Bab 4: Andika Dimana?

Pukul 06.10 pagi.

Langit masih malu-malu membuka tirainya, tapi kamar Tiny sudah terang. Bukan karena matahari, tapi karena semangat yang meledak dari seorang pengantin wanita yang tak bisa berhenti tersenyum di depan cermin.

“Ya ampun... ini alat makeup-nya lucu banget, sih,” gumam Tiny sambil membuka satu per satu kuas yang tertata rapi di meja rias. Ada blush on, highlighter, hingga lipstik nude yang disusun khusus untuk hari ini.

Ia lalu menoleh ke sebelah—gaun akad berwarna putih tulang tergantung manis di lemari kaca. Hiasan renda di bagian bahu dan ujung lengan itu membuat matanya berbinar.

“Cantik banget... kayak aku~” ujarnya sambil tertawa pelan sendiri.

Namun bukan hanya gaunnya yang membuat hati Tiny berdesir. Di samping gaun itu, tergantung rapi setelan jas berwarna senada, milik Andika.

Tiny mendekat, lalu menyentuh bahu baju itu pelan. “Kamu pasti ganteng banget nanti, Ndi...”

Meskipun akad dilaksanakan pukul sembilan, Tiny sudah bersiap sejak subuh. Bahkan makeup artist yang datang pun sempat terkekeh, “Mbak pengantin kayaknya yang paling semangat ya se-kecamatan ini.”

Dan memang benar.

Tiny tak bisa menahan antusiasmenya. Bahkan sebelum cermin disentuh kuas, senyumannya sudah seperti matahari pagi.

Karena hari ini, dia akan menikah.

Akad kali ini dilaksanakan di halaman depan rumah Tiny—sebuah permintaan khusus dari Andika yang diam-diam diamini oleh dirinya.

Rumah yang ditempati Tiny cukup luas, dan halaman depannya didekorasi dengan penuh detail. Nuansa putih dan hijau mendominasi, dengan bunga melati dan eucalyptus tergantung di setiap sisi. Meja akad sederhana diletakkan tepat di bawah pohon besar yang menaungi suasana.

Namun di balik keindahan itu, ada satu alasan yang membuat Tiny diam beberapa detik tadi pagi, ketika menatap gaunnya:

“Aku mau... saksi pertama kita bukan langit-langit gedung, tapi atap rumahmu. Tempat kamu tumbuh, tempat kamu belajar bertahan, tempat kamu tertawa bareng keluargamu. Aku pengin semua itu jadi saksi... kalau kamu hari ini, jadi milikku.”

Itulah jawaban Andika, saat Tiny bertanya kenapa tidak akad di hotel atau gedung.

Tiny menahan napas saat mengingat kalimat itu. Bibirnya bergeming, matanya berkaca-kaca. Ia peluk pelan gaun putihnya.

“Bentar lagi...” bisiknya.

Lalu ia menatap pantulan dirinya di cermin, berdiri lebih tegak. Pipinya masih merona. Dan senyum itu—senyum tulus yang belum sempat pamit sejak pagi tadi—masih setia di sana.

°°°°

Pukul 07.30.

Semua persiapan selesai lebih cepat dari yang dijadwalkan. Tiny sudah duduk manis di depan meja rias dengan gaun akad putihnya yang anggun. Wajahnya sudah dipoles rapi, make-up-nya lembut tapi menyala—membuat pesona alaminya makin terpancar.

Kini, tak ada lagi makeup artist di sampingnya. Hanya ada dua wanita terdekat yang selalu hadir di setiap fase hidupnya: Mama Ina, dan sang kakak, Alicia.

Mama Ina tersenyum sambil memperhatikan putri bungsunya dari belakang. Matanya berkilat lembut, penuh rasa bangga dan haru.

“Semangat banget anak bontot Mama,” ucap Mama Ina sambil menepuk pelan bahu Tiny.

Tiny, yang sedang meneguk air putih dari gelas kaca kecil, langsung terkekeh. “Iya lah, Ma. Nggak sabar mau jadi istri orang.”

Nada suaranya riang, senyum di wajahnya tak kunjung pergi.

Alicia ikut tertawa sambil duduk di sisi tempat tidur. “Ceria banget. Nggak kayak aku dulu, semalaman diam gara-gara tegang.”

“Karena Kak Alicia bukan aku,” sahut Tiny cepat, disambut tawa kecil di seluruh ruangan.

Mama Ina menggeleng pelan, matanya tak lepas dari wajah putrinya di cermin. “Kamu tuh ya, dari bayi udah bawanya lucu. Sekarang mau akad, masih aja bisa becanda. Tapi Mama seneng... karena kamu bahagia.”

Tiny menoleh sebentar, lalu tersenyum manis. “Bahagia banget, Ma.”

Beberapa detik berlalu dalam diam hangat. Sampai kemudian, Tiny kembali membuka suara.

“Kak, Elvan sama Elvi mana?” tanyanya pada Alicia.

Alicia tertawa, sudah bisa menebak arah pertanyaan itu. “Sama Papa-nya lah. Kalau dibawa ke sini bisa berabe. Bisa-bisa kamarmu berubah jadi arena balap mobil-mobilan.”

Tiny ikut tertawa. Ia membayangkan si kembar kesayangannya berlari sambil teriak-teriak seperti biasa. “Bener juga...”

Tiny kembali menatap cermin, tapi kali ini matanya lebih tenang. Lalu ia bertanya lagi, “Aney mana?”

“Ada sama Bang Rez,” jawab Alicia sambil merapikan ujung veil gaun adiknya. “Main sama Elvan Elvi kayaknya.”

Tiny mengangguk pelan.

Aney—nama kecil dari Aneley, ponakan pertamanya.

Sambil melipat tangan di pangkuan, Tiny menarik napas panjang. “Satu setengah jam lagi, ya...”

Mama Ina berjalan pelan ke arah putrinya, lalu memeluk pundak Tiny dari belakang. “Iya, sayang. Satu setengah jam lagi... kamu bakal duduk di pelaminan, digandeng suami kamu. Tapi buat Mama... kamu tetap gadis kecil yang dulu suka main pasir di halaman.”

Tiny menoleh pelan, lalu tertawa, “Ya ampun, Ma... aku nangis lho kalau Mama ngomong gitu.”

Alicia ikut tersenyum, nada suaranya lembut, tapi ada sedikit gurauan khas suaminya yang mulai terbawa, “Bagus, biar make-up-nya ulang.”

“Eits!” Tiny cepat-cepat duduk tegak. “Nggak boleh! Udah cakep gini masa diulang?”

Tawa kembali pecah kecil di kamar itu.

Namun tawa itu perlahan meredup, saat Mama Ina menatap jam dinding yang tergantung di sudut kamar.

“Hm... Andika kok belum ke sini ya?” gumam Mama Ina pelan, tapi cukup terdengar.

Tiny menoleh cepat. Senyumnya menipis. “Iya juga... harusnya udah datang, kan, Ma?”

Alicia ikut memandang jam. “Setengah delapan lebih. Padahal jam sembilan akad. Kemana dia?”

Baru saja ketegangan itu muncul, pintu kamar terbuka.

Diva masuk dengan gaya khasnya yang bersemangat—namun kali ini tak membawa canda sebanyak biasanya.

“Cantik banget sahabat gue,” katanya sambil menatap Tiny dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Kaya peri-peri bridal versi Indonesia.”

Tiny tertawa kecil. Tapi kekehannya terdengar hampa. Ada sesuatu yang mengganggu di dadanya.

Ia melirik jam sekali lagi.

“Diva,” ucapnya pelan. “Satu jam lagi akad, tapi... Andika belum kelihatan. Lo liat dia nggak?”

Diva menggeleng sambil menaruh tas kecilnya di meja. “Nggak. Barusan Bang Rez juga ngomong—udah nelponin Andika berkali-kali tapi nggak diangkat.”

Tiny langsung duduk lebih tegak. Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel di atas meja rias.

“Lo nelpon siapa?” tanya Diva, walau bisa menebak jawabannya.

“Andika lah... siapa lagi?” suara Tiny mulai terdengar panik.

Ia menekan kontak nama yang sudah ada di daftar favorit teratas. Menunggu. Satu nada sambung. Dua. Tiga.

Tak diangkat.

Terpopuler

Comments

Aiko

Aiko

Gak bisa dijelaskan dengan kata-kata betapa keren penulisan cerita ini, continue the good work!

2025-09-22

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1: Bayangan Terindah
2 Bab 2: Bahagia Yang Terlalu Indah
3 Bab 3: Momen Terakhir
4 Bab 4: Andika Dimana?
5 Bab 5: Pengantin Alternatif
6 Bab 6: Sepuluh Menit Terakhir
7 Bab 7: Tiga Bulan?
8 Bab 8: Keputusan Di Balik Pintu Terkunci
9 Bab 9: Makan Bersama Tersangka
10 Bab 10: Truth Or Dare
11 Bab 11: Sisi Lain Xion
12 Bab 12: Otw Merantau
13 Bab 13: Minum Satu Berdua?
14 Bab 14: Rumah Dan Status Baru
15 Bab 15: Imam Pertama
16 Bab 16: Menahan Diri
17 Bab 17: Keliling Komplek Yang Gagal
18 Bab 18: Kunci Pagar, Kunci Hati
19 Bab 19: Salah Sebut Nama
20 Bab 20: Makanan Bayi
21 Bab 21: Kalau Aku Nggak Balik?
22 Bab 22: Rencana Yang Buyar
23 Bab 23: Banjir Roasting
24 Bab 24: Diam Itu Berarti...
25 Bab 25: Saat Pandangan Tak Lagi Biasa
26 Bab 26: Tanpa Rencana, Tapi Terjadi
27 Bab 27: Pernah Menyukaimu
28 Bab 28: Bertemu Diva
29 Bab 29: Siapa Dalangnya?
30 Bab 30: Salah Satu Dari Mereka
31 Bab 31: Belum Sampai Sejauh Itu Kan?
32 Bab 32: Rindu Tapi Gengsi
33 Bab 33: Testpack?
34 Bab 34: Bukan Garis Halusinasi Kan?
35 Bab 35: Setengah Aku, Setengah Kamu
36 Bab 36: Yang Tak Bisa LDM
37 Bab 37: Konsultasi Ke Dokter
38 Bab 38: Dering Dari Masa Lalu
39 Bab 39: Percakapan Xion Dan Andika
40 Pengumuman
41 Bab 40: Alasan Andika Tak Hadir Waktu Itu
42 Bab 41: Jaga Dia
43 Bab 42: Papa?
44 Bab 43: Biar Aku Bisa Belajar
45 Bab 44: Mood Bumil
Episodes

Updated 45 Episodes

1
Bab 1: Bayangan Terindah
2
Bab 2: Bahagia Yang Terlalu Indah
3
Bab 3: Momen Terakhir
4
Bab 4: Andika Dimana?
5
Bab 5: Pengantin Alternatif
6
Bab 6: Sepuluh Menit Terakhir
7
Bab 7: Tiga Bulan?
8
Bab 8: Keputusan Di Balik Pintu Terkunci
9
Bab 9: Makan Bersama Tersangka
10
Bab 10: Truth Or Dare
11
Bab 11: Sisi Lain Xion
12
Bab 12: Otw Merantau
13
Bab 13: Minum Satu Berdua?
14
Bab 14: Rumah Dan Status Baru
15
Bab 15: Imam Pertama
16
Bab 16: Menahan Diri
17
Bab 17: Keliling Komplek Yang Gagal
18
Bab 18: Kunci Pagar, Kunci Hati
19
Bab 19: Salah Sebut Nama
20
Bab 20: Makanan Bayi
21
Bab 21: Kalau Aku Nggak Balik?
22
Bab 22: Rencana Yang Buyar
23
Bab 23: Banjir Roasting
24
Bab 24: Diam Itu Berarti...
25
Bab 25: Saat Pandangan Tak Lagi Biasa
26
Bab 26: Tanpa Rencana, Tapi Terjadi
27
Bab 27: Pernah Menyukaimu
28
Bab 28: Bertemu Diva
29
Bab 29: Siapa Dalangnya?
30
Bab 30: Salah Satu Dari Mereka
31
Bab 31: Belum Sampai Sejauh Itu Kan?
32
Bab 32: Rindu Tapi Gengsi
33
Bab 33: Testpack?
34
Bab 34: Bukan Garis Halusinasi Kan?
35
Bab 35: Setengah Aku, Setengah Kamu
36
Bab 36: Yang Tak Bisa LDM
37
Bab 37: Konsultasi Ke Dokter
38
Bab 38: Dering Dari Masa Lalu
39
Bab 39: Percakapan Xion Dan Andika
40
Pengumuman
41
Bab 40: Alasan Andika Tak Hadir Waktu Itu
42
Bab 41: Jaga Dia
43
Bab 42: Papa?
44
Bab 43: Biar Aku Bisa Belajar
45
Bab 44: Mood Bumil

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!