegilaan atau bukan.

Saat ia sedang asyik menulis, pena di tangannya seolah bergerak sendiri.

Tangannya menuliskan sesuatu yang tidak ia sadari. Sebuah tulisan kuno, mirip dengan ukiran pada kotak kayu yang ia temukan.

Nayla terkejut, ia mencoba mengulanginya, tapi pena itu hanya bisa menuliskan tulisan biasa. Ia menatap tulisan kuno itu, perasaannya campur aduk.

"Apa... ini?" gumamnya, suaranya tercekat. Ia mengambil foto tulisan itu dengan ponselnya.

Sesaat kemudian, Nayla mencoba mencari di Google Translate, tetapi hasilnya nihil. Tidak menyerah, ia mencoba lagi dengan kata kunci yang berbeda: "huruf kuno", "aksara nusantara", "tulisan Sunda kuno".

Hingga akhirnya ia menemukan forum-forum kuno yang membahas aksara Sansekerta. Setelah membandingkan, ia berhasil menemukan kesamaan dengan tulisan yang ia buat.

Dengan tangan gemetar, Nayla memasukkan satu per satu karakter ke dalam penerjemah online khusus. Ia menunggu beberapa detik, dan di layar ponselnya, muncul sebuah tulisan.

"Cinta kita tidak terbatas waktu."

Nayla terdiam. Matanya menatap tulisan itu, lalu beralih pada kalung hijau zamrud yang masih ia genggam.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!