Selalu seperti ini

Ruang makan keluarga kecil itu dipenuhi aroma nasi gudeg dan semur daging yang menggugah selera. Ahmad, ayah mereka yang berusia lima puluh tahun, duduk di ujung meja sambil membaca koran pagi. Rambut beliau yang mulai beruban di bagian samping membuatnya tampak berwibawa dengan kacamata baca yang bertengger di ujung hidung.

“Pagi, semua,” sapa Syama sambil duduk di kursi depan Ahmad.

“Pagi. Hari ini ada kuliah sampai jam berapa?” tanya Ahmad tanpa mengangkat mata dari korannya.

“Sampai jam tiga. Setelah itu ada rapat sama Pak Hendra soal penelitian.”

“Bagus. Bapak bangga sama kamu. IPK mu semester kemarin 3,70. Hampir sempurna.”

Syama tersenyum, meski ada rasa tidak nyaman di dadanya ketika mendengar pujian yang secara tidak langsung merendahkan adiknya.

Dewi, ibu mereka yang berusia empat puluh lima tahun, keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi piring-piring sarapan. Wanita yang dulu cantik itu kini tampak sedikit pucat dan kurus. Gerakannya juga lebih lambat dari biasanya.

“Ibu kenapa?” tanya Syama dengan wajah khawatir. “Sakit?”

“Nggak apa-apa, sayang. Cuma sedikit cape aja,” jawab Dewi sambil tersenyum memaksakan diri. “Ibu udah buatin nasi gudeg kesukaan Syima. Mana dia?”

“Masih mandi, Bu. Tadi hampir telat bangun lagi,” lapor Syama sambil membantu ibunya menyiapkan piring.

Ahmad menghela napas panjang. “Kapan dewasanya anak itu. Udah semester tujuh masih aja kayak anak SMA.”

“Bapak, jangan gitu dong,” bela Dewi sambil duduk di sebelah suaminya. “Syima kan emang beda sama Syama. Tapi dia anak baik.”

“Baik gimana, Ma?” Ahmad menatap istrinya dengan tajam. “Nilai akademik pas-pasan, sering terlambat, ikut organisasi yang aneh-aneh, pulang malem, bergaul sama anak cowok begajulan—“

“Pak...” Dewi menyentuh lengan suaminya. “Syima itu punya kepedulian sosial yang tinggi. Dia aktif di BEM, sering ikut kegiatan sosial. Itu sudah cukup bagus kan?”

“Bagus kalau nggak ganggu kuliahnya. Lihat Syama, dia bisa berorganisasi sekaligus jadi asisten dosen, tapi selalu seimbang dengan IPK nya yang tetap tinggi. Kenapa Syima nggak bisa kayak kakaknya?”

Syama yang mendengar percakapan orangtuanya merasa tidak nyaman. Topik perbandingan antara dirinya dan Syima selalu membuatnya gelisah. Dia tahu betapa adiknya benci dibanding-bandingkan dengannya.

Suara langkah kaki dari tangga membuat percakapan itu terhenti. Syima turun dengan rambut masih setengah basah, mengenakan kaos putih polos dan celana jeans yang agak ketat. Sneakers putih yang sudah agak kotor melengkapi penampilan kasualnya.

“Pagi,” sapanya singkat sambil langsung duduk dan mengambil sepiring nasi gudeg.

“Pagi,” jawab Ahmad tanpa menatap putri bungsunya.

“Rambutmu masih basah. Nanti masuk angin lho,” kata Dewi sambil ingin bangkit mengambil handuk.

“Udah, Ma. Nggak usah. Nanti kering sendiri,” tolak Syima sambil melahap sarapannya. “Hmm, enak banget nih, Ma. Makasih, ya.”

Dewi tersenyum lega melihat anaknya menikmati masakan. “Hari ini kuliah sampai jam berapa, sayang?”

“Sampai jam empat. Habis itu ada rapat BEM. Kita lagi persiapan acara besar bulan depan,” jawab Syima sambil terus makan.

“Rapat lagi?” Ahmad menatap putrinya dengan tidak suka. “Kemarin juga rapat. Organisasi apa sih yang rapat melulu?”

“BEM kampus, Pak. Kita mau ngadain seminar nasional tentang krisis iklim dan peran mahasiswa. Ini penting banget, Pak. Nanti ada pembicara dari Greenpeace dan aktivis lingkungan terkenal—“

“Yang penting itu nilai kuliahmu,” potong Ahmad dengan nada tinggi. “Semester kemarin IPK mu berapa? Dua koma tujuh! Syama semester yang sama IPK nya hampir empat. Kenapa bisa beda jauh begitu?”

Syima berhenti mengunyah. Lagi. Selalu begini. Apapun yang dilakukannya, pasti akan dibandingkan dengan Syama yang sempurna.

“Pak, Syima udah berusaha kok,” bela Dewi lagi dengan suara lemah.

“Berusaha gimana? Kalau dia fokus sama kuliah, pasti bisa dapet nilai bagus kayak kakaknya.” Ahmad melipat korannya dengan kesal. “Syima, Bapak udah sering bilang. Bapak itu guru. Bapak tahu betapa pentingnya pendidikan. Kalau kamu nggak serius dari sekarang, nanti susah cari kerja.”

“Iya, Pak,” jawab Syima pelan sambil menundukkan kepala.

“Jangan Cuma iya doang. Bapak mau lihat perubahan nyata. IPK semester ini minimal tiga koma lima. Bisa?”

Syima mengangkat kepala dengan ekspresi tidak percaya. “Tiga koma lima? Pak, itu susah banget. Mata kuliah semester ini banyak yang berat.”

“Syama bisa, kenapa kamu nggak bisa?” tanya Ahmad dengan suara yang semakin keras. “Kalian kan kembar. Otak kalian sama. Dididik dengan cara sama. Fasilitas belajar juga sama. Yang beda cuma prioritas dan cara berpikir.”

“Mungkin karena aku bukan Syama, Pak,” jawab Syima dengan suara bergetar. “Mungkin aku emang nggak sepintar dia.”

“Syima, jangan bilang begitu,” Syama yang dari tadi diam akhirnya angkat bicara. “Kamu itu pinter. Cuma kurang fokus aja.”

“Kamu jangan ikut campur, ya!” bentak Syima pada kembarannya. Tangannya menunjuk kembarannya. “Kamu enak cuma ngomong. Kamu kan anak emas Bapak. Apapun yang kamu lakuin pasti bener.”

“Syima!” tegur Ahmad dengan keras, suaranya menggelegar. “Jangan berbicara kayak gitu sama kakakmu!”

“Kakak?” Syima bangkit dari kursi dengan emosi. “Dia Cuma lahir lima belas menit lebih dulu, Pak! Dan kenapa sih semua orang selalu nyuruh aku jadi kayak dia? Aku punya pribadi aku sendiri!”

“Syima, duduk!” perintah Ahmad dengan suara menggelegar yang membuat gelas-gelas di meja bergetar.

“Aku udah selesai sarapan. Aku berangkat kuliah dulu.” Syima mengambil tas ranselnya yang sudah lusuh dan bergegas menuju pintu depan.

“Syima, tunggu!” panggil Dewi dengan suara lemah, tapi putrinya sudah membanting pintu dan pergi.

Ruang makan tiba-tiba menjadi hening yang mencekam. Ahmad memijat pelipisnya yang berdenyut, sementara Dewi menatap pintu dengan mata berkaca-kaca. Syama hanya bisa terdiam, hatinya sakit melihat keluarga kecil mereka selalu dilanda pertengkaran seperti ini.

“Bapak terlalu keras sama Syima,” ucap Dewi pelan. Hampir setiap hari acara sarapan selalu berakhir seperti ini.

“Keras gimana? Bapak Cuma mau yang terbaik buat dia,” sahut Ahmad. “Lihat sekarang, dia kabur lagi. Nggak mau menghadapi kenyataan.”

Syama bangkit dari kursi dengan hati yang berat. “Bapak, Ibu, aku ijin berangkat juga. Nanti aku coba bicara sama Syima di kampus.”

“Iya, sayang. Hati-hati di jalan ya,” kata Dewi sambil mengecup kening putri sulungnya.

Setelah Syama pergi, Ahmad dan Dewi duduk berhadapan dalam keheningan yang menyakitkan. Dewi menatap sisa sarapan yang berserakan di meja sambil memegang dadanya yang terasa sesak. Bukan hanya karena sedih melihat pertengkaran keluarga, tapi juga karena rasa sakit yang akhir-akhir ini sering dia rasakan di dadanya.

“Pak, kita harus lebih sabar sama Syima,” ujar Dewi pelan.

“Bapak udah sabar, Ma. Tapi sampai kapan? Dia udah semester lima, masa masih bertingkah kayak anak kecil?” Ahmad bangkit dari kursi. “Bapak berangkat dulu. Nanti sore kita bahas lagi soal ini.”

Setelah suaminya pergi, Dewi duduk sendirian sambil membereskan piring-piring dengan gerakan lambat. Dadanya semakin sesak, dan kali ini bukan hanya karena sedih. Ada sesuatu yang salah dengan tubuhnya, tapi dia belum berani memeriksakan diri ke dokter.

Terpopuler

Comments

Rakka

Rakka

Ngakak banget!

2025-09-12

1

lihat semua
Episodes
1 Dua Sisi Koin
2 Selalu seperti ini
3 Kebimbangan Syama
4 Teka-teki
5 Mereka harus tahu
6 Syima tahu
7 Syima on Fire
8 Ancaman Syima
9 Pertemuan tidak ideal
10 Terciduk
11 Direstui
12 Langkah membuat bangga
13 Salah Paham
14 Restu dan Ragu
15 Tujuh menit
16 Terpaksa
17 Bimbang
18 Kunjungan mengejutkan
19 Persiapan Pernikahan
20 Runaway Bride
21 Terpaksa menikah
22 Keputusan tergesa
23 Akad Nikah
24 Salah kira
25 Perkara Resleting
26 Koper dan Lingerie
27 Hari pertama Suami Istri
28 Mencari Syama
29 Amanah Ahmad
30 Checkmate
31 Perjanjian Pernikahan
32 Bicara dari hati ke hati
33 Kuis
34 Gama
35 Terpeleset
36 Nafkah Istri
37 Cemburu
38 Versus
39 Sepupu jauh sekali
40 Jatuh hati
41 Demontrasi
42 Pertengkaran pertama
43 Kabur
44 Satu ranjang
45 Guling hidup
46 Aku Cemburu
47 Apa dia Cinta?
48 Undangan
49 Strategi Syima
50 Kembali Berulah
51 Satria
52 Hampir terlambat
53 Karena Aku Cinta
54 Bukan Halusinasi
55 Akhirnya mengaku
56 Laporan kepolisian
57 Sayang
58 Kiss Me Please...
59 Pamer
60 Ketulusan Gama
61 Inikah malam pertama?
62 Tugas Istri
63 Malam Pengantin
64 Momongan
65 Dia kembali
66 Telepon Asing
67 Aku Sakit
68 Happy Birthday
69 Mengganggu
70 Pelukan yang salah
71 Pingsan
72 Jangan Mengganggu
73 Hamil
74 Maafkan aku
75 Kembalikan padaku
76 Tak terpisahkan
77 Menyulut Api
78 Cengeng
79 GET OUT!!
80 Kembar
81 Serba salah
82 Firasat aneh
83 Konsekuensi
84 Kehilangan
85 Siapa yang harus disalahkan?
86 Terselubung
87 Puding
88 Hancur
89 Gama kembali
90 Titik Balik
91 Berjuang bersama
92 Stranger
93 Drama lagi
94 Apa dia sengaja?
95 Mulai Terkuak
96 Kebohongan Besar
97 Siapa dia?
98 Telur dadar
99 Akbar
Episodes

Updated 99 Episodes

1
Dua Sisi Koin
2
Selalu seperti ini
3
Kebimbangan Syama
4
Teka-teki
5
Mereka harus tahu
6
Syima tahu
7
Syima on Fire
8
Ancaman Syima
9
Pertemuan tidak ideal
10
Terciduk
11
Direstui
12
Langkah membuat bangga
13
Salah Paham
14
Restu dan Ragu
15
Tujuh menit
16
Terpaksa
17
Bimbang
18
Kunjungan mengejutkan
19
Persiapan Pernikahan
20
Runaway Bride
21
Terpaksa menikah
22
Keputusan tergesa
23
Akad Nikah
24
Salah kira
25
Perkara Resleting
26
Koper dan Lingerie
27
Hari pertama Suami Istri
28
Mencari Syama
29
Amanah Ahmad
30
Checkmate
31
Perjanjian Pernikahan
32
Bicara dari hati ke hati
33
Kuis
34
Gama
35
Terpeleset
36
Nafkah Istri
37
Cemburu
38
Versus
39
Sepupu jauh sekali
40
Jatuh hati
41
Demontrasi
42
Pertengkaran pertama
43
Kabur
44
Satu ranjang
45
Guling hidup
46
Aku Cemburu
47
Apa dia Cinta?
48
Undangan
49
Strategi Syima
50
Kembali Berulah
51
Satria
52
Hampir terlambat
53
Karena Aku Cinta
54
Bukan Halusinasi
55
Akhirnya mengaku
56
Laporan kepolisian
57
Sayang
58
Kiss Me Please...
59
Pamer
60
Ketulusan Gama
61
Inikah malam pertama?
62
Tugas Istri
63
Malam Pengantin
64
Momongan
65
Dia kembali
66
Telepon Asing
67
Aku Sakit
68
Happy Birthday
69
Mengganggu
70
Pelukan yang salah
71
Pingsan
72
Jangan Mengganggu
73
Hamil
74
Maafkan aku
75
Kembalikan padaku
76
Tak terpisahkan
77
Menyulut Api
78
Cengeng
79
GET OUT!!
80
Kembar
81
Serba salah
82
Firasat aneh
83
Konsekuensi
84
Kehilangan
85
Siapa yang harus disalahkan?
86
Terselubung
87
Puding
88
Hancur
89
Gama kembali
90
Titik Balik
91
Berjuang bersama
92
Stranger
93
Drama lagi
94
Apa dia sengaja?
95
Mulai Terkuak
96
Kebohongan Besar
97
Siapa dia?
98
Telur dadar
99
Akbar

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!