Agatha masih tercekat, dia memandang sekeliling. Tatapannya kosong. “Apa yang aku lakukan disini?” Agatha membolak-balikkan telapak tangannya tanpa sadar.
“Aries! Kemari!” Suara Kapten Utama, Sensei Ryu memecah konsentrasinya.
“Aries?” Agatha menggumam sesaat, sudah cukup lama nama itu tidak terdengar di telinganya.
“Cepat!” panggil Sensei Ryu dengan suara yang berat. “Dan kau, Reza! Maju ke depan!”
Agatha menoleh ke belakang, dia melihat Reza sahabatnya. Wajah muda Reza, membuat Agatha sadar jika dia sedang terjebak di dimensi masa lalu.
Agatha melangkah maju dan Reza mengikutinya.
“Kalian berdua!” Sensei Ryu melanjutkan, menunjuk ke tengah matras. “Aries akan mendemonstrasikan beberapa teknik dasar dan lanjutan. Reza, kau akan menjadi uke-nya. Tunjukkan kepada mereka apa artinya kesempurnaan dalam judo!”
Mata Agatha menyipit tipis. Ini adalah kesempatan yang tidak ia duga. Kesempatan untuk melampiaskan amarahnya, mengingat Reza telah berkhianat kepadanya di masa depan.
“Siap, Sensei!” jawab Agatha, suaranya mantap.
Reza mengambil posisi di hadapannya, seringai tipis tersungging di bibirnya.
“Kita mulai dengan O-goshi,” kata Agatha, suaranya tenang namun mengandung otoritas. “Perhatikan bagaimana kuzushi pemecahan keseimbangan dilakukan.”
Agatha bergerak mendekat. Tangannya yang kuat mencengkeram erat kerah dan lengan Reza. Cengkeraman itu, meskipun tampak standar, memiliki kekuatan yang sedikit berlebihan, membatasi gerakan Reza bahkan sebelum teknik dimulai.
Agatha menarik Reza ke arahnya, memastikan Reza sedikit condong ke depan, lalu memutar pinggulnya dengan cepat dan dalam, memposisikan pinggulnya tepat di bawah pusat gravitasi Reza.
Saat Agatha mengangkat Reza, ia memastikan bahwa kake aplikasi teknik dilakukan dengan kekuatan yang tepat.
Reza terangkat dari matras, tubuhnya melayang sesaat sebelum Agatha memutar tubuhnya, melemparkan Reza ke matras.
GEDEBUK!
Agatha memastikan Reza jatuh dengan punggung rata, namun dengan sedikit hentakan yang lebih keras dari yang seharusnya untuk demonstrasi biasa.
Reza terkesiap, napasnya sedikit tertahan, namun ia segera bangkit, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menusuk. “Sialan!” batinnya kesal.
“Bagus sekali, Aries! Perhatikan kuzushi dan tsukuri nya!” puji Sensei Ryu, sama sekali tidak menyadari nuansa di balik lemparan itu.
“Selanjutnya, Ippon Seoi Nage,” kata Agatha, tidak memberi Reza waktu untuk bernapas.
Kali ini, Agatha bergerak lebih cepat. Ia menarik lengan Reza, memutar tubuhnya di bawah lengan Reza, dan menyelipkan lengan nya di bawah ketiak Reza.
Cengkeraman di lengan Reza diperketat, membuat sendi bahunya sedikit tegang. Saat ia menarik dan memutar, Agatha memastikan Reza tidak memiliki kesempatan untuk beradaptasi atau menahan.
Reza sekali lagi terlempar, kali ini dengan efek yang lebih mengejutkan, mendarat dengan bahu terlebih dahulu sebelum punggungnya menghantam matras. Rasa sakit itu menjalar, namun Reza tetap berusaha mempertahankan wajah datar.
“Luar biasa. Kecepatan dan presisi yang tepat!” Sensei Ryu bertepuk tangan.
Agatha melirik Reza. Ada sedikit kerutan di dahi Reza, “Ini pembalasanku, br*ngsek!”
“Sekarang, kita akan melihat Uchi-Mata,” Agatha melanjutkan, suaranya tetap tenang. “Ini membutuhkan koordinasi yang sempurna antara kaki dan pinggul.” imbuhnya.
Agatha mengambil langkah maju, menarik Reza ke dalam jangkauannya. Ia mengayunkan kakinya ke dalam paha Reza, bukan hanya untuk menyapu, tetapi dengan sedikit dorongan ke atas yang membuat Reza kehilangan pijakan sepenuhnya.
Pada saat yang sama, ia menarik kerah Reza ke bawah dan ke samping, memutar tubuhnya. Reza merasakan kakinya terangkat tinggi, tubuhnya berputar di udara dengan cara yang tidak terkontrol. Ia mendarat dengan sisi tubuhnya, mengeluarkan erangan kecil yang nyaris tak terdengar.
“Sempurna! Kekuatan eksplosif dan keseimbangan yang luar biasa!” Sensei Ryu berseru.
Setelah beberapa lemparan lagi, masing-masing dengan sentuhan 'sempurna' yang membuat Reza semakin terengah-engah dan sedikit memar, Sensei Ryu meminta demonstrasi teknik kuncian.
“Aries, tunjukkan Kesa-gatame setelah lemparan,” perintah Sensei Ryu.
Agatha mengangguk. Ia melakukan Osoto-Gari yang kuat, menjatuhkan Reza dengan keras ke matras.
Sebelum Reza sempat bereaksi, Agatha sudah berada di atasnya, mengunci Reza dalam Kesa-gatame kuncian leher, lengan.
Agatha memposisikan tubuhnya dengan sempurna, menekan berat badannya ke dada Reza, membatasi gerakannya. Lengan Reza terkunci erat di bawah ketiaknya, kepalanya tertekan ke matras.
Cengkeraman Agatha tidak menyakitkan, tetapi sangat membatasi. Ia menekan dengan cukup kuat sehingga Reza kesulitan bernapas dalam-dalam, namun tidak cukup untuk dianggap tidak sportif.
Reza mencoba bergerak, namun setiap gerakannya hanya memperkuat cengkraman Agatha. Ia merasa terperangkap, tidak berdaya di bawah kendali Agatha.
“Perhatikan bagaimana Aries mengunci posisi, tidak memberi lawan kesempatan untuk melarikan diri,” jelas Sensei Ryu, mengamati dengan seksama.
Beberapa detik terasa seperti kematian bagi Reza. Dia bisa merasakan detak jantungnya sendiri berdebar kencang, paru-parunya menuntut udara lebih banyak. Akhirnya, Sensei Ryu memberi isyarat agar Agatha melepaskannya.
Agatha bangkit dengan tenang, wajahnya tanpa emosi.
Reza terbatuk pelan, mencoba menarik napas dalam-dalam, matanya bertemu dengan mata Agatha.
“Luar biasa, Aries! Demonstrasi yang sempurna!” Sensei Ryu memuji, bertepuk tangan. “Itulah standar yang harus kita kejar!”
Agatha membungkuk hormat kepada Sensei Ryu, lalu kepada Reza.
Pembungkukan itu tampak sopan, namun ada pesan tak terucap di dalamnya. Sebuah peringatan, sebuah dominasi.
Reza membalas busur itu, namun dengan sedikit gemetar di tangannya. Ia merasa lelah, memar, dan entah mengapa, terhina. “Sial! Dia seakan ingin membunuhku. Apa salahku padanya?” gerutu Reza dalam hati.
Saat Agatha kembali ke barisan, ia merasakan kepuasan yang dingin. Ia telah memberikan 'pembalasan dendam' yang sempurna.
Tanpa kata, tanpa pelanggaran aturan, ia telah menunjukkan kepada Reza siapa yang berkuasa di dojo ini, dan siapa yang akan selalu berada di bawahnya.
“Di masa ini, akulah pemenangnya.”
Setelah latihan Judo yang penuh ketegangan dan konflik, Agatha bergegas keluar dari Gymnasium.
Pikirannya hanya tertuju pada satu hal, Larast. Wanita yang menulis buku harian itu. Wanita di masa depan yang bunuh diri akibat penyakit leukimia nya.
Agatha berlari dari satu kelas ke kelas lainnya, mencoba mencari tahu di mana Larast berada. Ia menyusuri koridor, bertanya pada setiap murid yang ia temui tentang keberadaan Larast.
“Larast?” ujar seorang siswi dari kelas IPA 3A.
“Iya, kau kenal?” tanya Agatha dengan nada mendesak.
Siswi bernama Bella itu mengangguk, kemudian dia menarik bahu Agatha dan berbisik, “Kalau jam segini, biasanya dia di halaman belakang,” ucap Bella.
“Halaman belakang? Untuk apa?” Agatha tampak bingung.
Bella menunjukkan kedua jarinya, memberi isyarat seperti sedang merokok. “Ya, gitulah,” bisiknya.
“Apa?” Agatha tampak terkejut. Larast yang terlihat lemah di masa depan sama sekali tidak cocok dengan gambaran masa sekarang.
Bella lalu menarik bahu Agatha lagi, kali ini dengan satu jari telunjuknya di bibir, “Jangan keras-keras, kalau dia tahu aku memberitahukan kepadamu, aku bisa habis,” ucap Bella lirih, matanya melirik ke sekeliling dengan waspada.
Agatha semakin terkejut. Jadi, Larast di masa SMA adalah sosok yang ditakuti?
Tanpa membuang waktu, Agatha segera berlari ke halaman belakang, tempat persembunyian Larast saat bolos ekstrakurikuler.
“Sialan! Kenapa aku mencarinya?” Sesaat terbesit pertanyaan tentang alasan ia melakukan ini. Mengapa ia begitu terobsesi dengan Larast? Apakah hanya karena buku harian itu? Atau ada sesuatu yang lebih?
Langkahnya terhenti, tepat sebelum memasuki gudang kosong yang menjadi ruang rahasia Larast. Agatha ragu. “Haruskah aku melanjutkan?”
Namun, saat ia akan berbalik, seorang gadis berambut panjang keluar dari gudang kosong itu. Asap rokok mengepul tipis di sekitarnya.
Matanya menatap Agatha tajam, penuh curiga dan permusuhan. “Apa, loe!” gertaknya dengan nada kasar.
Agatha melihat tag nama di dada gadis itu. Jantungnya berdebar kencang.
"L A R A S T" membaca satu persatu huruf dengan wajah kesal.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Nurika Hikmawati
Plis, Thor! Jangan bikin Larast setipe dengan si sapir. Aku bs darah tinggi /Sweat/
2025-09-24
1
Dewi Payang
Kak, aku kok masih mikir itu si Agtha nama cewe, Cornelia Agatha....🤭
2025-09-18
0
Nurika Hikmawati
Andaikan saja ini nyata, aku juga mau balik ke masa SMA... Masa terindah di mana masalah terbesar adalah remedial ujian. wkwkwkwkwk
2025-09-24
1