"Bu Hanim, tolong tenang!" Satria menengahi. Ia melangkah maju, berdiri di antara Mulia dan Bu Hanim. "Saya tahu Mulia. Dia wanita yang baik. Saya yakin dia tidak akan pernah melakukan hal seperti itu. Yang saya tahu, selama ini, Pak Wibowo sering kali meminta Mulia untuk lembur, bahkan di luar jam kerja. Saya juga tahu bahwa Pak Wibowo ini sering menggoda karyawan-karyawan wanita di sini. Saya akan mencari tahu tentang semuanya."
"Kamu menuduh suamiku, Pak Satria?" Bu Hanim memandang Satria dengan mata membulat. "Kamu percaya wanita ini lebih dari suamiku?"
"Saya percaya fakta, Bu. Saya akan buktikan bahwa Mulia tidak bersalah."
"Fakta? Kamu pikir aku bodoh, Pak Satria?" Bu Hanim kembali berbalik ke arah Mulia, ia tidak bisa menahan amarahnya lagi. "Kamu pikir aku akan percaya dengan drama yang kalian ciptakan? Kamu menggoda suamiku, lalu Pak Satria datang sebagai pahlawanmu? Cih! Dasar wanita rendahan!"
Bu Hanim kembali mencoba menampar Mulia, tapi Satria dengan sigap menahan tangannya. "Jangan, Bu. Jangan lakukan itu!"
"Lepaskan aku, Pak Satria!" teriak Bu Hanim. "Wanita ini yang harus disalahkan! Dia yang harus dihancurkan!"
Mulia melihat tatapan mata Bu Hanim yang dipenuhi amarah. Mulia terkejut, melihat istri dari direktur marketing itu begitu kalap. Ia tidak menyangka Pak Wibowo akan sejahat itu, memutarbalikkan fakta demi menyelamatkan dirinya sendiri. Mulia merasa ketakutan.
"Tenangkan dirimu, Hanim," Pak Wibowo berdiri dari kursinya. "Kita tidak butuh drama ini."
"Kamu diam, Mas! Kamu tidak salah!" Bu Hanim menyentak tangan Satria dan maju, mendorong Mulia hingga terjatuh di lantai. Mulia tersungkur. Lututnya perih.
Satria langsung berjongkok di samping Mulia. "Lia, kamu tidak apa-apa?" tanyanya dengan nada khawatir.
"Aku... tidak apa-apa," jawab Mulia, suaranya parau.
Satria menoleh ke arah Bu Hanim, matanya penuh amarah. "Bu, apa yang Ibu lakukan itu sudah keterlaluan!"
Bu Hanim tidak mengacuhkan perkataan Satria. Ia kembali menatap Mulia yang masih terduduk di lantai. "Dengar, Mulia. Aku tidak akan membiarkanmu menang. Aku akan pastikan kamu keluar dari perusahaan ini dan tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan lagi. Aku akan pastikan nama kamu hancur."
Bu Hanim berbalik, berjalan keluar ruangan dengan marah. Pak Wibowo mengejarnya. "Hanim, tunggu! Jangan begitu!"
Ruangan itu kini terasa sepi. Hanya Satria dan Mulia yang tersisa. Mulia memandang Satria, air matanya kembali mengalir. Satria membantu Mulia berdiri. "Ayo kita keluar dari sini," ajaknya. "Aku akan pastikan kamu aman."
****
Sore itu, Bu Hanim tidak langsung pulang ke rumah. Ia mengendarai mobil mewahnya menuju sebuah butik eksklusif di kawasan Kemang. Ia tahu, jam segini adalah waktu favorit Soraya, Mama Satria, untuk menghabiskan waktu luang. Rencana ini sudah ia susun dengan matang sejak ia keluar dari kantor suaminya.
Di dalam butik, Bu Hanim menemukan Soraya sedang mencoba sebuah gaun malam berwarna merah marun. Soraya, dengan kecantikan yang masih terpancar di usianya, tampak anggun.
"Nyonya Soraya," sapa Bu Hanim dengan senyum yang dipaksakan.
Soraya berbalik, terkejut. "Hanim? Ada apa? Tumben sekali kamu ke sini."
"Ada hal penting yang harus aku bicarakan, Soraya. Ini tentang anakmu, Satria," bisik Bu Hanim, matanya melirik ke arah pramuniaga yang sedang melayani mereka.
Soraya mengisyaratkan pramuniaga untuk meninggalkan mereka. Setelah hanya tersisa mereka berdua, Soraya menatap Bu Hanim dengan serius. "Ada apa dengan Satria?"
Bu Hanim menarik napas, wajahnya berubah sedih. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Ini memalukan, tapi... suamiku digoda oleh salah satu karyawannya. Wanita itu bernama Mulia Anggraeni."
Mata Soraya membulat. "Mulia? Aku kenal namanya. Dia teman lama Satria, kan?"
"Tepat sekali," jawab Bu Hanim, "wanita itu memanfaatkan hubungan masa lalu mereka untuk mendekati suamiku. Dia wanita yang tidak tahu malu. Dia bahkan memintaku untuk berhenti mencampuri urusannya dengan suamiku."
"Astaga," Soraya mengucap, tangannya mengepal erat. "Lalu, apa hubungannya dengan Satria?"
Bu Hanim merendahkan suaranya, menambahkan bumbu ke dalam ceritanya. "Satria... dia sepertinya diperdaya oleh wanita itu. Satria membela Mulia mati-matian. Dia bilang Mulia tidak bersalah, bahkan mengancam akan membongkar aib suamiku jika aku menyentuh wanita itu."
Darah Soraya mendidih. "Apa? Satria bilang begitu?"
"Ya. Aku rasa, wanita itu sudah meracuni pikiran Satria. Aku tidak tahu apa yang dia inginkan. Mungkin dia mengincar jabatan Satria, atau mungkin dia ingin menguasai Menggara Group. Pokoknya, wanita itu sangat berbahaya. Dia licik dan ambisius."
"Aku tidak percaya ini," ucap Soraya. "Anakku tidak mungkin semudah itu diperdaya."
"Dia diperdaya, Soraya!" Bu Hanim meninggikan suaranya. "Dia dimanfaatkan! Wanita itu mendekati suamiku, lalu ketika dia ketahuan, dia memutarbalikkan fakta, dan Satria percaya padanya! Aku merasa kasihan padamu, Soraya. Kamu sudah membesarkan Satria dengan baik, tapi ada wanita rendahan yang merusak reputasinya."
****
Hati Soraya terasa sakit mendengar cerita Bu Hanim. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa putranya yang cerdas dan berwibawa bisa jatuh ke dalam perangkap wanita licik. Selama ini, Soraya selalu mengawasi Satria dari jauh, memastikan ia berada di jalan yang benar. Tapi kini, ada sesuatu yang di luar kendalinya.
"Kamu harus melakukan sesuatu, Soraya," kata Bu Hanim, menatap mata Soraya penuh harap. "Wanita itu akan menghancurkan keluarga kita, keluarga Wibowo dan juga keluarga kamu. Dia bisa saja menjatuhkan Satria dari jabatannya. Dia bisa saja merusak nama baik Satria."
Soraya mengangguk. Wajahnya yang semula anggun kini berubah menjadi penuh amarah. "Jangan khawatir, Hanim. Aku akan mengurusnya. Tidak ada yang bisa menghancurkan keluarga kita. Dan tidak ada yang bisa mempermainkan anakku."
"Terima kasih, Soraya. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu," ucap Bu Hanim, tersenyum penuh kemenangan. Ia tahu, dengan menyulut emosi Soraya, ia telah memenangkan permainan ini. Soraya adalah wanita kuat yang tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh putranya. Mulia, wanita rendahan itu, akan segera menghadapi musuh yang sesungguhnya.
Setelah Bu Hanim pamit, Soraya bergegas membayar gaun yang ia coba dan langsung menuju mobilnya. Di dalam mobil, ia mengeluarkan ponselnya. Jari-jarinya dengan cepat mencari nomor Satria. Ia harus memastikan semuanya. Jika benar Mulia adalah wanita seperti yang diceritakan Bu Hanim, ia tidak akan tinggal diam. Ia akan melindung putranya dengan cara apa pun, bahkan jika itu berarti harus menghancurkan Mulia.
****
Suasana lobi Menggara Group yang biasanya ramai mendadak hening. Semua mata tertuju pada seorang wanita yang baru saja masuk. Langkahnya berderap cepat, sorot matanya tajam, memancarkan aura dominasi yang tak terbantahkan. Ia adalah Soraya, pemilik utama Menggara Group, sekaligus ibu dari Satria. Para karyawan yang berpapasan langsung menunduk memberi hormat, tetapi Soraya tak peduli. Pikirannya dipenuhi oleh cerita Bu Hanim tentang Mulia.
Setibanya di depan ruangan Satria, Soraya tidak mengetuk pintu. Ia langsung mendorongnya. Di hadapannya, ia melihat sebuah pemandangan yang membuat dadanya terasa sesak. Mulia dan Satria berdiri sangat dekat. Tangan Satria memegang bahu Mulia, sementara Mulia mendongak, menatap Satria dengan mata penuh air mata. Pemandangan itu, bagi Soraya, adalah bukti nyata dari semua yang dikatakan Bu Hanim. Mulia adalah wanita licik yang sedang memperdaya putranya.
"Satria!" Suara Soraya menggelegar, penuh amarah.
Satria dan Mulia sama-sama terkejut. Mulia langsung menjauh dari Satria, merasa bersalah. Satria menoleh, wajahnya pucat melihat ibunya.
"Mama? Kenapa di sini?" tanya Satria.
Soraya tidak menjawab. Matanya tertuju pada Mulia. Ia berjalan cepat mendekati Mulia, tatapannya membakar. "Jadi ini yang kamu lakukan? Memanfaatkan Satria untuk melindungimu?"
Mulia menggeleng, tangannya gemetar. "Tante, saya bisa jelaskan..."
"Diam! Aku sudah mendengar semuanya!" potong Soraya. "Kamu wanita rendahan yang tidak tahu diri! Sudah menggoda suami orang, sekarang kamu berani-beraninya mendekati anakku?"
"Tidak, Tante, itu tidak benar," ucap Mulia, mencoba membela diri.
"Pembohong!" teriak Soraya. Ia mengangkat tangannya. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Mulia, jauh lebih keras dari tamparan Bu Hanim.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments