"Iya saya sendiri," jawabku dari hati karena aku mau mandi.
Setelah isya barulah aku membalas pesannya.
"Iya, ini siapa ya?" balasku yang sudah tertunda selama tiga jam.
"Saya Alva, kurir yang tadi."
"Oh, A kurir ya."
"Iya, panggilnya Alva aja, ya."
"Oh iya A Alva."
Setelah percakapan singkat itu, aku ga tau dia balas pesan lagi atau tidak karena setelahnya langsung kusimpan ponselnya dan aku mengecek serta memakai kamera yang tadi sampai, melakukan foto-foto dan juga merekam video.
Hasilnya bagus dan memuaskan dan aku suka.
Berkali-kali notifikasi dari ponsel berasa menyerbu, tetapi aku masih santai dengan kameraku.
Ckrkk
Kilatannya kembali menyilaukan pandangan, tetapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang tertangkap kamera tetapi tidak jelas, mungkin hanya bayangan kabur karena keburu digerakkan.
Buru aku mengambil ponsel yang ranjang, menggeser layar dan membuka berbagai pesan dari Pak Ardi, A Alva dan juga murid sekolah yang bertanya tentang mata pelajaran dan yang iseng nanya-nanya tentang aku, tetapi hal seperti ini tidak aku gubris.
"Teh, teteh Fotografer ya?"
"Umurnya berapa tahun?"
Dari notifikasi pesan yang terlihat ramai, ternyata pesan dari Alva hanya dua biji saja.
"Bukan, A. Saya cuma guru honorer aja."
"Bukan anak kecil A, saya udah 27 tahun," balasku sekaligus dua pesan.
"Ooh kirain fotografer karena pesan kamera."
"Masih tuaan saya ternyata, saya 30 tahun."
"BTW, kameranya mau dipakai apa? Buka foto studio?"
Tiga pesan langsung datang di waktu yang sama, dia sangat fast respons. Aku kembali membalasnya lagi, karena seru aja, sedangkan yang lain tidak aku gubris.
"Hehe bukan, saya pesan kamera karena biar nanti nikah ga mau nyewa, pengennya punya sendiri, ini aja masih kurang."
"Kalau gitu panggil Imel aja biar akrab."
Dia langsung mengetik lagi.
"Ooh gitu, belum nikah ternyata."
"Iya, Imel belum nikah."
"Kenapa?"
"Belum nemu yang tepat aja."
"Sama saya aja gimana?"
Refleks aku membantingkan ponsel ke bantal karena kaget dan rasanya seperti aneh dan beda, aku merasa dia seperti tidak cool seperti tadi sore, membuat aku malas untuk membalasnya lagi.
Tring!
Ponselku kembali berdering, tetapi aku masih belum mau melihatnya, tapi aku penasaran dan akhirnya mengambil ponsel itu dan menatapnya kembali.
"Maaf teh kalau lancang, sya gak bermaksud begitu tapi kalau memang tth belum punya pasangan setidaknya ada harapan untuk saya."
Oh Tuhan, tanganku seketika dingin dan gemetaran, dia waras apa engga sih? Kok bisa se to the point itu bicaranya. Aku bukan senang, tetapi aku malah over thinking.
Dia memang ganteng, wajahnya tegas tanpa terlihat seperti orang lebay atau aga aga ga bener, tetapi pesannya membuat aku bertanya-tanya. Bahkan aku malah takut, meskipun secara fisik dia mempesona.
"Teh?" Dia kembali mengirim pesan.
"Maaf, A. Aa gak bakalan sanggup kalau sama saya," balasku agar dia tidak berbicara seperti itu.
"Kenapa?"
"Ego saya tinggi, berisik, cerewet, matre, realistis, harus selalu perfeksionis, dan apa pun yang saya mau harus dituruti. Hanya orang sabar dan bener-bener sayang sama saya agar rumah tangganya awet."
"Oh cuma gitu, kirain karena ada laki-laki lain. Gapapa kok, saya sanggup."
"Ego saya tinggi A, ga bakalan sanggup."
"Sanggup kok."
"Terus kerja Aa?"
"Bisa diatur."
"Terserahlah," jawabku menutup percakapan. Terserah dan aku gak peduli meski dia mengirimkan pesan lagi.
Tok tok tok!
"Mel, Imel!" panggil temanku dari luar.
"Bentar!" teriakku.
Aku beranjak dari tempat tidur bergegas membuka pintu.
"Ada apa, Nir?" tanyaku penasaran.
Dia Nirma— aku mengenal dia karena tinggal di sebelah kosanku. Baru tiga hari tinggal di sini pun aku sudah akrab dengannya karena dia juga humble. Meski pekerjaan kita gak sama, tapi bersama dia aku merasa ada teman dan gak kesepian.
Dia merupakan kasir Alva Mart di sini dan sudah ngekost selama tiga tahun, mungkin dia juga sudah tahu bagaimana kehidupan di sini.
"Jajan yuk, Mel!" ajaknya.
"Jajan apaan si jam segini?"
"Nyeblaklah."
"Di mana?"
"Udahlah ikut aja jangan banyak tanya."
Dia langsung menarik tanganku dan jalan.
"Iih tunggu dulu napa, Nir. Uangnya lom bawa."
"Oh heuh yaudah sana." kekehnya sambil nyengir.
Tidak tahu kenapa, bareng dia rasanya seperti sudah mengenal lama padahal ini pun hari pertama aku jajan keluar karena biasanya dia pulang malam. Aku bahkan tidak tahu usia dia berapa tahun. Tapi ya sudahlah dianggap teman seumuran aja.
Sebelum pergi, aku berdandan dulu, merapikan kamera disimpan dengan rapi dan tersembunyi serta mengambil dompet untuk aku jajan malam ini, pintu pun aku kunci karena takut ada yang julid.
"Ayo, Nir. Aku dah siap!"
"Gila, jajan seblak doang pun sudah seperti tuan putri dandannya," selorohnya menepuk lenganku.
"Iih apaan sih, dah biasa kali gini mah."
"Cantik banget kamu, Mel," ucapnya memuji, entah dari hati atau hanya bercanda.
"Jangan ngeledek gitu lah," ucapku cemberut.
"Aku serius ga meledek, cuma yang jadi pertanyaan kenapa kamu nyaman sendiri?" tanyanya.
"Ada alasannya lah, udahlah ayo!" ajakku mengalihkan pertanyaannya.
Baru pertama kali datang pun yang ditanya itu sudah menikah atau belum? Sudah punya pacar atau belum?
Padahal kalau sudah menikah ya aku ga mungkin ngekos, kalau pun aku punya pacar aku pun gak akan bilang siapa-siapa. Tapi, kalau soal hati dan tentang hubungan, aku jujur saja kalau masih jomblo dan masih nyaman sendiri.
"Kamu mah suka gitu, ngelak mulu," ujarnya sambil berjalan pelan bersamaku.
"Apik banget sih."
"Iya dong, kan aku dah terbiasa apik."
"Hemmh iya, deh. Intinya ya mungkin gak ada yang mau sama aku."
"Hah, What! Rasanya gak mungkin satu dari sepuluh cowok gak ada yang mau sama kamu."
"Apanya yang gak mungkin? Emang faktanya begitu. Mungkin satu dari seratus pun gak ada," ujarku pelan sambil terus berjalan.
"Tapi gak mungkin Mel, cewek secantik kamu gak ada yang mau."
"Mungkinlah, kan aku cuma seorang honorer aja."
"Tapi kan emang harusnya juga cewek mah dinafkahin bukan dibabuin atau disuruh kerja buat nafkahin suami, gapapa dong punya kerjaan gaji kecil pun."
"Sudahlah, jangan dibahas. Mana sih tempatnya, kok sudah beberapa meter lom ketemu mulu."
"Noh itu di sana!" Tunjuknya.
"Eh iya, ya."
Untunglah dia gak nanya balik tentang aku bagaimana-bagaimananya, biarlah orang-orang cukup tahu kalau aku hanya sebatas guru honorer yang digaji kecil. Bahkan aku pernah digaji delapan puluh enam ribu perbulan. Kalau hitung-hitungan, uang segitu hanya cukup untuk bensin dua hari. Tapi mau bagaimana pun, aku bangga menjadi guru meskipun ada nyeseknya juga dengan berbagai aturan yang membebankan.
"Oiya, kenapa sih kurir tadi kayak gitu, ganteng-ganteng kok lebay? Aneh kan?" batinku berisik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Hiro Takachiho
Gak sabar nih baca kelanjutannya, jangan lama-lama ya thor!
2025-09-11
0