Antara Aku dan Dia

Viona keluar dari Zhimin Apartemen dengan langkah berat. Harga dirinya terasa remuk di lantai marmer yang dingin.

Daniel telah menghancurkan kebanggaannya, merobek hatinya, dan menyebarkan kehormatannya ke seluruh ruangan hingga memantul ke dinding dan plafon mewah itu.

Dalam keriuhan pagi, Viona mengusap air mata yang terus mengalir, tetapi setiap usapan membuatnya semakin merasa tidak berdaya.

"Kenapa ini terjadi padaku?" gumamnya. Mengingat Yule Club, hatinya semakin berat.

"Seandainya aku tidak pergi ke sana," pikirnya. Dia menepis ingatan tentang Daniel, sosok yang hadir di tengah impiannya untuk mendapatkan uang kuliah. “Tidak akan terjadi hal menjijikkan ini.”

Sejak awal, Viona hanya ingin berjuang. Uang kuliah menuntut semua upaya. Dia bekerja keras, mengumpulkan setiap sen.

Namun, klub malam itu menjadi titik balik. Dia merasa naif karena berpikir ini adalah jalan keluar.

Dia teringat betapa bersinarnya dunia yang dia impikan ketika meninggalkan rumah. Kuliah di universitas terbaik, meraih gelar, dan menjadi sukses. Kini, semua angan-angan itu hancur, seperti bintang yang redup.

Viona menatap kosong ke arah kendaraan yang melintas, setiap deru mesin terasa seperti pengingat akan kesalahan dan penyesalan.

Viona menyadari bahwa melanjutkan hidup adalah satu-satunya pilihan.

Dengan langkah berat, dia berjalan menuju halte bus. Setiap langkahnya dipenuhi kebingungan dan kesedihan.

"Kalau sudah begini, apa lagi yang menungguku di masa depan?" Pertanyaannya terapung di udara, tanpa ada jawaban yang datang.

Viona tahu, dia perlu melepaskan kemarahan dan kehampaan yang terus membelenggunya.

Namun, proses itu bukanlah hal yang mudah; seolah terjebak dalam lingkaran setan di mana kesalahan dan harapan saling berkelindan tanpa henti.

"Tak ada! Sama sekali tidak ada!" teriaknya di dalam hati, merasakan betapa dunia yang dikenalnya terasa semakin kejam. Terutama bagi seorang wanita sepertinya—yang dianggap tak lagi suci—tak layak dicintai, apalagi diperjuangkan.

"Si brengsek itu!" geram Viona, gigi-giginya saling bergesekan. Amarahnya meluap saat gambar wajah Daniel menghantui pikirannya. "Seharusnya dia bertanggung jawab, bukan hanya memberikan uang seolah aku ini menjual diri padanya." Suaranya penuh ketidakpuasan, sementara di dalam hati, ada perasaan hampa yang jauh lebih dalam.

Perasaannya rusak, pikirannya kacau, semua berkecamuk karena perlakuan Daniel yang semakin menyakiti batinnya.

Saat berjalan, Viona tidak memperhatikan langkahnya karena pikirannya telah berkelana jauh, membuatnya tanpa sengaja menabrak seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun.

“Aduh!” Suara anak kecil terjatuh menyentak Viona dari lamunan. Dengan buru-buru, dia berjongkok di depan Billy, membantunya untuk berdiri.

“Maaf, maaf,” ucap Viona, wajahnya langsung berubah penuh sesal. “Kakak tidak sengaja.” Dia mulai membersihkan debu di celana Billy dengan lembut, merasa khawatir sekaligus bersalah.

“Kamu baik-baik saja? Ada luka tidak?” tanyanya, penuh perhatian sambil memeriksa tubuh kecil yang terjatuh.

Billy menggeleng, wajahnya lesu dan senyumnya tampak dipaksakan. “Saya tidak apa-apa, Kak,” jawabnya singkat.

Saat suasana sunyi melingkupi, langkah cepat seorang wanita tiba-tiba memecah hening itu. Wajahnya tampak sedikit panik, matanya menyapu sekeliling hingga berhenti pada Viona.

"Maaf, Nona. Anak saya tadi lari-lari, jadi tak sengaja menabrak Anda," ujar Nyonya Melina sambil segera meraih pergelangan tangan Billy yang berdiri tak jauh. Suaranya tegas, tapi tergesa, "Billy, minta maaf sekarang."

Viona berdiri, menatap wanita itu dengan senyum. "Tidak apa-apa, Tante. Justru saya yang kurang hati-hati."

Billy menunduk. “Kakak, maaf.”

Viona mengusap kepala Billy. "Tidak apa-apa, Tampan. Kakak juga minta maaf, ya."

Billy mengangguk, lalu tersenyum tipis. Senyum itu menular pada Viona.

Kemudian Viona melihat map berkas di tangan ibu Billy.

Nyonya Melina mengikuti arah pandang Viona, membuatnya teringat akan tujuan awalnya keluar rumah pagi itu. "Maaf, Nona. Kami harus pergi," ucapnya.

"Tunggu!" sergah Viona menghentikan langkah dua insan berbeda generasi yang ada di dekatnya.

Nyonya Melina membawa Billy berbalik menghadap Viona, lalu bertanya dengan lembut. "Nona, ada apa?"

"Kalau saya boleh tahu, untuk apa berkas itu?" tanya Viona hati-hati sambil menunjuk ke arah dokumen yang dipeluk erat oleh Nyonya Melina, tidak ingin wanita paruh baya itu salah paham padanya.

Wanita itu menatap berkas di tangannya, lalu tersenyum lembut. "Perkenalkan, saya Melina Scott," ucapnya sambil mengulurkan tangan.

"Saya Viona Mollice," sahut Viona, menerima jabat tangan itu.

"Ini adalah proposal untuk mengajukan dana santunan anak yatim, Nona. Saya akan mengajukannya pada salah satu anak konglomerat yang tinggal di apartemen itu," terang Nyonya Melina sambil menunjuk ke arah apartemen yang ada di seberang jalan.

Viona mengikuti arah telunjuk wanita itu, dan hatinya langsung teringat pada pria brengsek yang tinggal di lantai paling atas gedung itu—Daniel.

"Banyak yang bilang, dia orang baik dan pasti akan membantu saya," imbuh Nyonya Melina memecah lamunan Viona tentang Daniel.

Tanpa diduga, Viona tiba-tiba merogoh tasnya dan mengeluarkan selembar kertas—cek yang diberikan Daniel kepadanya dengan penuh paksaan dan intimidasi. Meski ragu dan bingung bagaimana caranya memberikan penjelasan pada Nyonya Melina, Viona tetap menyerahkan cek itu sambil berkata, “Nyonya, ambil ini.”

Nyonya Melina memandang kertas itu lama, raut wajahnya mulai kebingungan, tak sepenuhnya mengerti maksud Viona.

"Emm, begini ...." Viona mencari alasan terbaik. "Saya baru saja keluar dari apartemen itu dan bertetemu dengan orang yang Anda maksud. Dia hari ini ada urusan penting, jadi tidak bisa ditemui. Jadi, dia minta saya untuk menyerahkan cek ini."

Di dalam hatinya, Viona tidak henti merapalkan kata maaf atas kebohongannya. Dia juga berkali-kali meyakinkan dirinya bahwa, berbohong untuk kebaikan tidak akan menjadi masalah.

Mata Nyonya Melina bergetar.

Tangisannya pun pecah saat melihat jumlah yang tertera pada cek tersebut. Dia memeluk Viona dan mengucapkan terima kasih.

"Terima kasih, Nona ... terima kasih banyak."

Viona membalas pelukan itu dengan hangat, merasakan sedikit kelegaan di tengah kekacauan yang melandanya. "Sama-sama, Tante. Semoga ini bisa membantu," bisiknya tulus.

Nyonya Melina melepaskan pelukannya, menatap Viona dengan mata berkaca-kaca. "Anda benar-benar malaikat, Nona. Saya tidak tahu bagaimana membalas kebaikan Anda."

Viona tersenyum lembut. "Tidak perlu membalas apa-apa, Tante. Saya senang bisa membantu."

Nyonya Melina mengangguk, lalu berjongkok di depan Billy. "Billy, bilang apa sama Kakak?"

Billy menatap Viona dengan mata berbinar. "Terima kasih, Kakak," ucapnya tulus.

Viona mengusap kepala Billy lagi. "Sama-sama, Jagoan. Belajar yang rajin, ya."

Nyonya Melina berdiri, menggenggam erat tangan Billy. "Kami permisi dulu, Nona. Sekali lagi, terima kasih banyak."

Viona mengangguk. "Hati-hati di jalan, Tante."

Nyonya Melina dan Billy berjalan pergi, meninggalkan Viona yang masih berdiri di halte bus dan menatap kepergian mereka dengan senyum tipis.

Meskipun hatinya masih terasa sakit dan hancur, dia merasa sedikit lebih baik setelah membantu Nyonya Melina dan Billy. Setidaknya, dia bisa melakukan sesuatu yang baik di tengah kekacauan ini.

Viona menghela napas panjang, lalu menatap langit pagi yang mulai cerah. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi dia bertekad untuk terus berjuang dan tidak menyerah pada keadaan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!